Laman

Minggu, 27 Juli 2008

Kehangatan dan Kekerabatan dalam Rumah Adat



RUMAH ADAT SUKU KARO



Besar kemungkinan, Suku Karo dulunya kalau membuka desa baru sebagai hunian baru, berangkat dengan delapan keluarga atau kelipatannya. Ini tampak dengan rumah adat yang dibangun mereka, dihuni dengan delapan keluarga.
Memang ada juga rumah adat yang dihuni empat keluarga. Tapi, umumnya hunian delapan keluargalah yang banyak didirikan.

Petak hunian per keluarga paling 3m X 4m. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalig. Anak yang sudah akilbalig, tidur di lumbung padi buat anak laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.

Pintu
Rumah adat punya pintu hanya dua. Satu di hilir dan satu lagi di hulu. Kedua pintu terhubung langsung lurus membelah rumah adat sebagai jalan tengah. Sebelah kanan dihunia empat rumahtangga dan sebelah kiri dihuni pula oleh empat rumahtangga.
Kedua pintu itu punya ture atau kakilima. Ture terbuat dari bambu utuh sebesar paha orang dewasa, disusun mendatar jadi lantai simetris dengan pintu. Lurusan pintu, dibuat tangga menanjak tajam dengan jumlah anak tangga ganjil untuk naik ke ture setinggi orang dewasa. Luasnya, sekitar 3m X 2m.

Ture
Tepian ture sebelah kiri dan kanan, sering dijadikan anak balita jadi tempat buang hajat. Biasanya pagi hari, mereka jongkok dengan hati hati karena ture tak punya dinding pembatas. Anak yang masih kecil biasanya ditemanai ibunya dengan memegang tangan sang anak. Atau sang anak duduk diantara kedua kaki ibunya yang duduk di lantai bambu dengan posisi huruf L. Jadi kloset alami yang sangat menyenangkan sang anak Begitu hajatnya jatuh ke tanah, langsung bersih ulah babi yang berkeliaran di bawah yakni langsung memakannya.


Jendela
Tiap petak hunian punya jendela satu, kepala pun tak muat dikeluarkan melalui jendela itu karena kecilnya. Tempat tidur hanya dibatasi tikar yang dipasang seperti menjemur pada sebilah bambu. Gaya knock down. Mau tidur, rapikan dulu tikar pembatas.


Harta
Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku. Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk, ditempatkan di para tungku masak keluarga.
Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.

Tampaknya konsep harta keluarga pun jadi sederhana pula. Lumbung padi.
Lumbung padi penuh tak habis dipakai oleh keluaga dalam setahun merupakan dasar kebahagian rumahtangga dalam mengarungi kehidupan.

Memang ada tanaman keras di ladang, ada juga hewan peliharaan seperti babi lepas di bawah rumah adat. Termasuk lembu kerbau yang setiap pagi dituntun ke ladang. Kandang hewan itu, juga dibangun sekitar rumah adat. Hewan ini akan dijual untuk keperluan mendadak keluarga. Kotoran hewan dikumpulkan untuk jadi pupuk tanaman di ladang.

Kekerabatan
Delapan rumahtangga alias ada delapan ragam fungsi adat dalam rumah adat Suku Karo. Tiap fungsi diemban oleh satu rumahtangga dan petak huniannya yang unik pun sudah ditentukan oleh adat. Begitu pula hubungan kekerabatan di dalam rumah adat ditentukan oleh adat. Jadi tidak sembarang rumahtangga dapat menempati petak hunian di dalam rumah adat, hal ini merupakan kekhasan dan sekali gus mencirikan rumah adat Suku Karo. Rumah adat adalah hunian untuk mengaplikasikan fungsi adat yang diembannya.

Searah jam, kalau masuk dari pintu hilir. Nama Jabatan Adat, Tugas dan Fungsi, Hubungan Keluarga dengan Kepala Rumah Adat, sebagai berikut:
1. Sukut. Kepala Rumah Adat (KRA). Turunan pendiri desa.
2. Anakberu Minteri. Saksi keputusan musyawarah. Kelurga adik
perempuan dari mantu laki.
3.Kalimbubu, Mengajar dan menaikkan mantera. Orang yang
disegani/dukun
4. Kalimbubu, Penasehat dan memberi restu.Orang tua istri.
5. Anakberu. Pelaksana perintah dan Wakil KRA. Mantu laki.
6. Anakberu cekuh baka. Menyambut tamu. Anak dari Anakberu.
7. Puang Kalimbubu. Pemberi restu kesepakatan. Keluarga istri Kalimbubu no.4.
8. Sembuyak. Sumber informasi. Anak laki

Rumah adat menjadi kesatuan warga penghuni yang dipimpin oleh Sukut. Mereka bermusyawarah dengan melaksanakan masing masing tugas dan fungsinya sebagai satu kesatuan.

