Laman

Minggu, 31 Juli 2011

Melayu dan Batak Dalam Strategi Kolonial

--- In tanahkaro@yahoogroups.com, MU Ginting wrote:
>
> Waspada:
> Melayu dan Batak dalam strategi kolonial
> Dr.Perret dari Paris mencatat; orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua non Melayu dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar bahkan kanibal, diberi label Batak
> “Memang tidak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni, ”… dihapusnya jejak keraguan …” di hati nan lara. Ini adalah penggalan puisi penyair Sapto Joko Darmono. Dalam cacatan harian saya Kamis dibulan Juni 1993, di tengah hujan rintik itu, seorang kandidat Doktor dari Sarbon University Paris, Daniel Perret datang membincangkan penelitian desertasinya di ruang kantor saya.
> Karena perut telah keroncongan, kami keluar untuk makan siang dan meneruskan diskusi. Karena masalah pokok desertasinya sangat krusial dan sensitif mengenai Melayu dan Batak dalam strategi Kolonial Belanda, dia tampak ragu untuk meneruskan pembuktian hipotesa-hepotesa teoritis yang telah dibangunnya. Ternyata dua tahun kemudian keraguan itu telah sirna, dia berhasil mempertahankan desertasinya dengan gemilang.
> Daniel Perret datang kembali ke Unimed 6 Juli lalu, tidak hanya dengan menyandang gelar Doktor di bidang sejarah antropologi, tetapi membawa sebuah buku desertasi Doktornya yang telah diterbitkan Pustaka Kompas (KPG) dengan judul: Kolonialisme dan Etnisitas : Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku itulah yang kami bedah dalam Forum Pussis (Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial) Unimed, yang dipimpin Dr Phil. Ichwan Azhari
> Â
> Label Melayu dan Batak
> Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat istiadat Melayu berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan Batak menurut Dr.Perret muncul bersamaan pada abad 16. Label Batak ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua orang yang non Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label Batak.
> Istilah Batak ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah Batak, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal orang-orang Toba, Simalungun, Fak-Fak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka.
> Daniel mencatat dari beberapa dokumen bahwa sebutan Batak tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah Batak hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung Batak atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata Batak. Selain itu BS. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata Batak tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.”
> Akan tetapi, kehidupan orang Melayu banyak tergantung pada orang-orang di kawasan dataran dan pegunungan itu, seperti tenaga pekerja untuk mengelola perkebunan, hasil hutan dan istri-istri. Karena label Batak dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain Batak, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.
> Perobahan-perobahan sosial ekonomi yang kurang kondusif di Aceh pada permulaan abad XX, menyebabkan kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur mengembangkan ruang budi daya pertanian lada, kopi, gambir dan kapas kedaerah dataran tinggi/pegunungan, maka ruang antara Melayu dan Batak berobah menjadi produksi pertanian yang produktif. Kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam kelembagaan-kelembagaan ”Datuk Empat Suku.” Proses Melayunisasi dari kelembagaan ini sejalan dengan Islamisasi, sehingga ruang kehidupan orang-orang Batak (uncivilized/tidak berbudaya) menjadi semakin sempit. Akhirnya kelompok-kelompok baru (yang disebut Melayu Dusun) ini, menjadi otonom. Waktu pihak asing datang mereka telah dapat menjalin hubungan langsung tanpa meminta persetujuan Sultan-Sultan Melayu.
> Dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang Batak. Mulai tahun 1888 kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan Batak yaitu membela kepentingan orang Batak berhadapan dengan orang Melayu.
> Di samping itu, pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ”ruang hukum” Batak, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan Batak seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat.
> Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label Batak untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label Batak dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan Batak dengan Melayu menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya (civilized and uncivilized). Tetapi dalam pengertian kelompok etnik Melayu versus Batak.
> Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat Batak (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909).
> Sementara itu, dibagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok Batak di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai Batak bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut Batak karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi (civilized), jadi bukan melulu karena masalah geneologis.
> Desertasi Daniel Perret ini menyimpulkan bahwa baik istilah Batak maupun Melayu bukanlah label etnik, tetapi label budaya (civilized and uncivilized). Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” orang-orang Simalungun, Karo, Fak-Fak Bharat dan Toba menerima Label Batak sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang Batak. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) Kolonial Belanda. Kesimpulan ini disampaikan Daniel Perret dalam bedah buku itu, tanpa keraguan lagi. ( Prof Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog Unimed )
> --
> Â
> MU Ginting:
> Asal-usul istilah ”Batak”
> Hipotesis
> Th 1823 seorang Inggris bernama John Anderson datang ke pantai timur Sumatra dan dari catatan perjalanannya kemudian menulis sebuah buku berjudul: Mission to the east coast of Sumatra in 1823. Dalam bukunya disebutkan tentang kunjungannya ke The Batta Cannibal States. Istilah ”Batta” adalah dari kata ”Batak” dalam lidah seorang Inggris (John Anderson) ketika itu. Anderson tidak menciptakan istilah baru (Batta) tetapi dari istilah yang sudah ada (Batak) jauh sebelum Anderson tiba di pantai timur Sumatra. Batak adalah nama julukan dari penduduk pantai yang beragama islam terhadap penduduk pedalaman yang tidak berTuhan (Karo, Toba, Simalungun dan sebagian Pakpak), yang makan babi dan pasti jugalah secara diam-diam dianggap makan orang (kanibal). Dari situasi ini jugalah Anderson memastikan orang Batta ini kanibal, karena dalam bukunya tidak jelas kalau dia pernah melihat dengan mata kepala sendiri orang Batta itu makan orang.
> Penduduk pantai timur Sumatra umumnya beragama islam artinya mereka ber Tuhan (Allah), sedangkan penduduk pedalaman dianggap tidak beragama atau kafir tetapi diketahui bahwa mereka sudah punya kepercayaan atau ber Tuhan yang disebutkan Dibata (Karo, Pakpak), Debata (Toba dan Simalungun). Bahwa mereka ini ber-Dibata tidak diakui sebagai Tuhan oleh orang-orang islam, karena Dibata atau Debata bukan Tuhan. Dari kata Di-Bata atau De-Bata berubah jadi Batak, nama julukan atau ejekan yang lebih mantap. Dibata atau Debata (di Bali Dewata) berasal dari kata ’Devata’ dalam bahasa Sanskrit di India dan sudah ada sejak 1500 BC. Jadi keberadaan istilah Dibata atau Debata pastilah sudah ada jauh sebelum kedatangan islam atau orang Eropah ke Indonesia. Pertama dengan kedatangan dan pengaruh agama Hindu, dan kemudian dipertegas dengan kedatangan agama Buddha secara menyeluruh ke benua Asia.
> Di Pilipina (Palawan) ada juga suku bangsa yang dijuluki ’Batak’, dan grup ini juga mempunyai Tuhan yang disebutnya Diwata, pasti jugalah pengaruh Hindu atau Buddha dari kata Sanskrit Devata. Istilah ’Batak’ di Palawan berasal dari bahasa Cuyunon yang merupakan satu etnis elit di Palawan, jadi bukan bahasa orang Bataknya sendiri. Batak disini artinya orang pegunungan.
> Persamaan atau kesamaan diantara semua Batak ini ialah mereka sudah ber-Tuhan dengan nama Sanskrit, dpl ber-di-bata atau ber-de-bata, atau ber-di-wata. Orang-orang ini kemudian jadi orang Bata atau lebih tegas dengan nama Batak. Penguasa  kolonial kemudian memanipulasi istilah Batak sebagai penggrupan penduduk lokal untuk memecah belah. Sejajar dengan itu, orang-orang Inggris di Serawak menggolongkan penduduk pedalaman/pegunungan dengan istilah Dayak, membedakan dengan orang pesisir yang beragama islam.
> --
>
Mohon ijin copy paste untuk ditempatkan pada blog
http://rumahkaro.blogspot.com/

Sabtu, 30 Juli 2011

Tambar-tambar Kalak Karo

Originally Posted by agan.mongki View Post
Obat Tradisional Karo ( Tambar )


“Tambar-tambar” Karo

Masyarakat karo sejak dulu telah mengenal obat-obat tradisional yang beragam, ini menunjukkan bahwa masyarakat karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara-cara mengobatinya.

