Laman

Rabu, 04 September 2013

Pawang Ternalem

Pawang Ternalem
Alkisah, kira kira sepuluh abad yang lalu, terlahirlah seorang anak laki-laki dalam sebuah keluarga persis saat matahari berada diatas ubun-ubun. Kalau menurut penanggalan hindu kuno, hari kelahiran anak laki-laki ini adalah sehari setelah malam bulan purnama, yang disebut Tula. Menurut kepercayaan, orang yang dilahirkan pada hari setelah bulan purnama akan membawa kesialan ditengah-tengah keluarga. Karena dia membawa aura raja yang sangat kuat dan dapat mencelakakan ayah ibunya. Memang benarlah seperti ramalan itu, empat hari setelah kelahirannya, ibundanya pun meninggal dunia. Tujuh hari setelah kelahirannya, ayahandanya pun meninggal pula. Maka anak laki-laki inipun dipelihara oleh kakek dan neneknya. Hari kematian ayahandanya bersamaan waktunya dengan upacara mandi ke pancuran yang pertama bagi anak laki-laki ini dan selanjutnya diberi nama.

Upacara ini disebut Pitu Layo, alias tujuh hari pertama untuk menuju air. Oleh pamannya yakni suadara laki-laki ibunya, anak laki-laki ini dinamai PAWANG TERNALEM. Pengertiannya kira-kira, pawang yang dapat diandalkan. Pawang begitu kental dalam kehidupan mereka, karena sebenarnya habitat kehidupan mereka adalah disekitar belantara Bukit Barisan, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Kampung yang mereka dirikan merupakan tempat persinggahan Perlanja Mayang orang yang membawa pinang dari dataran bagian hulu daerah aliran Sungai Wampu, yang sekarang dikenal dengan Dataran Tinggi Karo, untuk dijual di bandar atau kota kerajaan di dataran rendah dimana Sungai Wampu bermuara, yang disebut dengan Kerajaan Haru. Sebaliknya mereka akan kembali ke gunung dengan membawa (memikul) garam untuk diperjual belikan pula di Dataran Tinggi Karo. Jarak lurus dari pusat kebudayaan di hulu dengan Kerajaan Haru hanya sekitar lima puluh kilometer, namun karena jalan yang mereka tempuh berliku-liku mengikuti punggung bukit dan lereng lembah ditengah hutan rimba belantara, maka perjalanan itu kadang kadang ditempuh dalam satu minggu. Maka kampung kelahiran Pawang Ternalem yang dikenal dengan nama Pertumbuken Lau Simbelin, adalah jarak tempuh tiga hari baik dari Haru, maupun dari Karo.

Tanpa ayah dan ibu, dan karena diyakini membawa sial, Pawang tidak diurus oleh kakek dan neneknya. Sekali waktu, seorang wanita dengan seorang anak laki-laki yang seumur dengan Pawang datang ke kampungya, rupanya wanita itu adalah kakak dari ibunda Pawang. Wanita itu meminta kepada kakek Pawang, agar Pawang dapat dibawanya ke hilir (ngkahe) agar hidupnya dapat lebih terurus. Tapi kakek Pawang tidak memberi izin, dengan alasan anak ini membawa bencana kepada orang-orang yang ada didekatnya. Jadi jika dia ikut dengan bibinya, dicemaskan akan mendatangkan malapetaka pula. Maka Pawang tidak jadi dibawa bibinya ke hilir. Beban hidupnya semakin berat.

Kalau ada rombongan Perlanja Mayang yang singgah dikampunya, Pawang selalu membantu mereka menjaga barang bawaan, menyediakan perapian dan membantu mencari binatang buruan untuk bekal diperjalanan. Pawang pun mendapat upah yang layak, dan juga mendapat kain tenun yang bagus. Pawangpun tumbuh menjadi remaja yang berparas tampan dan gagah. Memang sudah berkali-kali Pawang bermohon untuk disertakan memikul pinang ke kota, tapi para pemikul menolak secara halus. Mereka bukan tidak senang dibantu Pawang, namun cerita nasib si Pawang sebagai pembawa sial itulah yang membuat bereka menolak.

