Laman

Jumat, 11 Desember 2009

Nurani

Nurani pergi
Tatkala mati
Kini lagi menepi
Cinta terbuai tari
Gerak sana sini tak henti
Dan kelamaan kan lupa diri
Cepat kembali
Mumpung hari masih pagi
Ada embun pagi disini.

Rabu, 28 Oktober 2009

Cantik

Gadis kampung ku pulang mandi sore di sungai.

Jalan menanjak perlahan
Lehernya mengeras halus menjungjung cucian
Bahu terbuka ada butir air seakan mutiara jatuh perlahan
Matanya melirik tanah jari kaki mencekam kokoh

Kami selisih
Dia senyum

Kain melilit trubuhnya terkuak sedikit ke tepi
Kutoleh tampak betis penuh padi
Gontai macan tutul asli
Terbayang sampai kini

Gimut. Jakarta Juni 2009

Senin, 12 Oktober 2009

Nami-Nami Anak Beru

Punya bini dan melahirkan anak. Kemudian anak itu dewasa dan ketemu jodoh. Orang tua menikahkan anak dengan pesta adat meriah. Itu mah biasa kata orang Jakarta.
Ada yang luar biasa. Bukan bini yang melahirkan tapi pesta pernikahan adat untuk anak itu dibuat meriah. Keluarga yang di undang juga suka datang menghadiri alias injoy datang memenuhi undangan yang diterima. Apakah yang mengaturnya sehingga terjadi pesta pernikahan adat berlangsung meriah? Waktu, dana, pemikiran, kesibukan tersita layaknya anak sendiri akan memasuki upacara pernikahan. Persiapan melelahkan tak kurang dari, seandainya anak dari bini yang bakal manggung di pelaminan. Detak jiwa suami istri akan suasana yang akan terjadi di hari "H" kadang penuh rasa hawatir. Apa yang akan disandang dan sudahkah pantas busana yang akan digunakan dan sebagainya. Persiapan tidak kurang seandainya anak yang dikandung bini yang melengkungkan janur kuning di gedung pertemuan yang megah. Bagaimana bisa terjadi?
Kebajikan-kebajikan para leluhur, itulah jawabannya.

Kegiatan adat ini tidak sembarang keluarga bisa melakukan, kesempatan muncul untuk melakukan juga tidak sama bagi tiap keluarga Suku Karo.
Bisa saja terjadi seumur yang ada tidak pernah muncul kesempatan untuk melakukan kegiatan adat yang satu ini. Adat yang mengatur keluarga mana yang harus atau bokeh mengemban pelaksanaan pesta pernikahan adat buat anak yang bukan dilahirkan oleh bini sendiri.
Kebajikan-kebajikan para leluhur, itulah yang mengaturnya.

Satu kebajikan para leluhur, sebagai makna kehidupan serat muatan dan sangat penuh arti
dalam kehidupan Suku Karo adalah "nami-nami anakberu". Kegiatan yang dikemukan di atas merupakan salah satu wujud nyata aplikasi "nami-nami anakberu"
"Metami man anaberu", alias usaha tak pernah henti untuk menyenangkan hati keluarga pemberi anak dara pada keluarga kita, begitu kata kebijakan yang diturunwariskan oleh para leluhur Suku Karo.

Semoga lestari kebajikan-kebajikan yang diturunwariskan para leluhur Suku Karo.


Dame Munthe, Jakarta 15102009.

Sabtu, 12 September 2009

MENUNGGU KERUNTUHAN RUMAH ADAT SUKU KARO


Rumah Mbelin 2009 Desa Lingga



Rumah Manik 2009 Desa Lingga. Dinding sebelah kiri dari hilir.




Rumah Tarigan 2009 Desa Lingga





















Rumah Ligei 2009 Desa Paribun













Rumah Gugung 2009, Desa Paribun


Katanya tahun 50 an Desa Lingga memiliki Rumah Adat Suku Karo (RASK) sebanyak 50 unit, kini 2009 tinggal dua unit yang dihuni. Dan kedua unit tersebut masih dihuni karena ada perhatian Pemerintah dan merenovasi beberapa waktu yang lalu.

Ada beberapa masih berdiri seperti Rumah Tarigan, Rumah Bangun, Rumah Manik, Rumah Mbelin, namun tinggal menunggu hari keruntuhan. Masa kokoh dan kegagahannya mulai surut dimakan waktu yang terus berlalu.