Sesuai dengan jenis kelamin anggota masyarakat dan juga tingkatan usia, maka obat-obat ini dapat dibagi atas:
1. tambar danak-danak “obat anak-anak”
2. tambar pernanden “obat kaum ibu”
3. tambar perbapan “obat kaum bapak”
4. tambar sinterem “obat orang banyak”

akan kita paparkan beberapa jenis obat tradisional karo, setidak-tidaknya menambah wawasan bahwa masyarakat karo sejak zaman dulu sudah mengenal obat-obatan.

Spoiler for 1. tambar danak-danak:


dibawah ini akan dijelaskan beberapa obat untuk anak-anak, dan dapat juga dipergunakan bagi orang dewasa.

a. Tambar kudil/ obat kudis (scabiies)

Pulungenna (ramuannya):
Bulung ruku-ruku (daun ruku-ruku)
Bulung mbako (daun tembako)
Buah jerango (buah jerangau)
Buruh (batu apung)
Bulung bedi (daun bedi)
Minak (minyak kelapa)

Enda me karina igiling, icampur, janah e me isapuken kempak kudil e alu mbulu manuk (ini semua digiling, dicampur, dan dioleskan pada kudisnya dengan bulu ayam)

b. penguras reme/ obat cacar (pokken)

Pulungenna (ramuannya):
Bunga kiung (kembang tiung)
Bunga cimen (kembang timun)
Bunga tabu (kembang labu air)
Bunga gundur (kembang kundur)
Bunga beras-beras (kembang silaguri)
Bunga pilulut (kembang pulut-pulut)
Bunga pijer keeling (kembang pijer keling)
Bunga sapa (kembang garingging)
Bunga baho-saho (kembang buah-buah)
Bunga beras (kembang beras)
Bunga jamber (kembang labu makan)

Ireme ibas lau meciho, launa e me iinem (direndam dalam air bersih, airnya itu diminum)

c. tambar besar (obat sembab)

pulungenna (ramuannya) :
bulung sisik naga (daun sisik naga)
bulung sigerbang (daun sigerbang)
bening (beras hancur)
batang pisang rukruk (pohon pisang abu)
belo penurungi (sirih lengkap)

karina enda itutu tah pe igiling meluma-melumat, janah e me isapuken i bas si besar e (semuanya ditumbuk atau digiling halus-halus, dan dioleskan pada tempat yang sembab/ bengkak tersebut)

d. tambar tabun (obat epilepsi)

pulungenna (ramuannya) :
bulung gundera (daun bawang panjang)
bulung terbangun (daun terbangun)
bulung serei (daun serai)
bulung pupuk mula jadi (daun pupuk mula jadi)
bulung kelawas (daun lengkuas)
sira (garam)
lada (merica)
sipesir (rumput tahi babi)

igiling, ipecek, launa iinem (digiling, diperas, airnya diminum)

e. tambar gembung (obat kembung perut)

pulungenna (ramuannya) :
bulung pegaga (daun pegaga)
belo penurungi (sirih sekapur lengkap)
bulung bahing (daun jahe)
bulung lasuna (daun bawang putih)
bulung kelempoan (daun kelampayan)

igiling, itama ibas perca-perca janah idampelken ibas beltek si gembung e (digiling, dibungkus dalam kain lalu ditempelkan pada perut yang kembung itu.

f. tambar pemantan (obat diare)

pulungenna (ramuannya) :
buah gundera (bawang panjang)
tinaruh manuk (telur ayam)
kulit cingkam (kulit cingkam)
sira (garam)
acem (asam)

igiling, ipecek janah launya iinem (digiling, diperas lalu airnya diminum).