Namun, satu ketika, Pawang telah mengambil keputusan akan mengikuti rombongan perlanja itu ke hilir. Dari jauh diikutinya jejak mereka. Rupanya kelompok perlanja menyadari bahwa mereka sedang dikuntit dari belakang. Mak ketika jumpa dengan jalur perjalanan gajah ditengah belantara, maka jalur jalan setapak yang biasa mereka jalani ditutup dengan ranting-ranting kering, sehingga terkesan jalan itu menyatu dengan jalur pergerakan binatang rimba itu. Dan, ternyata Pawang terkecoh, dan dia menelusuri jalur perjalanan gajah, semakin lama semakin masuk kedalam rimba belantara. Setelah hari mulai gelap, Pawang mulai ragu, apakah meneruskan atau kembali ke kampung. Jarak yang ditempuh sudah sehari perjalanan. Entah bagaimana, tiba tiba dia melihat sinar cemerlang dari hadapannya. Dia menyadari, ini adalah harimau. Harimau itu menggerutu, kemudian menggaris tanah dua kali dengan kuklunya yang tajam. Kemudian berjalan dengan gontai, dan menoleh kembali kearah Pawang. Bulan bersinar disela-sela tajuk daun kayu rimba. Pawang memutuskan mengikuti harimau itu. Inilah perjudian hidup, kalau dia memang moyangku aku akan selamat, tapi jika tidak, biarlah hidup sampai disini, gumamnya dalam hati. Sambil menggeram harimau itu berbelok kearah jalan setapak yang lebih sempit, dan Pawang menyusul. Hampir subuh, mereka tiba di satu air terjun, yang dikenal dengan nama Srenggani. Harimau melompat menyebarangi jurang dan berlari kearah dataran sempid disisi air terjun. Pawang tersadar, rupanya di air terjun itu sedanh duduk seorang laki laki tua yang berambut panjang. Dia teringat dengan cerita para perlanja, inilah datuk yang menguasai seluruh binatang liar dihutan rimba ini. Maka diapun mendekat ke tepian sungai dan menyampaikan salam hormat.

“Sentabi Datuk, aku Pawang Ternalem cucu dari Penghulu Tanah Ketangkuhen.” Sambil menunduk-nundukkan kepalanya menekur ke tanah.
”Oh ya aku tahu. Kakekmu sudah menghubungi aku, maka kusuruh si Rimau menjemputmu.” kata kakek itu. Pawang menatap laki-laki tua itu dalam-dalam. Di dunia ruimba, dia dikenal dengan nama Datuk Rubia Gande.
“Dengan kedatanganmu, namaku menjadi bertambah. Sebab atas permintaan kakekmu, dan tradisi kita, kaupun harus kuangkat menjadi ajar-ajar (murid). Si Rimau memang sudah lama kujanjikan tentang kedatanganmu, begitu juga bibimu si Beru Jerai Nguda. Mereka akan menemanimu sampai waktunya kau meninggalkan gelanggang.” Ujar kakek tua itu.

Pawang baru menyadari bahwa ceritra yang diperdengarkan oleh Datuk di kampung memang nyata adanya. Bahwa nenek moyangnya dahulu setelah melarikan diri dari Kerajaan Sriwijaya, merantau ke hulu Batanghari, akhirnya tidak tahan mengembara di hutan berlayar sampai ke Sungai Alas. Memperisteri seorang puteri Kejuruhan Batu Mbulan Negeri Samudera Pasai, mendapatkan anak kembar tiga, yakni satu harimau, satu umang (orang halus) dan satu lagi manusia biasa. Yang hidup sebagai manusia biasa itulah yang menjadi asal muasal Merga Sembiring Kembaren. Si Rimau berarti keturunan kembaran buyutnya itu, dan juga si Beru Dayang Jerai Nguda, adalah mahluk halus itu. Untuk meyakini cerita itu, dia bertanya kepada Datuk Rubia gande. “Jadi aku ini keturunan Simbiring Kembaren Datuk ?” dan datuk pun mengangguk.

“Jangan kau sesali nasib. Kematian ayah dan ibumu, serta keputusan kakekmu membuang engkau kedalam rimba, adalah sesuai dengan perjanjian secara turun temurun. Itu semua demi keselamatan orang banyak. Untuk itu kau harus di Uras dan persilihi biar lepas semua kesialan dari kelahiranmu.” Kata kakek itu. Pawang pun setuju.

Maka oleh datuk, digosoklah tubuh dan wajah Pawang dengan getah-getah tanaman hutan sehingga bentuknya menjadi sangat menakutkan. Disamping sebagai anti nyamuk, lintah dan pacat, juga menghindari gigitan binatang berbisa seperti ular, lipan dan kalajengking. Malai hari itu, Pawang sudah belajar menjadi pendekar dan sekaligus calon Datuk yang akan mengendalikan pergaulan antar binatang buas didalam rimba. Sesuai dengan namanya, Pawang Ternalem.