Tampaknya RASK yang pernah ada dan besar kemungkinan setiap desa di Kabupaten Karo pernah memiliki RASK.

Saat revolusi kemerdekaan banyak desa membumihanguskan RASK karena tak rela digunakan oleh Belanda. Penduduk mengosongkan desa eksodus ke desa yang dianggap aman. Lenyap karena dibumihanguskan maupun RASK yang runtuh karena perjalanan waktu alias alamiah layak huni RASK sampai pada puncaknya tak pernah terganti oleh pendirian bangunan baru RASK. Tepatnya barangkali abad 19 tidak ada pembuatan RASK.

Bagi desa yang tidak pernah membumihanguskan desanya memang masih ada satu dua RASK yang kini masih dihuni. Namun bangunan RASK tersebut tampak dimakan usia juga. Padahal dugaan usia layak huni RASK sekitar 300 tahun.

Di Desa Paribun masih ada dua unit RASK dinamai Rumah Gugung dan satu lagi dinamai Rumah Ligei keadaan 2009. Tahun lalu masih dihuni.

RASK sebenarnya tempat aplikasi adat kehidupan budaya suku Karo oleh leluhur Suku Karo dahulu kala. Dalam hunian tersebut diterapkan langsung oleh seluruh penghuni sebanyak delapan rumahtangga. Tidak sembarang orang dapat menempati salah satu petak keluarga dari delapan petak keluarga tersedia..

Pendirian bangunan RASK juga melibatkan bayak keluarga pihak tertentu. Terlibat juga guru ahli meramal dan segala mantera.

Pendirian bangunan RASK tampaknya tak sejalan dengan pemahaman suku Karo atas agama dan disamping itu pergeseran budaya tempat tinggal yang cenderung mendirikan bangunan hunian privat dan individu seperti layaknya masyarakat umumnya disekitar mereka.


Rumah Gugung 2009, Desa Paribun

Rumah Ligei 2009 Desa Paribun

Rumah Tarigan 2009 Desa Lingga

Rumah Manik 2009 Desa Lingga. Dinding sebelah kiri dari hilir.

Rumah Mbelin 2009 Desa Lingga


Jakarta, 13-09-2009

Dame Munthe.

dame@data-e.com

Senin, 10 Agustus 2009

PERTENGKARAN SUAMI ISTRI

Delapan rumahtangga tinggal dalam satu bangunan dan tiap rumahtangga mengemban satu fungsi adat. Besar kemungkin, hanya ada dalam budaya Suku Karo. Sehingga rumah hunian bersama itu disebut rumah adat alias hunian sekaligus sebagai tempat diaplikasikannya adat dan tradisi kehidupan Suku Karo.

Petak hunian tiap rumahtangga, paling 3m X 4m luasnya. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalig. Anak yang sudah akilbalig, tidur di lumbung padi buat anak laki-laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.

Aktivitas keluarga lainnya juga dilakukan disitu. Menerima tamu keluarga keperluan penting misalnya. Atau kunjungan semacam menyambut tahun baru yang disebut kerjatahun. Dan disitu juga, menganyam tikar kalau kaum ibu belum mengantuk sehabis makan malam. Seandainya punya kasur busa untuk tempat berbaring pun tidak pratis, karena harus digulung habis pakai. Menyita tempat. Memang di tahun 60 an kasur atau tilam belum merupakan prabot rumahtangga yang umum dalam rumah adat.

Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku yang disebut para-para.

Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Jadi capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk. Periuk tanah dan peralatan dapur termasuk capah piring makan ditempatkan di para-para tungku masak keluarga. Belut atau ikan lele sering juga disangkutkan di para-para untuk diasap menjadi awet sebagai persediaan lauk. Tidak ada lemari dapur. Jangankan lemari dapur, lemari pakaian pun tidak ada di sana.

Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.

Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.

Kemabali ke salah satu tatanan kehidupan di dalam rumah adat, ada tradisi tertentu bahwa suami istri tidak boleh bertengkar di dalam riumah adat. Boleh bertengkar tapi tanpa suara.