untuk obat anak-anak sekian dulu yg bisa dibagi sebenarnya masih banyak tp yang paling sering digunakan saja yg dishare..
]


Spoiler for 2. tambar pernanden:


a. tambar la mupus (obat supaya sang ibu subur dan melahirkan)

pulungenna (ramuannya) :
bulung silebur pinggan (daun silebur pinggan)
bulung sirampas bide (daun sirampas bide)
bulung acem-acem (daun asam puyu)

daun-daun ini digiling lalu campurannya di taruh dalam kain-kain, kemudian di simpan di bawah celana dalamnya.

b. tambar la erlau cucu (obat membuat susu ibu berair)

pulungenna (ramuannya) :
bunga tepu kerbo (bunga mombang kerbau)

direndam dalam air jernih, lalu airnya diminum. Setelah beberapa hari maka si ibu akan memiliki banyak susu.

c. tambar ngerawis (obat memperlancar kelahiran)

pulungenna (ramuannya) :
bunga gadung belin (bunga ubi si arang)
bunga rudang gara (bunga kembang sepatu)

bunga-bunga ini dicincang, ditaruh di dalam air bersih lalu airnya diminum oleh si ibu yang mau melahirkan.

d. tambar barut (obat gondok)

ambil buih air yang melekat di batu, dicampur dengan sedikit air lalu diminum


Spoiler for 3. tambar perbapan (kaum lelaki) :


dari bang suryacakra
a. tambar karang (obat sakit kencing (gonorzhoe)

pulungenna (ramuannya) :
buah kenas tasak (buah nenas masak) < ini bukan sembarang nenas
gula batu
jeira buganna

nenas dikupas trs dipotong persegi sekitar 1 inci perpotong trs gula batu ditabur dinenas … bersama dgn jeira nya di tumbuk terus diembunkan semalam … tata cara makannya juga ada..

dari bang suryacakra
b. tambar jalang jahe (obat sipilis)

pulungenna (ramuannya) :
buah lobak (buah lobak)
gula batu
jeira jantan

lobak dipotong potong persegi … tabur gula batu taruh jeira nya trus campur dgn air hangat .. secukupnya .. trs diembunkan semalam … tata cara minum nya juga ada

c. tambar kurap/pano (obat kurap/panu)

pulungenna (ramuannya) :
bulung alinggang (daun galinggang)
kapur (kapur)

keduanya digiling, diperas. kemudian airnya dioleskan ke panu/kurap lalu ampasnya dimakan.


Spoiler for 4. tambar sinterem (obat orang banyak) :


a. tambar arun/magin(obat malaria)

pulungenna (ramuannya) :
buah kuning gajah ()
buah jerango (buah jerangau)
buah rimo mungkur (buah jeruk purut)
sira (garam)
lada (merica)
acem (asam)

ramuan ini digiling atau ditumbuk lalu diperas airnya untuk diminum.

b. tambar penyampi (obat sakit perut)

pulungenna (ramuannya) :
bulung rih (daun lalang muda)

ditumbuk dan tempelkan pada perut.

atau
ageng (arang)

digiling dan tempelkan pada perut.

c. tambar batuk (obat obat batuk)

pulungenna (ramuannya) :
bulung gundera (daun bawang panjang)
sira (garam)
lada (merica)
beras (beras)
kemiri (kemiri)

semuanya digiling, campur dengan air lalu diminum.

d. tambar rangsang (obat memar)

pulungenna (ramuannya) :
bulung mbertik (daun pepaya)

dikunyah-kunyah lalu semburkan pada bagian yang sakit

e. tambar luka (obat luka)

pulungenna (ramuannya) :
bulung solawan (daun salawan)
bulung sampun (daun rumput manis)
bulung sipil-sipil (daun sipil-sipil)

takaran banyaknya disamakan, dikunyah lalu letakkan pada luka tersebut. seandainya gak ada ketiganya, satu atau duapun sudah boleh dijadikan ramuannya

e. tambar sela sibakut (obat disengat lele)

pada bekas disengatnya diisap agar keluar darahnya, sesudah itu dikencingi pada bekas sengat itu

sudah dipaparkan beberapa contoh ramuan obat2an karo baik untuk anak, ibu, dan pria. tetapi pembagian tersebut tidak mutlak tergantung pada jenis2 penyakit yang dihadapi.. pada obat2 tertentu memang benar2 khusus untuk golongan tertentu misalnya khusus ibu2 atau khusus lelaki.