Setiap penghuni akan mengemban satu jabatan adat pula pada pertemuan adat diluar rumah adat. Misalnya mengemban jabatan adat sukut, kalau dia mengawinkan anak atau memasuki rumah baru atau ada anggota keluarga meninggal. Warga lainnya yang hadir masing masing mengemban fungsi adat. Kekerabatan rumah adat Suku Karo menjadi dasar kekerabatan Suku Karo di luar rumah adat.

Hakekat hidup leluhur
Swasembada pangan dan swasembada pupuk. Mengemban fungsi adat dalam rumah adat maupun mengemban fungsi adat kekerabatan dalam satu desa dan demikian juga pada kekerabatan di luar desa. Menyatu dengan alam karena alam memberi kehidupan dan menyembah Penguasa alam yang diaplikasikan melalui kegiatan penyembahan yang diatur juga oleh adat.



Kehangatan rumah adat
Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.

Terasa hangat di malam hari dalam rumah adat. Bukan akibat tembusnya sinar matahari siang karena terik matahari siang diredam dengan permukaan atap penutup rumah adat yang terbuat dari ijuk yang tebal. Ketebalan ijuk menjamin tak ada tetesan hujan yang jatuh dalam rumah adat.
Kehangatan dalam rumah adat lebih dominan akibat hangatnya api bakaran kayu menanak nasi dan biasanya dilakukan serentak mengikuti rutinitas kegiatan. Asapnya memenuhi ruang langit langit langsung ke atap ijuk rumah adat, luas dan tinggi.

Dibakar
Di tahun empat lima, hunian tersebut ada yang dibakar, dibumi hanguskan rumah adat sedesa. Tak rela digunakan oleh Belanda. Penghuni sedesa mengungsi ke desa yang lebih aman. Anak mudanya dan kaum bapa bergerilla menghambat kelancaran gerak pendudukan Belanda. Tak ketinggalan gadis manisnya yang tidak membantu pengungsian, mereka jadi palang merah .

Model
Tampilannya cantik, kokoh dan diduga dapat dihuni 300 tahun. Menjelang akhir abad ke 20 secara umum sudah tak layak huni. Masih dihuni mungkin tinggal hitungan jari.
Di Desa Lingga ada rumah adat yang pernah dipugar pemerintah



Rumah Adat Suku Karo, Desa Ajinembah 1985
(Dok. D. Munthe)

Tak Layak Huni Diruntuhkan, Desa Sarimunte 1985
(Dok. D. Munthe)



Konstruksi Rumah Adat Suku Karo













Rumah Adat di Desa Ajinembah
Berdiri dari ruang balai desa, alias lokasi tengah desa. searah putaran jam mulai dengan lingkaran kecil. Di ssebelah kiri bangunan balai desa, berdiri Rumah Adat Mbaru dihuni 8 rumahtangga. Foto terlampir.
Ke kanan menyeberang jalan tengah desa, berdiri Rumah Adat Mecu ( didiami oleh 4 rumahtangga). Di depan Mecu, berdiri Rumah Adat Jahe (8 Rumahtangga) . Terus melingkar dan kembali menyeberangi jalan tengah desa tadi, berdiri Rumah Adat Suah (8 Rumahtangga). Kanan Suah, Rumah Adat Pelajaren (4 Rumahtangga). Di belakang Pelajaren, Rumah Adat Mbelin (8 Rumahtangga)
Bagian hulu tanah desa, yakni di belakang Mbelin berdiri Rumah Adat Rancang (8 Rumahtangga) dan ke kanan, berdiri pula Rumah Adat Julu (8 Rumahtangga, 1919 dirubuhkan, karena kondisi tak layak pakai).
Kemudian diseberangi lagi terusan jalan masuk tadi, yang membelah tengah desa bagian hulu. Kini yang terpandang, bagian paling hulu tanah desa di kanan jalan, berdiri bangunan Rumah Adat Si Pitu Ruang , pasak atau alas tiang bangunan hampir sebesar tong masih kokoh berdiri sampai kini. Di depan Si Pitu Ruang berdiri Rumah Adat Bolong (8 Rumahtangga).
Dibelakang Rumah Adat Si Pitu Ruang tampaknya tidak pernah dihuni dan kini semua rumah adat sudah dirubuhkan karena kondisi tidak layak huni, terakhir dirubuhkan Rumah Adat Mbaru, sebelum tahun 1998.