Memang rumah adat sepi suara tiada ngerupi dengan tawa terbaha-bahak di sana. Habis makan malam dan biasanya agak serentak waktunya. Pembicaraan anggota keluarga seperlunya saja. Kemudian kepala keluarga alias suami pergi minum ke kedai kopi. Di kedai sang ayah bisa canda, bahkan menganalisa kecenderungan politik segala.

Namanya suami istri, mestinya pernah bertengkar. Kalau pakai suara teriak segala tentunya terjadi ketika mereka di ladang berdua. Tak ada yang mendengar. Sebab jarak antar ladang umumnya jauh.

Bagaimana kalau tengkar pakai teriak segala dalam rumah adat. Tradisinnya, Tujuh keluarga lainnya di beri wewenang menghancurkan harta benda suami istri yang bertengkar. Sasaran empuknya adalah kudin taneh dan peralatan dapur yang tersangkut di para-para.

Takkan pernah ada keluaga yang melerai. Bertindak langsung, hancurkan harta benda yang ada.

Kehidupan leluhur Suku Karo di dalam hunian rumah adat sepi suara, cenderung sahdu dan anggun dalam kebersamaan penuh pesona. Kekerabatan adat dan tradisi memagari, hangat seperti kehangatan ruangan yang besar akibat api dan asap memasak hidangan malam bersumber dari ke empat tungku.

Walau petak hunian per rumah tangga sangat sempit namun hati kekeluargaan sangat lapang antar keluarga penghuni rumah adat. Hanya tawa ceria balita yang terdengar tentunya tangisnya juga kadang kala.

Jakarta, 16 Juli 2008

Dame Munthe.

Selasa, 04 Agustus 2009

PERTARUNGAN KAKEK

“ ... ini ilmu terahirku ilmu pamungkas Pukulan Tapak Tanpa Rasa. Kuberitahu, kalau aku kalah, aku akan berguru kepada kalian, tetapi kalau aku menang, kuperingatkan, kaliaan semua akan mati di tanganku. Saat ini juga!”

Daud Tony: DUNIA ROH, Betlehem, Jakarta 2002, p.23.

Iseng-iseng aku jalan kaki di Naripan Bandung. Barat ke arah timur. Walau tengah hari, terasa sejuk. Karena kiri kanan jalan, pohonnya rindang. Jalan kaki di trotoar memang kurang nyaman. Sering terhalang tenda warung kaki lima. Sebelah kiri mendekati lampu merah. Ada toko buku Kalam Hidup.

“Cari bacan untuk di kereta api” pikirku dalam hati. Memang besok pagi aku mau kembali ke Jakarta. Kubeli satu buku. Judul Dunia Roh.

Sebelah kanan pintu keluar toko, masih dalam halaman toko mangkal penjual es buah. Kupesan satu mangkok. Bab satu langsung dibaca sambil menikmati es. Dikemukakan penulis, bahwa dia adalah cicit terpilih menjadi murid tunggal kakek nenek buyut pihak ibunya yang menguasai ilmu tingkat tinggi. Kakek buyut ilmu putih.Nenek buyut ilmu hitam. Tandingannya belum pernah ada di bumi persada tercinta ini. Tapi keok dengan ilmu mantera “Haleluya”

Paginya, begitu duduk di bangku Parhiyangan jurusan Bandung ke Jakarta, langsung kulalap bab lainnya. Tak terasa air mataku menetes dari bab ke bab. Terbayang aku akan pertarungan kakekku yang kusapa Bulang. Bulang tarung batin dengan pendeta dari Pantekosta.Bulang mengaku kalah, sebab terasa olehnya bahwa badannya akan pecah bila tidak mengku kalah. Begitulah cerita yang kudapat dari seorang sahabat ayahku.

Ayahku memang pernah cerita tentang Bulang, tapi bukan perihal tarung batin tersebut.

“Waktu itu, umur abangku empat tahunan” kata ayahku, memulai kisahnya.

“Ayah sendiri masih dalam kandungan nenekmu dan keluarga sedang menunggu kelahiran ayahmu ini” lanyut ayah.

