Laman

Rabu, 24 November 2010

Komentar, Pandikkar Dunia Maya

Pandikar dan Pandikir Harus Turun Gunung

Tulisan Impal/Mama (Bapanta bebere Ginting, Nande Pagit pe beru Ginting) Munthe mergana bagai pisau bermata dua.

Selain pujian bagi Impal/Mama Ginting yg lainnya juga merupakan peringatan bagi kita yang malas memberikan perhatian kpd forum ini.

Padahal masih banyak Pandikar/Pandikir dalam forum ini yang punya keahlian dan kesaktian di berbagai bidang, ada pandikar pers, ada pandikar dunia usaha, ada juga pandikir pertanian atau pandikir budaya atau bahkan pandikir ngena ate.

Mungkin keasyikan bertapa di gunung, atau masih menunggu di tikungan, yang jelas saya masih percaya mereka bukannya tidak peduli.

Dalam sebuah surat pribadi kepada salah seorang rekan di forum ini, saya sempat meragukan nafas panjang kita. Apakah akan terus bertahan ??? Tadinya saya membayangkan sisa-sisa semangat Gerakan Aron masih tertanam di dalam darah orang Moeda Karo atau mungkin Orang Karo Milenium. Semangat yang progresif, penuh perlawanan, anti penindasan, anti kemapanan dan sebagainya.

Lagi-lagi saya mengeluh......., daripada mengeluh dalam kegelapan, la kin lebih baik menyalakan sebatang lilin ???

Bicara Bandar Baru aku suka, tapi aku tdk pernah ke sana ???
Bicara masalah Buluh aku tak ahli......
Bicara Roti ketawa aku tdk tau ????

Tapi.....
Bagaimana kalau di Bandar Baru kita buat bungalow dari bambu, terkesan alami, ramah lingkungan (dan yang pasti kalau bergoyang pasti berbunyi.....?) Tak lupa kita sajikan roti ketawa dan cimpa sebagai pelengkap.

Kerajinan bambu bisa juga dijadikan andalan, agrowisata, hutan wisata... masih banyak. Tinggal kerja sama antar kabupaten yang diatur agar paket wisata tidak saling meniadakan penghasilan.

Kalau masalah prostitusi...., jujur saja ini penyakit lama, tidak dilegalkan akan tetap ada, kalau dilegalkan juga lebih baik. Kalaupun tetap harus ada, upaya pencegahan terhadap penularan penyakit saya sepakat harus diminimalisasi. Penggunaan kondom adalah upaya penyelamatan generasi muda kita. Saya tidak naif, ini realita.

Lantas... bagimana ini menjadi nyata dan lebih fokus, saya pikir KNA (dan LSM lainnya) bisa ambil bagian. Negosiasi/bargaining dg para pihak Pemda, Pengusaha, Investor DN/LN. Memberikan kontrol pada lembaga formal, hampir-hampir saya tdk percaya.

Maka usulan saya titik tolak KNA adalah aktifitas (aksi), sementara visi dan misi tetap berguna untuk mengukur langkah dan posisi. Aktifitas ini secara alami akan mengelompok menjadi minat-minat yang perlu diperhatikan.

Kalau demikian maka milis ini bukan sekedar sambilan kita semua tetapi menjadi Alat Perjuangan untuk membuktikan bahwa aron bukanlah kerja bakti (pengertian umum) tetapi kembali pada hakekatnya ARON adalah PERGERAKAN.


DAME MUNTHE wrote:

Pandikkar Dunia Maya (Copy dari Milis Tanah Karo)

PANDIKAR DUNIA MAYA KARO.


adi sinin catatan buena mail i bagin teruh "home tanahkaro" tempa
lit si menarik ibas bulan nov, 2002.
bas bulan e tecatat, terbayak mail sepanjang tahun 2002. em kap 203
mail adi persada ras bulan des. si buena 178 mail, maka jadi 381
mail.

tambah si e lebih menarik ka adi si nin,
dari 381 mail e dikirim oleh salah seorang netter, sebayak 51 mail
alias 13.4% perban bage er imajinasi, erhayal, aku ku uruk
ajinembah, perbahan la uku beluh ngataken kata tuhu, adi kata
tengteng, tentuna er la beluhna.