Legenda Rumah Adat Si Pitu Ruang
Rumah Adat Si Pitu Ruang, ada legendanya, begini. Beru Munthe Desa Ajinembah, konon sangat cantik parasnya. Dilamar oleh Umang (Orang halus). Keluarga sang gadis menetapkan persyaratan pinangan, yaitu Umang membangun Rumah Adat 8 jabu/rumahtangga dan pesta pernikahan yang meriah 7 hari 7 malam.
Rumah Adat yang disyaratkan selesai dibuat, pesta pernikahan meriah, menjelang hari ke 7 pun sedang berlangsung meriah. Para tamu masuk pintu hulu dan keluar di pintu hilir tak henti hentinya. Rumah Adat Suku Karo memang hanya berpintu dua.
Sang ibu pengantin perempuan mulai kecewa berat. Pasalnya sang menantu tak pernah tampak baik muka maupun punggungnya. Bersumpahlah sang ibu,
“Tak usah cantik anakku asal kulihat menantuku”
Warga Ajinembah berkomentar bahwa Umang itu, bukan Umang. Tapi orang sakti yang dapat menghilang. Rupanya sangat buruk sekali, sehingga tidak pernah menampakkan diri. (Buku Kenangan Marga Munthe, FKMMI, 2004, hal 149-150)

Dari Kota Kabupaten Karo Kabanjahe, Propisi Sumatera Utara. Arah ke Siantar. Di tengah perjalanan belok kanan memasuki Desa Ergaji. Lewati satu desa, dulu namanya Desa Sungsang. Sampailah di Desa Ajinembah. Perjalanan mobil masa kini dapat ditempuh sekitar 20 menit.



Referensi:
1. Imajinasi, beberapa kali mengunjungi Nini Iting di tahun 60-an yang menghuni rumah adat di Desa Sarimunte.
2. Darwan Prinst, S.H. ADAT KARO, Bina Media Printis, Medan, 2004, p.369
3. Sempa Sitepu. SEJARAH – PIJER PODI ADAT NGGELUH SUKU KARO INDONESIA, Bali, Medan, 1993, p.232




Jakarta, 26 Juli 2008


Dame Munthe. 0817826026. dame@data-e.com

Suami Istri di Rumah Adat


CAPAH DAN KUDIN TANEH


Delapan rumahtangga tinggal dalam satu bangunan dan tiap rumahtangga mengemban satu fungsi adat yang unik. Besar kemungkin, hanya ada dalam budaya Suku Karo. Sehingga rumah hunian bersama itu disebut rumah adat alias hunian tempat diaplikasikannya adat dan tradisi kehidupan Suku Karo
Petak hunian tiap rumahtangga, paling 3m X 4m luasnya. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalik. Anak yang sudah akil balik, tidur di lumbung padi buat anak laki-laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.

Aktivitas keluarga lainnya juga dilakukan disitu. Menerima tamu keluarga keperluan penting misalnya. Atau kunjungan semacam menyambut tahun baru yang disebut kerjatahun. Dan disitu juga, menganyam tikar kalau kaum ibu belum mengantuk sehabis makan malam. Seandainya punya kasur busa untuk tempat berbaring pun tidak pratis, karena harus digulung habis pakai. Menyita tempat. Memang di tahun 60 an kasur atau tilam belum merupakan prabot rumahtangga yang umum dalam rumah adat.

Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku. Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Jadi capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk, ditempatkan di para tungku masak keluarga.
Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.

Tampaknya konsep harta keluarga pun jadi sederhana pula. Lumbung padi. Lumbung padi penuh tak habis dipakai oleh keluaga dalam setahun merupakan dasar kebahagian rumahtangga dalam mengarungi kehidupan.
Memang ada tanaman keras di ladang, ada juga hewan di pelihara seperti babi lepas di bawah rumah adat. Termasuk lembu kerbau yang setiap pagi dituntun ke ladang. Kandang hewan itu, juga dibangun sekitar rumah adat. Hewan ini akan dijual untuk keperluan mendadak keluarga. Kotorn hewan dikumpulkan untuk jadi pupuk tananman di ladang.

Swasembana pangan dan swasembana pupuk. Mengemban fungsi adat dalam rumah adat maupun kekerabatan adat dalam satu desa. Menyatu dengan alam karena alam memberi kehidupan dan menyembah Penguasa alam yang diaplikasikan melalui kegiatan penyembahan yang diatur juga oleh adat.

Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.