“Tradisi dalam keluarga kita masa itu, bila sedang menunggu kelahiran bayi, maka orang tua mencari anak batu untuk pengulek yang bentuk dan besarnya seperti telor angsa. Bulangmu pun pergilah ke sungai, mencari anak batu pengulek. Di sungai, ia ketemu musuh bebuyutan yang tinggal sedesa dan punya ilmu hitam katagori tinggi. Musuhnya memanfaatkan setuasi keluarga yang sedang menunggu kelahiran dengan membuat masalah di sungai itu. Bulang menghindar karena sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Di halaman rumah sekembalinya dari sungai. Tampa disangka sebuah lembing menancap di sisi kanan Bulangmu. Untung sigap Bulangmu menarik tangan kiri abangku seperempat putaran kearah belakangnya, sebelum lembing menancap di tanah.

Kemudian Bulangmu membuka sarung yang tadinya terlilit di pinggangnya. Lepas lilitaan, kedua ujung sarung disatukan dan anak batu pengulek diletakkan di bagian dalam tengah kain sarung. Sarung kemudian di putar putar oleh bulangmu diatas kepalanya, sebagai alat pelontar anak batu pengulek. Anak batu lepas mengenai sasaran, si pelempar lembing tewas seketika. Ilmu kebal pelempar lembing tak berfungsi. Anak batu pengulek adalah pantangannya. Bulangmu pun berurusanlah dengan Polisi dan Bale Pengadilan Belanda. Ayahmu ini lahir dan dinamai “Bale” oleh Bulangmu.” Kenang ayahku atas Bulang dan tersenyum akan makna namanya yang diberikan Bulang kepadanya.

Pada kesempatan lain, seorang teman yang lebih tua beberapa tahun dari saya.

“Itulah sebabnya, kalian Pantekosta semua. Seperti keluaga kami” kata teman itu, kemudian dia meneruskan kenangannya atas kisah ayahnya menemui Bulang.

“Tadinya, ayahku menemui Bulangmu untuk meneruskan pelajaran ilmu hitam sebagai kelanjutan pelajaran sebelumnya. Namun pada pertemuan itu, Bulangmu berkata bahwa dia sudah pindah Guru alias masuk Pantekosta karena kalah tarung dengan Pendeta. Kalau Guru pindah Guru, akupun ikut pindah, ayahku merespon pertemuan mereka. Jadi, Pantekosta pulalah kami semua.” Kata temanku itu.

Bulang tidak pernah mengkisahkan ilmu hitamnya kepadaku. Padahal aku cucu pertamanya dan setiap libur sekolah , kutemui Bulang untuk bermanja. Aku manja di sisi Bulang walaupun aku sudah menjadi mahasiswa. Sekarang baru aku mengerti mengapa Bulang tidak pernah mengisahkan ilmu hitamnya. Aku mengerti dari buku ini, buku yang meneteskan air mataku.

Dunia kegelapan tidak punya apa-apa. Tidak dapat menyembuhkan penyakit, hanya dapat memindahkan pindahkan penyakit. Tidak dapat memberi berkat atau kekayaan, hanya dapat memindah pindahkan harta keturunannya. Kesehatan dan harta keturunannya sampai tujuh keturunan, disedot melalui bantuan orang yang punya ilmu dunia kegelapan alias perdukunan.

” Bulang mengerti perihal dunia kegelapan itu. Sehingga tidak dipesankan maupun dikisahkan kepadaku” pikirku dalam hati.

Kuusap kedua pipiku, setasion Jatinegara di depanku.


Jatinegara 02.2003.

Dame Munthe

Senin, 03 Agustus 2009

Munthe dari Abad dini Sampai Kini

"MUNTHE" DARI ABAD DINI SAMPAI KINI



"Munthe" Unik. Mungkin, nama keluarga atau marga "Munthe" unik bila dibanding dengan nama keluarga lainnya. Pasalnya "Munthe" digunakan oleh berbagai suku, daerah, wilayah, atau kumpulan penduduk yang mendiami tanah sekitar danau Toba. Meliputi, Tongging Sipituhuta, Tanah Karo Simalem, Dolok Sanggul, Toba, Mandailing dan Angkola, Labuhan Batu, Simalungun, Gayo Luas dan Alas, Pakpak Dairi. Dan kabarnya, "Munthe" ada juga mengelompok di daerah tertentu pulau Sulawesi dan pulau Irian. Di Sulawesi, mereka menyebutkan dengan "Muntu" dan desanya dinamai " Desa Munte"