sumber

note
tulisan pernah dipost beberapa waktu yg lalu di subforum yg sama.
Credit to : agan bramderisco kaskuser


Izin copy paste untuk ditempatkan pada
http://rumahkaro.blogspot.com/

Rurun Kalak Karo

Originally Posted by john.tarigan View Post
Gelar Rurun Kalak Karo



1. Karo-karo

- Sitepu. dilaki : Ganding, diberu : Goda.

- Sinulingga. dilaki : Mangkok/ Suang, diberu : Corah/ Rebo

- Surbakti. dilaki : Getah, diberu : Megoh.

- Purba. dilaki : Torong/tokal, diberu : Ngerbo.

- Kaban. dilaki: Cinor, diberu : Topan.

- Kacaribu. dilaki: Modul/ Mitut, diberu: Ngerbo.

- Ketaren. dilaki: Kolam, diberu: diberu: Cirum

- Sinuraya. dilaki: Tabong, diberu: Lebeng





2. Ginting

- Suka. dilaki : Suka, diberu : Unjuk

- Munte. dilaki : Mburak diberu : Unjuk.

- Babo. dilaki : Gajut/ Dokan, diberu: Merih.

- Sugihen. dilaki:Gurah diberu: Sungam.

- Manik. dilaki: Mengat, diberu: Tadi.

- Rumah Berneh. dilaki: Raga, diberu:Nggore/Nurih.





3. Tarigan

- Sibero kesain sebayak. dilaki : Batu, diberu : Pagit

- Sibero kesain rumah lateng. dilaki : Kawas, diberu Lumbung

- Sibero kesain rumah jahè. dilaki :Tarik, diberu Dombat.

- Silangit. dilaki : Segar, diberu : Dombat.

- Tua. dilaki : Mondan, diberu : Pagit/ Ombar





4. Sembiring.

- Kembaren. dilaki : Sampèraya/ Rambah, diberu : Loko.

- Pelawi. dilaki: Baji, diberu : Lawi.

- Gurukenayan. dilaki: Nayan, diberu : Rogat.



- Meliala. dilaki : Sukat/jambe, diberu : Tekang.

- Brahmana. dilaki : Kawar, diberu: Tawan

- Sinulaki.dilaki: Ropo, diberu: Lencang

- Keloko. dilaki: Ndaram, diberu: Loko

- Pandia. dilaki: Gombang

- Depari. dilaki: Gawah.diberu: Talah.

- Maha. dilaki: Pasir, diberu: Daling.





5. Perangin-angin.

- Bangun. dilaki : Tèger, diberu : Girik.

- Sukatendel. dilaki : Gantang, diberu: Gomok.

- Jambur Beringin. dilaki : Blinking, diberu: Amo.

- Jinabun. dilaki : Guni, diberu : Picet

- Singarimbun. dilaki : Kerangen, diberu: Rimbun.



- Pinem. dilaki: Jaren, diberu: Lompoh

- Sebayang. dilaki: Balandua/ndua / Rabun, diberu Jengok.

- Pincawan. dilaki: Jambor

- Kacinambun. dilaki: Njorang, diberu: Ngemban.


Adi lit kam si meteh entah lit kap ndu sisalah, banci tambahi kena, yang pasti untuk sekedar tukar pikiran dan menambah pengetahuan kita tentang Budaya Karo. Bujur..

Senin, 18 Juli 2011

Kata Ganti Suku Karo

[QUOTE=john.tarigan;474352637]Gelar Rurun Kalak Karo



1. Karo-karo

- Sitepu. dilaki : Ganding, diberu : Goda.