Kemabali ke salah satu tatanan kehidupan di dalam rumah adat, ada tradisi tertentu bahwa suami istri tidak boleh bertengkar di dalam riumah adat. Boleh bertengkar tapi tanpa suara.
Memang rumah adat sepi suara tiada ngerupi terbaha bahak di sana. Habis makan malam dan biasanya agak serentak waktunya. Pembicaraan anggota keluarga seperlunya saja. Kemudian kepala keluarga alias suami pergi minum ke kedai kopi. Di kedai sang ayah bisa canda, bahkan menganalisa kecenderungan politik segala.

Namanya suami istri, mestinya pernah bertengkar. Kalau pakai suara teriak segala tentunya terjadi ketika mereka di ladang berdua. Tak ada yang mendengar. Sebab antar ladang dulu itu jauh.

Bagaimana kalau tengkar pakai teriak segala dalam rumah adat. Tradisinnya, Tujuh keluarga lainnya di beri wewenang menghancurkan harta benda suami istri yang bertengkar. Sasaran empuknya adalah kudin taneh.
Takkan pernah ada keluaga yang melerai. Bertindak langsung, hancurkan harta benda yang ada.

Kehidupan leluhur Suku Karo di dalam hunian rumah adat sepi suara, sahdu dan anggun dalam kebersamaan penuh pesona. Kekerabatan adat dan tradisi memagari, hangat seperti kehangatan ruangan yang besar akibat api dan asap memasak hidangan malam pada ke empat tungku.
Walau petak hunian per rumah tangga sangat sempit namun hati kekeluargaan sangat lapang antar keluarga penghuni rumah adat. Hanya tawa ceria balita yang terdengar tentunya tangisnya juga kadang kala.



Jakarta, 16 Juli 2008


Dame Munthe. 0817826026. dame@data-e.com

ABG Dirumah Adat


REMAJA TANGGUNG RUMAH ADAT



Sudah dua tahun Murakta menekuni sekolah di kota kabupaten, hampir tiap bulan dia pulang untuk mengambil beras dan uang lauk pauk serta keperluan lainnya untuk digunakan di kota bulan berikutnya. Biasanya Murakta masih tidur di rumah. Namun pulang kampung Murakta kali ini lain. Habis makan malam dengan ayah ibu serta dua adiknya, dia pamit mau tidur di lumbung. Ayah dan ibunya senyum megerti dua adiknya rada bingung.
“Besok pagi, abang kesini habis makan pagi. Kita sama sama ke ladang” katanya kepada kedua adiknya.

Lumbung padi ada beberapa dibangun sekitar rumah adat. Bentuknya bundar dindingnya terbuat dari anyaman kulit bambu. Bagian atasnya kayak loteng biasanya tempat tidur remaja maupun pemuda dewasa. Biasanya penghuni tetap kelompok kecil ini sebaya, kayak kehadiran Mburak malam ini sebagai tamu di lumbung itu. Penghuni tetapnya, beberapa remaja yang lebih tua dan sahabatnya sebaya yang tidak sekolah ke kota.
Anak yang sudah akilbalik memang saru, tabu tidur di rumah adat. Anak lakinya ke lumbung dan ceweknya ke jambur rumah ruang pertemuan, atau kerumah bibi yang sudah menjanda.
Karena sahabat sebaya, banyaklah cerita, Mumpung penghuni lainnya belum datang. Mungkin minum di kedai kopi atau sedang canda ria dengan gadis pujaan di jambur.
“Aku sudah milasi” kata sahabatnya bangga setelah cerita sana sini.
“Milasi sinuan dilaki” maksudnya, istilah halus untuk sunat yang dilakukan leluhur suku Karo.

Dia ingat cerita temannya Soleh yang datang dari Medan beberapa bulan yang lalu. Kala itu Soleh bercerita, empat tahun yang lalu dia disunat dengan acara meriah. Mulai dari alas kaki sampai peci, disandang barang yang serba baru. Tempat duduknya dihias tak ubahnya seperti raja muda sedang manggung. Handai tolan dan para tetangga diundang semua. Paman dan bibi pada datang dan ngasi uang banyak.

“Siapa yang ngajarin” tanya Murakta penuh minat.
“Abang Mangin yang tidur sebelah pinggir sana” sahut sahabat.
“Bisa ngajarin aku” pinta Murakta.
Penghuni lumbung mulai berdatangan. Sahabat tidur bersisian, memang hampir tengah malam.