Uniknya Lagi "Munthe" Itu. Sudah ada tercatat digunakan oleh 12 orang diantara tahun 1000-1499 .Tertua bernama Ascricus van Munte (1072 - …) tinggal di Vlanderen, wilayah Belgia sekarang. Di Norwegia, keturunan Ludvig Munthe (1593-1649) disusun rapi silsilahnya oleh Severre Munthe, dalam buku FAMILIEM MUNTHE IN NORGE. Kini (1995) jumlah keturunannya lima ratus lebih. Munthe Norwegia menyatakan bahwa Vlanderen adalah tanah asal leluhur mereka. Dan tampaknya, sebagai penghargaan kepada "Munte" tertua tersebut maka web side mereka namai dan dengan alamat berikut,
http://www.geocities.com/-ascricus/genealogy/surnames.htm

"Munthe" Sekitar Danau Toba Apakah ada hubungannya dengan "Munthe" Norwegia.? Belum ada penelitian yang rampung. Pernah ada usul penelitian "Sejarah dan Silsilah Marga Munthe" Universitas Simalungun (1999). Team Peneliti sudah dibentuk. Proposal Penelitian dan Bab I Pendahuluan sudah disusun. Tapi belum dapat diselesaikan. Namun ada beberapa catatan yang sangat menggelitik minat tahu warga "Munthe".

Sitor Situmorang pada buku TOBA NA SAE menulis
"…terutama Barus yang sejak abad abad dini (sejak kira-kira abad 5) sudah disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper (Kapur barus)." Pelabuhan Barus memang merupakan pintu satu satunya wilayah barat Sumatera Utara.


Penulis yang sama dalam bukunya "GURU SOMALAING DAN MODIGLIANI UTUSAN RAJA ROM" " mengemukakan bahwa Barus telah dicatat sebagai berikut:
1. Tahun 150 oleh sarjana Ptolemaeus di Aleksandria (Mesir
sekarang).
2. Tahun 692 oleh I-tsing.
3. Tahun 846 oleh Ibnu Chordhadhbeh.
4. Tahun 851 oleh Raja Sulaiman.
5. Tahun 1088 ada pemukiman Bangsa Tamil.
6. Tahun 1292 oleh Marco Polo.
Jadi, mungkin saja terjadi, seorang "Munthe" petualang naik ke
kapal dan kemudian turun pada suatu daerah pelabuhan, kemudian
menetap pada suatu daerah tertentu. Dan gelitikan minat tahu
berikutnya, dari pelabuhan manakah "Pemuda Munthe "itu?.

Di Jakarta (1971). Kapten J. Munthe, Mayor David Munthe, Joahan
Munthe, Karel Munthe, Tumbungan Munthe, John Munthe, Banuara Munthe,
M. Situmorang, Hasugihan dan Polisten Munthe. Sepakat membentuk
Pungguan Munthe.
Rupanya, Pengurus Pungguan Munthe menyadari bahwa "Munthe" tersebar
di berbagai daerah termasuk Luar Negeri. Tokoh Pungguan Munthe pun
mengadakan pertemuan di Mayasari Cililitan dan kemudian dilanjutkan
dengan pertemuan tanggal 19 Januari 2001 di Kantor Kejaksaan
Kebayoran dan sepakat membentuk FORUM KOMUNIKASI MARGA MUNTHE
INDONESIA (FKMMI). Terdiri dari,

  1. Marga Munthe dari Tongging Sipituhuta,
  2. . Marga Ginting Munthe dari Puak Karo,
  3. Marga Munthe dari Dolok Sanggul,
  4. Marga Munthe dari Puak Toba,
  5. Marga Dalimunthe dari Mandailing dan Angkola,
  6. Marga Dalimunthe dari daerah Labuhan Batu,
  7. Marga Saragih Munthe dari Puak Simalungun,
  8. Marga Munthe dari Gayo Luas dan Alas,
  9. Marga Munthe dari Puak Pakpak Dairi,

Beserta anakberu masing-masing. Diresmikan pendiriannya pada tanggal 8 April 2003.

Home Page "SADAMUNTHE" Dipasang pertengahan 2001 dengan alamat
sebagai berikut http://www.geocities.com/sadamunthe tampilannya
masih sangat sederhana, perlu pengembangan lebih lanjut.
Groups "sadamunthe" di INTERNET Dipasang Maret 2003 dengan alamat
http://www.groups.yahoo.com/sadamunthe tampilannya sudah memadai dan
diharapkan keluarga muda "Munthe" dan generasi muda "Munthe"
menggunakan media ini, sebagai sumbang saran, tempat menyimpan
file"Munthe"danfileFKMMi.