Erbalobat ia janah erdalan manjar anjar,
matawari i pudina,
langga dung minem namur,
kampuh lilitkenna ,
megara megersing rupana,
terselip ka je sarune.

enggo sepuluh bulan la ia lewat ije,
entah ertapa ia i kerangen ajinembah deher lau riman,
genduari balobatna ngelaguken "pereman dan sarjana,
laguna mido ido mentasi seh ku nederlan segala penjuru.

ciat, begina deher lodah,
ngenca lewatina bunuraya,
lit piga piga nimaisa ije,
pedaratna me jurus "sembuyak senina",
la tading jurus "ginting manik"
erbuena jelma i je,
erbuena jurus pedaratana,
tapi sada enda,
mayaan kiri kanan pedaratna,
meseksek dungna.

piga piga si nimaisa je ndai,
mengelopok,
lit ku "inul" lit ka ku "oma",

kalah aku,
ndarat aku.

mulihi ku ajinembah nina ukurna,
pesikapna jurus cabut menam sempurana,
tergejab bana keleng erturang,
salah sada si nimaisa ije nadai, pandikar diberu,
"turang", nina diberu e,
mintes meciho ukur tendina.

teruskenna perdalanna,
pedaratna jurus "hutan rimba karo",
jurus "KNA",
ras jurus sidebanna,
lompat berteng ia seh polonia,
pedaratna jurus terahir "selamat tahun baru"
medak minum kopi ia i nederlan.


Hebatttttttt, mjj Bung Juara, Pandikar Dunia Maya Karo.


Salatiga, 8 Mei 2003
D. Munthe.

Senin, 15 November 2010

"Batak"

Re: "Batak" konstruksi Jerman dan Belanda

Saya senang sekali membaca tulisan yang menyatakan asal kata "Batak".

Leluhur saya lahir di Desa Ajinembah
saya orang Karo bukan orang Batak

Punya bahasa Karo dan tak tahu mana yang disebut bahasa Batak
Punya tanah Karo dan Belanda Jerman bilang bagian tanah Batak
Punya adat budaya Karo yang unik hanya digunakan oleh Orang Karo.

Tampaknya, tulisan di DetikNews ini harus dibalas dengan hasil penelitian, bagi
teman teman yang selama ini menyatakan bahwa tanah Batak itu adalah Orang Batak.

Salam.

"Batak"

Senin, 15/11/2010 01:11 WIB
Batak Sebagai Nama Etnik Dikonstruksi Jerman dan Belanda
Khairul Ikhwan รข€“ detikNews

Medan - Nama Batak sebagai identitas etnik ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, tapi diciptakan atau dikonstruksi para musafir barat. Hal ini kemudian dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Simpulan ini dikemukakan sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari yang baru usai melakukan penelitian di Jerman.

Di Jerman, sejarahwan bergelar doktor ini memeriksa arsip-arsip yang ada di Wuppertal, Jerman. Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha, atau tulisan tangan asli Batak, tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak. Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, tetapi diciptakan dan diberikan dari luar.

"Kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke wilayah Pulau Sumatera dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan," kata Ichwan Azhari di Medan, Minggu (14/11/2010).

Dalam penelitiannya yang dimulai sejak September lalu, selain memeriksa arsip-arsip di Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya dengan mendatangi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda. Dia juga mewawancari sejumlah pakar ahli Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.

Hasilnya, pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusurinya, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks itu disebut, "... masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu."

Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Untuk itu menurut Ichwan, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau
dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu.

"Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu," katanya.

Disebutkan Ichwan, para misionaris itu sendiri awalnya ragu-ragu menggunakan kata Batak sebagai nama etnik, karena kata Batak tidak dikenal oleh orang Batak itu sendiri ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah Batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku.

Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu dokumen berisi informasi penting berkaitan dengan aktivitas dan pemikiran di tanah Batak sejak pertengahan abad ke-19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti
puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.

"Peta-peta itu memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan kepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya," tukas Ichwan.

Dalam peta-peta kuno itu, kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata Batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata Batak itu.

Kata Batak yang semula nama ejekan negatif penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman, kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatera Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.

"Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Nama Batak juga digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam," tukasnya.

(rul/rdf)

Rabu, 03 November 2010

Pilkada Kabupaten Karo 2010

Pilkada Tanah Karo Dua Putaran

Posted by Redaksi on November 3, 2010 · Leave a Comment

Medan (Berita) :Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Tanah Karo,Sumatera Utara yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2010 ditetapkan menjadi dua putaran karena tidak ada pasangan calon bupati dan calon wakil bupati yang meraih suara 30 persen. ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tanah Karo Benyamin Pinem yang dihubungi ANTARA Medan, Selasa malam[02/11] mengatakan, pasangan calon yang berhak mengikuti putaran kedua itu adalah Siti Aminah Perangin-angin dan Salmon Sumihar Sagala (nomor urut 1) yang meraih 30.804 suara atau 19,49 persen.

Kemudian pasangan Kena Ukur Surbakti dan Terkelin Brahmana (nomor urut 9) dengan 25.310 suara atau 16,01 persen. Kedua calon itu mengungguli pasangan Riemenda Ginting dan Aksi Bangun yang meraih 20.071 suara (12,70 persen), Sumbul Sembiring dan Paham Ginting dengan 18.439 suara (11,67 persen) serta pasangan Roberto Sinuhaji dan Firman Amin Kaban dengan 7.023 suara (4,44 persen).

Dalam penghitungan akhir itu, kedua pasangan calon itu juga mengungguli pasangan Abed Nego Sembiring dan Sanusi Surbakti yang meraih 12.024 suara (7,61 persen), Nabari Ginting dan Paulus Sitepu 14.889 suara (9,42 persen) serta Petrus Sitepu dan Koornalius Tarigan 15.389 suara (9,74 persen).

Sedangkan pasangan lain yang tidak ikut putaran kedua adalah pasangan HM Ramli Purba dan Roni Barus meraih 6.965 suara (4,41 persen) serta pasangan Andy Natanael Manik dan Fakhry Samadin Tarigan mendapatkan 7.133 suara (4,51 persen). Dari penghitungan suara yang dilakukan, tercatat kehadiran masyarakat sebanyak 166.195 orang atau persentase partisipasi 66,13 persen dari 251.323 daftar pemilih tetap (DPT).

Sedangkan dari jumlah suara yang masuk, 158.047 suara dinyatakan sah sedangkan sisanya 8.148 suara dinyatakan batal atau tidak sah. Meski telah ditetapkan dua putaran tetapi KPU Tanah Karo belum dapat menentukan jadwal pelaksanaannya karena masih menunggu respon masyarakat, termasuk kemungkinan adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau tidak ada gugatan ke MK, kami rencanakan (putaran keduanya) pada 27 November 2010,” kata Benyamin Pinem.

Menurut catatan, pilkada Tanah Karo yang dilaksanakan pada 27 Oktober 2010 diikuti 10 pasangan calon yakni Siti Aminah dan Salmon Sumihar Sagala (nomor urut 1), Riemenda Ginting dan Aksi Bangun (nomor urut 2), Sumbul Sembiring-Paham Ginting (nomor urut 3) serta pasangan Roberto Sinuhaji-Firman Amin Kaban (nomor urut 4). Kemudian, pasangan Abed Nego Sembiring-Sanusi Surbakti (nomor urut 5), Nabari Ginting-Paulus Sitepu (nomor urut 6), Petrus Sitepu-Koornalius Tarigan (nomor urut 7), HM Ramli Purba-Roni Barus (nomor urut 8), Kena Ukur Surbakti dan Terkelin Brahmana (nomor urut 9) serta Andy Natanael Manik-Fakhry Samadin Tarigan (nomor urut 10). (ant)