Sengaja dua sahabat itu lebih cepat sampai di pemandian sore hari itu. Dan bebaslah mereka berbicara.
Diambilnya sobekan daun pisang. Digulung selingkaran buah pisang.
“Ini bagian ujung ‘burung’ “ kata sahabat. Maksudnya bagian kulupnya laki-laki yang dipegangnya dengan ibu jari dan telujuk tangan kiri.
Kemudian tangan kanannya membentuk ‘gunting’ jari telujuk di atas dan jari tengah di bawah. Formasi gunting membelah lingkaran daun pisang bagian atas.
“’Gunting” dibuat dari lidi daun enau. Lidinya dibersihkan, diserut dengan pisau dan kemudian dipotong kurang lebih 5 cm”.

Diambilnya ranting sebagai alat peraga dan lanjutnya.
“Lidi ini dibelah sepanjang 3 cm” Kukunya bergerak dari ujung yang satu menuju bagian tengah ranting..
“Bagian lidi yang terbelah diserut lagi hingga berbentuk lancip/tajam kayak segi tiga memanjang, belahan yang tajam saling bertemu baik belahan yang satu maupun belahan yang kedua”. Murakta dengan seksama memperhatikan, dan lanjut sahabat..
“Dibagian tengah lidi, atau ½ cm dari lidi yang tidak terbelah dipasang benang pengikat. Tapi jangan diikat mati. Supaya nantinya setiap pagi ikatannya bisa dikencangkan”
“Tidak sakit”
“Ah … lebih sakit digigit semut merah” Jawab sahabat dengan senyum.
“Ada darahnya, enggak”
‘Enggak ada, kayak pohon dililit kawat, mana ada getahnya”.

Ingat Murakta akan cerita Soleh. Darah berlepotan, kulupnya dibuang.

“Jadi enggak dipotong, ya ”
“Tidak” sahut sahabat
“Hanya dibelah” kembali diperagakan bundaran daun pisang yang dibelah bagian atasnya.
“Seandainya bagian yang terbelah ini, dijahit, ya kembali seperti bentuk semula” tegas sahabat.
“Pagi dan sore sehabis mandi diolesi air kunyit sekitar kulup yang dicepit maupun lidinya”.
“Berapa dalam dicepit, Bang?”.
“11/2 cm juga cukup, tergantung lah” jawab sahabat, langsung terjun ke sungai, diikuti Murakta..

Murakta kembali ke kota kabupaten, langsung praktek.
Lidi enau penjepit disiapkan dan direndam dalam air kunyit, lalu dipasang sesuai petunjuk sahabat. Seluruh permukaan kulup diolesi air kunyit.

Esoknya di pagi hari. Sehabis mandi, ikatan dikencangkan dan diolesi air kunyit kemudian pergi ke sekolah tanpa memakai celana dalam.
Pagi hari kedua, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari ketiga, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari keempat, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari kelima, lidi penjepit melekat hanya pada satu sisi, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pulang dari sekolah lidi penjepit sudah tidak ada, Murakta bingung, tak tahu jatuh di mana.
Murakta ingat sahabat. Murakta ingat Soleh. Murakta ketawa sendiri.

“Milasi” ini dilakukan leluhur suku Karo tanpa ada berita, orang tua kandung pun tidak tahu. “Milasi” masa kini, tentu lebih baik dilakukan oleh Dokter Spesialis Bedah. Aman dan sehat.


Jakarta 13-02-2008
Dame Munthe

Membuat Cinta di Rumah Adat


MEMBUAT CINTA DI RUMAH ADAT



Kayu singian kerin alat kayak pentungan petugas keamanan. Kalau di sangkutkan di para-para langit-langit tungku rumah adat, maka kepala keluarga pada petak itu ditugasi menjadi penjaga rumah adat esok hari. Penjagaan dapat digantikan oleh anaknya yang sudah dewasa.. Kayu singian kerin, giliran jaga rumah adat.
Delapan petak atau delapan keluaga yang tinggal di rumah adat itu akan bergiliran jaga rumah adat sepanjang masa. Keluarga lainnya tentunya ke ladang, sawah atau ke hutan berburu mencari kayu bakar, cari rotan atau nira untuk dijadikan gula. Mencari kebutuhan hidup di alam terbuka di sekitar rumah adat, paling jauh sekitar empat km. Pergi pagi dan kembali menjelang sore.

Biasanya sudah mandi di tengah perjalanan pulang. Mungkin di pancuran, mungkin di tali air. Sang ibu, sesampai di rumah adat langsung menanak nasi dengan lauk seadanya, maka empat dapur itu akan mengepulkan asap dari kayu yang dibakar naik keatas menembus atap ijuk. Asap mengawetkan kayu dan ijuk. Asap menghangatkan ruang rumah adat yang besar itu.
Tiap dapur tungkunya lima batu, didirikan berbentuk segi tiga dan sudut ketiga yang berada di tengah akan digunakan oleh dua keluarga bersisian petak.