Desa Ajinembah, Banyak Disebut Berkaitan Dengan "Munthe".
"Disanalah ia menjadi orang sakti yang menguasai segala persinumbahan
(ilmu –ilmu gaib dan Oppung Jelak Karo menamakan tempat itu Aji
Nembah (pertapaan sakti dan keramat) dan ahirnya disanalah ia menetap
dan membuka huta yang dia namakan Huta Aji Nembah".
Tn Sipinangsori (1395-1435) Berasal dari Ajinembah Karo landen, anak
Jelak Karo, tiba di Raya Simbolon sekitar tahun 1428 menunggang
horbo Sinanggalutu (Versi FKMMI Puak Simalungun. Buku Kenangan Marga Munthe,hal.81,83,.95)

Seorang Dalimunthe Cerita. Bahwa leluhurnya zaman duhulu kala
takkala sampai di daerah Labuhan Batu membawa bibit semacam kacang
yang disebut "dali".Kacang ditanam dan panen pada waktunya. Ternyata para tetangga sukaakan kacang tersebut. Dan para tetangga menyebut kan
"Tolong ambilkan (mungkin barter) kacang "dali-Munthe" ". Begitulah
penyatuan kata terus menerus dan menjadi sapaan bersahabat, "Dalimunthe."
"Munthe lah leluhur kami" kata penutur cerita menutup ceritanya..
"Dalimunthe kami ini, turunan dari penunggang kerbo Nengga Lutu dari
Ajinembah" kata Ketua FKMMI wilayah/daerah Padanglawas.

Seorang Saragih Munthe cerita Lagi.
"Tolong dalam menuliskan nama saya, ada "Saragih" nya" katanya tegas namun senyum.
"Pasalnya, leluhur kami dahulu kala tak boleh punya tanah di Raya kalau tidak menuliskan "Saragih" sebelum Munthe" lanjutnya sambil tersenyum simpul
"Dan leluhur kamilah penunggang "Kerbo Nenggala Lutu" dari Ajinembah itu" timpal Seorang Saragih Munthe lainnya yang duduk disampingnya.

"Menurut nenek kami (Oppung) bahwa Marga Munthe yang ada di
pengambatan berasal dari Aji Nembah (Kabupaten Karo)" kata Ketua
FKMMI Sipituhuta . (Buku Kenangan Marga Munthe, hal. 221)

David Munthe Seorang Anthrofologi. Tinggal di Madagaskar asal
Norwegia. Mengunjungi Kuta Ajinembah, diantar oleh Pengurus Nomensen
dan diterima oleh Pendeta Pantekosta Ajinembah (1971). David
mengemukakan bahwa leluhurnya berasal dari Ajinembah . Dia tahu rumah
sendi, dan mengatakan "putih" dalam bahasa ibunya dengan "Mbulan".
(Penutur, penduduk Ajinembah, 2001).

FKMMI KECATAN MEREK. Dibentuk menjelang ulang tahun FKMMI.
Kegiatan HUT ke III FKMMI tersebut diserakan pelaksanaannya kepada
Munthe Puak Simalungun dengan tugas sebagai berikut: Menyusun
Sejarah Munthe dan melaksanakan pesta HUT ke III FKMMI.
Pesta meriah dihadiri 600 orang, dilaksanakan Minggu, 20 Juni 2004
Pukul 12.00 wib. di Gedung SEJAHTERA Jl. Pondok Gede Kav. 58,
Jakarta Timur.
Buku "Sejarah Munthe" pun selesai dicetak dan dibagikan kepada
peserta pesta , Cuma nama bukunya di ubah menjadi "BUKU KENANGAN
MARGA MUNTHE"

Sukses Puak Simalungun, Sukses FKMMI dan salam untuk seluruh
marga Munthe dan anak berunya. Selamat HUT ke III FKMMI.


Jakarta, 22 Juni 2004 .
Dame Munthe.