- Sinulingga. dilaki : Mangkok/ Suang, diberu : Corah/ Rebo

- Surbakti. dilaki : Getah, diberu : Megoh.

- Purba. dilaki : Torong/tokal, diberu : Ngerbo.

- Kaban. dilaki: Cinor, diberu : Topan.

- Kacaribu. dilaki: Modul/ Mitut, diberu: Ngerbo.

- Ketaren. dilaki: Kolam, diberu: diberu: Cirum

- Sinuraya. dilaki: Tabong, diberu: Lebeng





2. Ginting

- Suka. dilaki : Suka, diberu : Unjuk

- Munte. dilaki : Mburak diberu : Unjuk.

- Babo. dilaki : Gajut/ Dokan, diberu: Merih.

- Sugihen. dilaki:Gurah diberu: Sungam.

- Manik. dilaki: Mengat, diberu: Tadi.

- Rumah Berneh. dilaki: Raga, diberu:Nggore/Nurih.





3. Tarigan

- Sibero kesain sebayak. dilaki : Batu, diberu : Pagit

- Sibero kesain rumah lateng. dilaki : Kawas, diberu Lumbung

- Sibero kesain rumah jahè. dilaki :Tarik, diberu Dombat.

- Silangit. dilaki : Segar, diberu : Dombat.

- Tua. dilaki : Mondan, diberu : Pagit/ Ombar





4. Sembiring.

- Kembaren. dilaki : Sampèraya/ Rambah, diberu : Loko.

- Pelawi. dilaki: Baji, diberu : Lawi.

- Gurukenayan. dilaki: Nayan, diberu : Rogat.



- Meliala. dilaki : Sukat/jambe, diberu : Tekang.

- Brahmana. dilaki : Kawar, diberu: Tawan

- Sinulaki.dilaki: Ropo, diberu: Lencang

- Keloko. dilaki: Ndaram, diberu: Loko

- Pandia. dilaki: Gombang

- Depari. dilaki: Gawah.diberu: Talah.

- Maha. dilaki: Pasir, diberu: Daling.





5. Perangin-angin.

- Bangun. dilaki : Tèger, diberu : Girik.

- Sukatendel. dilaki : Gantang, diberu: Gomok.

- Jambur Beringin. dilaki : Blinking, diberu: Amo.

- Jinabun. dilaki : Guni, diberu : Picet

- Singarimbun. dilaki : Kerangen, diberu: Rimbun.



- Pinem. dilaki: Jaren, diberu: Lompoh

- Sebayang. dilaki: Balandua/ndua / Rabun, diberu Jengok.

- Pincawan. dilaki: Jambor

- Kacinambun. dilaki: Njorang, diberu: Ngemban.


Adi lit kam si meteh entah lit kap ndu sisalah, banci tambahi kena, yang pasti untuk sekedar tukar pikiran dan menambah pengetahuan kita tentang Budaya Karo. Bujur..[/QUOTE]




Menurut dugaan saya "Kata ganti Suku Kalak Karo" unik dan paling banyak dibanding suku lain di bumi ini.

Disamping yang sudah disebutkan di "Rurun Kalak Karo" di atas.

Di satu marga Ginting saja, ada sebutan berikut ini:

Mama Iting, panggilan mesra seorang wanita kepada kekasihnya yang bermarga Ginting

Iting, panggilan seorang cucu kepada neneknya yang Beru Ginting.
Nande Iting, panggilan mesra seorang lelaki kepada kekasihnya yang Beru Ginting.

Mburak, panggilan seorang ayah marga munthe atau istrinya, kepada anak kandungnya laki laki.

Unjuk, Panggilan seorang ayah marga Munthe atau istrinya, kepada anak kandungnya perempuan.

Begitu juga di marga, Tarigan, Karo Karo, Sembiring, Perangin angin. ada sebutan masing masing. Dan umumnya pribadi yang disapa pasti merasa senang dengan panggilan itu.
Salam mejuahjuah.



Dame Munthe. Jakarta 18 Juli 2011