Kalau kaum bapak tidak langsung ke rumah adat sepulang dari ladang, mereka singgah di kedai kopi desa. Kedai kopi ini juga, baru saja buka, mengikuti rutinitas pulang dari ladang warga desa. Rutinitas untuk minum, baca koran dan canda kaum bapak. Memang Suku Karo tidak dibuatin kopi oleh istrinya. Dan besar kemungkinan tidak ada kopi atau gula di rumah.
Kalau muda mudinya, tak membersihkan diri pada perjalanan pulang dari ladang. Biasa, cari kesempatanlah. Mereka berkelompok menuju sungai, mandi berenang sambil curi pandang kelompok gadis yang berenang sebelah sana dan bercada ria selagi masih muda. Anak gadisnya habis mandi, cuci pakaian sepasang bekas dipakai sekalian mengambil air untuk kebutuhan dapur.

Memasak memang hampir serentak dilakukan, rutinitas keseharian yang membuat demikian. Tidak ada suara penggorengan yang mendesing karena sayur dioseng umpamanya. Minyak goreng masih langka di rumah adat. Sederhana saja, tanak nasi, buat sambal lalu direbus dengan ikan kecil ketemu di sawah tadi, maupun lele yang dapatnya dengan dudak model memancing dengan menancapkan pancing di tepian sungai, ditinggal dan beberapa jam kemudian diambil baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Kadang belut dibakar dan diasapkan di atas para-para tungku sebagai persedian lauk makan esok hari.

Kayu singian kerin tersangkut di para-para tungku petak Gindo tempati. Berarti dia tidak keladang besok .
Hatinya sebenarnya ingin keladang. Dia hanyut dalam kenangan indah penuh kemesraan di ladang . Waktu itu hujan rintik rintik di luar sapo tempat berteduh di ladang atap ilalang. Habis makan siang hujannya bukan mereda malah tambah deras. Istrinya menggoda.
Tidak seperti di rumah, istrinya lebih suka menghindar. Mereka hanyut mesra berdua tanpa hawatir menyentuh tikar pembatas.
Ingin juga hatinya, agar istrinya di rumah saja, ikut menjaga rumah adat, tapi saru itu tapi malu itu, katanya dalam hati sambil senyum. Jangankan tinggal berdua di rumah, jalan berduaan dan dekatan saja rada tidak elok di kampung itu. Biasanya istri jalan di depan, suaminya empat langkah di belakang mengikuti atau sebaliknya.

Di rumah memang istrinya lebih suka menghindar. Pasalnya dinding pemisah petak bersisian hanya tikar yang disangkutkan seperti menjemur tikar di atas bambu yang dipasang mendatar. Memang dua tikarnya, satu yang sini dan satu lagi tikar petak sana. Jadi lapis tikarnya bahkan menjadi empat, karena masing masing petak membuat bambu mendatar tempat sangkutan. Tapi kalau goyang tikarnya kan tak enak dipandang. Rumah adat memang sepi suara sepi gerak sepi rumpi, kecuali balita yang belum tidur, kadang mereka menangis.
Kalau sudah mendesak, ya dilakukan juga. Tentunya dengan gerak yang sangat super tenang, terbuai kehangatan sisa bara api tungku makan malam. Sepi, hangat dan cahaya remang sampai menjelang pagi. Dan kembali tungku menambah kehangatan karena para ibu menanak nasi buat sarapan dan untuk bekal makan siang di ladang.

Rumah adat tidak sembarang penghuni. Kedelapan pasangan suami istri merupakan kekerabatan adat. Kekerabatan yang sudah ditetapkan dengan norma adat. Apa yang pantas dilakukan dan apa yang tak pantas dilakukan antar kedelapan keluarga penghuni petak.
Ruang memang tidak lapang, rutinitas keseharian di dalam rumah adat cenderung dibuat sama. Sepi, saling menghormati. Sepi, tak pantas canda. Sepi cenderung sahdu, tak pantas ngerumpi. Kearifan dan tradisi penghuni. Jadi, kalau suami dan istri mau tengkar besar kemungkinan di lakukan di ladang, sebab saru di lakukan di rumah adat.

Kekerabatan dalam rumah adat merupakan kesatuan dalam bertidak keluar dari rumah adat yang mereka huni. Kesatuan ini, diterapkan juga dalam kehidupan warga desa untuk bertindak keluar dari desanya.