Jumat, 31 Juli 2009

Iman Kristiani dan Adat Suku Karo

Iman Kristiani dan Budaya Suku Karo

Leluhur

Leluhur Suku Karo mempraktekkan budaya kehidupan bersama dalam hunian rumah adat Karo, Di dalam rumah adat Karo biasanya dihuni oleh delapan rumahtanggga dan umumnya kegiatan seluruh penghuni cenderung seragam rutin dan menyatu dengan alam. Seperti kapan memasak, kapan pula ke ladang dan kapan pula menumbuk padi ke lesung desa.

Mereka berbudaya dulu dan turun temurunnya kemudian mengenal agama. Di antaranya ada yang memeluk agama Kristen. Timbullah benturan, bagaimana iman kristiani menyikapi budaya leluhur dalam masa kini.

Kepercayaan

Memang budaya itu, merupakan terpadunya kepercayaan-kepercayaan seperti: bahwa sungai ada penunggunya, bahwa pohon besar ada yang menjaga, bahwa gunung ada penunggu.

Sungai dapat memberi air untuk kehausan, untuk mengairi sawah, untuk membersihkan diri. Dan kalau banjir besar terjadi banyak manusia bisa mati. Leluhur pun berprilaku. Tidak boleh buang hajat di sungai, anak-anak dilarang mandi di sungai tengah hari dan sebagainya.

Lalu, leluhur memohon kepada penguasa sungai, supaya sungai tidak banjir lagi.

Budaya

Cikal bakal adat pun terjadi di sana. Membuat leluhur harus bagaimana berprilaku, berhubungan dan menyembah.

Mengikat masyarakat leluhur untuk hidup bersama dan ada rasa memiliki jati diri, martabat, keamanan dan kesinambungan.

Inti jati diri Suku Karo adalah sangkep ngeluh alias pedoman masyarakat suku Karo untuk menentukan hubungan adat antar orang lazim disebut bertutur merupakan sistem hubungan kekerabatan pada masyarakat suku Karo.

Jati diri

Ada tiga jati diri Suku Karo. Dan setiap orang pada gilirannya akan mengemban salah satu jati diri untuk acara adat tertentu. Dan dimungkinkan pula pada oleh adat pada acara yang sama orang tersebut mengemban jati diri lain.

Jati diri itu:

  1. Senina
  2. Kalimbubu
  3. Anakberu

Perkawinan
Perkawinan adat Suku Karo didifinisikan, "... tidak saja mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.
"...termasuk arwah-arwah leluhur mereka." hal inilah yang menjadi benturan ditijau dari Injili .


Imanku
Air gelas mineral kalau dimantera, maka ada berhala di air mineral itu. Iman Kristiani yang kumiliki melarang aku untu meminumnya. Tapi air gelas mineral yang lain tetap aku minum.


Minggu lalu aku melakukan kegiatan adat. Memasang hiasan kepala semacam topi pada orang tua penganten untuk upacara pernikahan adat perkawinan anaknya.


Makna adat leluhur dalam kegiatan itu mungkin sebagai berikut: (aku juga belum mendalami)
Aku adalah kalimbubu alias pemberi dara dalam keluarga orang tua penganten, dimaknakan sebagai pemberi berkat, rejeki, diistilahkan sebagai tuhan yang kelihatan di bumi.

Saat memasang topi itu aku berseru

"Haleluya,Tuhan memberkati"lalu kupasangkan.


Jakarta 29 Juli 2009



Minggu, 12 April 2009

KEHIDUPAN DI RUMAH ADAT KARO, Sepatu Biru

SEPATU WARNA BIRU

Sekitar tahun enampuluhan makmur daerah desa sekitar. Waktu itu ekspor sayur dan buah buahan ke negara tetangga Singapura sangat ramai. Berapa saja dikirim jeruk pernantin istilah nama buah di pasar lokal, habis ditelan warga Singapura. Manisnya memang bukan main, Besar buahnya bisa sebesar tinju orang dewasa. Kulitnya tebal ranumnya menggoda. Bahkan kulitnya, kalau dikeringkan dan dimakan terasa manis manis asam, biasa diolah demikian rupa oleh etnis Tionghoa kala itu jadi manisan.