Besar kemungkinan kekerabatan rumah adat ini sangat mempengaruhi keutuhan perkawinan penghuni rumah adat. Kekerabatan rumah adat yang menjadi budaya kehidupan suku Karo di desanya, dan terbawa oleh warga yang pindah ke kota.
Keutuhan perkawinan itu tampak dari kecilnya perceraian yang terjadi, janda ditinggal mati suami, cenderung tidak menikah lagi kalau sudah punya anak. Duda yang ditinggal mati sang istri. Walau umurnya sudah 60 tahun, langsung ditanya sepulang penguburan istri tercinta. Ditanya tentang niat menikah lagi, mau yang muda belia atau mau yang sudah tua sebagai calonnya. Bahasa tanyanya sangat halus dan dilakukan dengan penuh hormat oleh rombongan atau kelompok kekerabatan yang disebut anakberu atau pihak yang mengambil wanita keluarga duda.

Kearifan tradisional atau kepandaian bersifat tradiasi, yaitu adat kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun, dimulai leluhur suku Karo dari huniannya yang disebut rumah adat.
Kekerabatan leluhur itu, penting, identitas dan sudah teruji maknanya.




Jakarta 11 Pebruari 2008
Dame Munthe
HP 0817826026

Cinta di Ture Rumah Adat


CINTA DI TURE RUMAH ADAT



Libur sekolah memang menyenangkan, kali ini lebih menyenangkan lagi karena aku mau praktek bagaimana menikmati “Guro-guro aron perkolongkolong”di kampung. Semacam tari pergaulan muda mudi Suku Karo. Pesta ini suka dilakukan habis panen raya, atau ganti tahun atau libur panjang sekolah. Anak sekolah yang mondok di kota, pada pulang ke kampung. Jadi ramailah kampung dari biasanya.

Aku bukan anak mondok itu, karena ayah ibuku tinggal di kota. Tapi aku ikut pulang ke kampung. Kangen sama nenek. Pulang karena kangen, memang kulakukan setiap libur sekolah. Cuma kali ini rada lain, soalnya aku baru belajar memakai celana panjang pertamaku, bekas permak celana bekas orang dewasa. Kainnya memang bagus, wool warna crem. ABG, anak baru gede istilah masa kini.

Nenek yang kusapa Iting, tinggal di rumah adat yang dihuni delapan keluarga. Dia satu keluarga tanpa angota rumahtangga alias janda tinggal sendiri. Petak tempat tinggalnya , petak kedua sebelah kiri kalau masuk dari pintu hulu. Satu petak sekitar 3 m X 4 m. Disitu masak dan tidur. Antar petak digantungkan tikar diatas bambu sebagai dinding pemisah antar tempat tidur petak bersisian. Tungkunya menyatu untuk dua petak bersisian. Jadi ad a 4 tungku, dua sebelah kiri dan dua lagi sebelah kanan. Di tengahnya jalan lurus dari pintu hulu ke pintu hilir. Semua tungku saling kelihatan kalau serentak memasak.. Dan asap dapur bahan bakar kayu itu akan naik keatas memenuhi ruang langit langit yang sangat tinggi bila dibanding rumah masa kini, sekalian mengawetkan kayu dan atap ijuk rumah adat. Sekalian juga sebagai pemanas ruangan yang trerasa hangat sampai pagi karena masak malam ke delapan keluarga tersebut.

Rumah adat punya pintu hanya dua. Satu di hulu dan satu lagi di hilir. Kedua pintu itu punya ture atau kakilima. Ture terbuat dari bambu utuh sebesar paha orang dewasa, disusun mendatar jadi lantai simetris dengan pintu. Lurusan pintu, dibuat tangga menanjak tajam untuk naik ke ture setinggi orang dewasa pula. Luas ture sekitar 3 m X 4 m.
Tepian ture sebelah kiri dan kanan, sering dijadikan anak balita jadi tempat buang hajat. Biasanya pagi hari, mereka jongkok dengan hati hati karena ture tak punya dinding pembatas. Anak yang masih kecil biasanya ditemanai ibunya dengan memegang tangan sang anak. Atau sang anak duduk diantara kedua kaki ibunya yang duduk di lantai bambu dengan posisi huruf L., jadi kloset alami yang sangat menyenangkan sang anak Begitu hajatnya jatuh ke tanah, langsung bersih ulah babi yang berkeliaran di bawah yakni langsung memakannya.
Malamnya, tempat itu jadi ajang muda mudi untuk saling mengenal. Mereka duduk berdua duaan di tepian sisi ture. Masing masing menutupi tubuhnya dengan kain sarung menahan udara malam yang dingin. Kalau mereka lagi asik dan orang tua kebetulan mau masuk ke rumah adat. Maka orang tua itu pura pura batuk , sebagai kode mau masuk. Memang ture gelap, paling bulan kalau lagi tampak, belum ada listrik.
.
Kalau ke kampung, aku tak bisa tidur di petak tempat tinggal Iting. ABG malu tidur di rumah adat. ABG yang laki biasanya tidur di atas lumbung padi, bangunan sekitar rumah adat, ABG cewek menyatu tidur di tempat tinggal janda atau jabur bangunan serba guna. Anak laki habis makan malam biasanya langsung keluar dari rumah adat. Anak gadisnya habis makan malam biasanya beres beres dapur dan menunggu kunjungan kekasih.

Ada kode tersendiri hal kunjungan kekasih ini. Biasanya tempat duduk kekasih yang melayani makan keluarganya, posisinya duduk tetap dan dekat tungku. Ada celah antar papan lantai. Dari celah itu dibuat sodokan mesra dari lidi yang mengenai bogong kekasih. Biasanya waktu kunjungan pacar ini agak serentak untuk semua anak gadis yang ada di rumah adat itu. Bercengkramalah mereka di dua ture itu, ture hulu dan ture hilir. Kalau malam mulai larut, sang gadis ke rumah janda atau jambur untuk tidur, dan yang laki merebahkan diri di atas lumbung.

Sore hari, ABG pada ke sungai mau mandi. disengaja waktunya bersamaan. Anak gadisnya mau mandi dan sekalian mengambil air kebutuhan dapur dengan menjunjung kuran wadah air yang terbuat dari bambu sebesar paha orang dewasa. Biasanya dua ruas bambu yang pembatasnya dilobangi.
Ada tempat berenang di sungai yang permukaannya cukup luas, airnya tenang karena dibendung untuk keperluan pembagian tali air ke beberapa desa.. Anak gadisnya mengelompok berenang tanpa salin pakaian ditepi sebelah sana. Lakinya mengelompok pula sebelah sini dan berenang dengan celana dalamnya masing masing.
Mereka hanya saling curi pandang dan canda ria, kadang kadang saling memojokkan. Beberapa anak gadis yang memakai blus bahan teteron yakni kain yang berjaya waktu itu, kelihatan kulit tubuhnya yang kuning, apa lagi yang tidak pakai BH. Cantiklah anak desa itu.
Sekalian cuci pakain, begitulah. Anak gadis itu, dan pulangnya nanti pakai kain sarung saja yang dililitkan sebatas dada, inipun punya keindahan tersendiri pula.
Anak lakinya akan mengelompok mengiringi dari belakang. Jalan dari sungai ke desa menanjak agak tajam. Membentuk betis anak desa tampak berisi. Bahunya juga kelihatan padat karena tiap sore menjungjung kuran di kepala.

Suatu malam, kubawalah lidi penyodok mesra. Teman selumbung meberi pengarahan cara menggunakannya, dan menemani aku masuk ke kolong rumah adat. Dia hapal betul menentukan lokasi duduk sang gadis. Sodokan pun dilakukan.
Anak gadis ini pernah berpasangan tari denganku, sewaktu pesta guro guro aron beberapa malam yang lalu. Dan tadi sore, sepulang dari sungai telah kucandai, sekalian bilang mau berkunjung nanti malam. Dia senyum saja tanpa menoleh, menahan beban air dalam kuran junjungan. Tampak pipi kanannya merona merah muda.

Sewaktu menari dengan dia aku menggigil karena itulah tari pertamaku. Gigilan itu tampak pada bagian luar celana yang membalut paha, apa lagi sewaktu badan naik. Tariannya memang naik turun, irama lamban lagi, tak pelak makin jelas gigilannya tampak.
Sekarangpun aku menggigil, tapi bukan di paha. Bahu dan bibir mengigil, padahal sudah dibalut kain sarung seluruh tubuh, kecuali muka karena mau bicara dengan dia. Dinginnya malam tak biasa untukku. Kutinggalan ture menuju lumbung.

Di ture canda ria muda mudi mengelompok, mandi ke sungai juga mengelompok, saling kontrol dalam kelompok. Begitu pula pengawasan orang tua dan sistem kekerabatan di desa. Lokasi canda ria muda mudi memang selalu mengelompok termasuk guro guro aron perkolongkolong. Tidak seperti di kota, muda mudi suka berdua.



Jakarta 30 Januari 2008
Dame Munthe