Pohonya besar tinggi dan carangnya banyak, tak bermusim alias berbuah terus. Tak kenal pupuk kimia. Pupuk kotoran babi maupun sapi cukup tersedia di desa. Seakan berkat khusus dari Pencipta kepada warga desa,

Sumber penghasil dari alam bagi keluarga yang sangat menggairahkan. Dan sangat menggoda pemuda masa akilbalik alias ABG anak baru gede masa kini, untuk memanjat memetik dan mendapat imbalan upah yang besar. Cukup menyenangkan dan berlebihan untuk digunakan berpoya poya di masa ABG .

Gindo, yang libur mengunjungi nenek Itingnya. Dibawa bertandang oleh kawanan selumbung yang ditumpanginya ke desa yang ditumbuhi jeruk pernantin. Tersipu kagum Gindo meliwati pohon jeruk menguning hampir menutupi semua daunnya takkala memasuki perladangan desa Pernantin. Kekaguman Gindo menjadi jadi lagi takkala mulai memasuki jalan utama desa. Kedai kopi banyak di kiri kanan dan ada kedai nasi beberapa.

Soal kedai kopi, memang setiap desa ada. Paling dua atau tiga saja jumlahnya. Tapi soal kedai nasi, sampai masa kini pun tidak lajim dimiliki desa. Rupanya ABG desa Pernatin kala itu lebih suka makan di kedai nasi dari pada di rumah. Besar kemungkinan, para ibu juga lupa memasak karena rendang padang tersedia hangat di kedai nasi.

Kekaguman Gindo belum tuntas. Ketika rombongannya memasuki salah satu kedai kopi untuk melepas lelah perjalanan kaki hampir 10 km untuk sampai di desa.

Ramai pengunjung kedai, ada yang tua dan ABG laki tak kalah banyaknya. Dandanan ABG itu umumnya sepatu biru. Sepatu buatan Jepang. Sepatu top kalangan atas ABG Medan. Gindo tak pernah memakainya walaupun dia tinggal di Medan. Begitu pula celana dan jeket jean yang disandang ABG di kedai itu. Tak ubahnya yang dipakai ABG Medan kalangan atas. Barangnya berkelas harganya mahal. Tampaknya, Upah memanjat dan memetik jeruk memungkinkan gaya hidup mereka demikian. Dan sayangnya, lupa mereka menekuni sekolahnya.

Berkat alam yang sangat memanjakan, kadang tak tepat disyukuri manusia. Puluhan tahun dan mungkin ratusan tahun takkala rumah adat di desa itu mula di bangun, pohon jeruk tumbuh kokoh, hijaunya sama dengan gunung di sebelahnya. Gunung yang setiap senja menyanyikan irama riuh suara orang hutan yang bersahut sahutan. Keseimbangan alam terjaga.

Seperti masa kini, banjir badang berita sehari hari. Di pulau sini dan pulau sana terjadi. Bahkan jalan tol bandara ibu kota, mobil hampir tenggelam. Lumpuhlah penerbangan bangsa ini.

Kalau pada jamannya jeruk pernantin itu, ada juga isilah sungai Deli yang membelah kota Medan banjir. Maknanya jauh beda dengan banjir masa kini. Banjir sungai Deli itu, paling airnya meluap dari yang biasa, tapi tak ada rumah yang hanyut. Kadang kadang, anak hanyut ada juga. Keseimbangan alam secara fisik telah dirusak oleh ulah manusia.

Tiba tiba dalam masa berkat yang melimpah, alam berubah. Pohon jeruk yang tumbuh kokoh subur laksana kokoknya gunung di sebelah, mulai meringis tampak lelah sekali untuk tumbuh. Tidak saja di desa Pernantin, tapi menyeluruh di seluruh desa kabupaten Karo yang punya pohon jeruk. Tak ada obat tanaman yang dapat meringankan kemauan tumbuh. Akhirnya mati.

Ahli tanaman PBB turun tangan dan menyebutkan virus sumatera penyebab kematian. Virus yang tidak dikenal sebelumnya. Kini, jeruk pernantin tinggal kenangan. Rasa dan ranumnya belum tertandingi sampai kini.

Alam dapat berubah karena ulah manusia, dapat juga berubah kerna alami dan kehendak Pencipta. Perlu disyukuri dengan tepat berkat yang melimpah. Perlu pula dicermati laknat yang mungkin datang. Alam perlu dibuat jadi sahabat . Masa ABG jangan lupa menekuni sekolah.

Jakarta 12 Pebruari 2008

Dame Munthe

0817826026.

dame@data-e.com