Setahun sudah, Pawang berguru kepada Datuk Rubia Gande di air terjun Srenggani. Kini dia dilatih oleh Datuk untuk mengenali rimba dengan segala penghuninya. Di rimba, banyak binatang yang menurut manusia tidak baik didekati. Misalnya harimau, ular, buaya, dan binatang-binatang lain yang kerap diandaikan mempunyai sifat yang membahayakan bagi manusia. Tapi Pawang dalam perkembangan kedewasaannya, semakin akrab dengan segala jenis binatang rimba. Dan pemahaman itu juga dikaitkan dengan pengenalan akan tumbuhan liar di rimba. Contohnya, pohon jelatang, ada juga yang mereka sebut pohon siterkem yang getahnya sangat beracun dan dapat membuat tubuh kita hangus berborok. Lainnya misalnya buah enau, bergetah sangat gatal. Dan kalau kita terkena getah buah enau, obatnya adalah diusap pakai ijuk enau itu sendiri. Beribu-ribu jenis tumbuhan yang merupakan racun sekali gus obat yang dipelajari oleh Pawang, sehingga dia tidak pernah ragu sekalipun ular lidi yang sangat berbisa itu menggigitnya. Tubuhnya juga sudah dikebalkan terhadap racun, dengan meminum ramuan daun dan kulit kayu yang direbus dengan periuk tanah. Pawang sudah menammatkan empat tingkatan yakni ilmu pencak silat, ilmu berkomuninkasi dengan binatang rimba, ilmu pengenalan tanaman yang bersifat racun dan obat serta ilmu filsafat atau adat istiadat hidup bermasyarakat. Rimba belantara itu sudah menjadi rumah yang indah bagi Pawang. Dan semua ilmu itu didapatkan karena persahabatannya yang sangat baik dengan si Rimau, macan yang belangnya menyatu di pusar, yakni Harimau Kembaran saudara kembar nenek moyangnya. Ilmu silatnya sudah matang berkat ketekunannya berlatih dengan si Rimau, kadang-kadang dia terluka oleh cakaran macan itu, tapi segera bisa disembuhkan karena obatnya sungguh banyak di hutan.

Empat puluh purnama sudah dijalani, tibalah saatnya berpisah dengan Datuk. Bagaimana dengan si Rimau ? Kalau si Rimau dibawa ke kota, pastilah gempar. Orang-orang akan ketakutan dengan kehadiran raja rimba itu. Maka keberangkatan Pawang meninggalkan Srenggani, menuju desa Sapo Padang yakni perjumpaan Lau Biang (Sungai Wampu) dengan Lau Simbelin. Disana ada dataran tempat kakeknya bereta keluarga yang lain menanam kelapa, nipah, nangka dan tanaman yang dibutuhkan sehari-hari. Disana juga ada pertapaan, tempat kakek Pawang (Penghulu Tanah Ketangkuhen) menimba kesejatian hidup. Ada juga Pancur Perpangiren, sebuah taman bunga-bungaan dan daun-daunan dengan tiga buah pancuran yang berair sejuk, yang airnya kemudian mengalir ke sungai. Daun-daunan itu disebut juga bulung-bulung simalem-malem sedangkan bunga-bungaan itu disebut rudang-rudang simelias gelar sebagai kelengkapan dalam upacara memberikan kehormatan kepada nenek moyang yang telah mewariskan kehidupan.

Hampir setahun lamanya di pertapaan itu, Pawang mendapat pendidikan lanjutan dan pewarisan seluruh harta, ilmu, dan pengetahuan termasuk sejarah dan pusaka Sembiring Kembaren dari Dusub Ketangkuhen yang masih tersisa. Ada pusaka yang sangat dia dambakan yakni pusaka yang dibawa oleh ayah Pangeran Kembar (yang kemudian menjadi Simbiring Kemaren) dari negeri Sriwijaya, yakni Pisau Balabari dan Cap Sembilan (pisaunya berbilah dua atau kembar dan cap sembilan berbentuk bintang dengan sembilan sudut runcing). Pusaka itu konon dititipkan di Danau Toba, ketika mereka berkunjung ke rumah Silalahi Raja di Silalahi dekat Paropo di tepian Danau Toba sebagai tanda persaudaraan. (Kenyataannya, Sembiring Kembaren sampai saat ini tetap diakui saudara oleh keturunan Silalahi Sabungan atau bermarga Silalahi). Semua harta benda itu diterima Pawang Ternalem, dan disimpan kembali di pertapaan. Setelah Pawang merasa cukup, maka diapun berangkat menelusuri Lau Biang, menuju pusat kerajaan Haru. Sampai di pusat kebudayaan itu, dia bertanya kepada pedagang garam tentang keberadaan bibinya yang dulu pernah hendak menjemput dia dari kampung pada masa kecil. Menurut pemberitahuan kakeknya, suami bibinya itu adalah pedagang garam dan sirih pinang di kota Haru. Menurut informasi dari para pedagang sirih pinang, suami bibinya itu telah meninggal dunia. Bibinya bersama seorang anaknya bernama Ndaram pindah ke Kerajaan kecil (kejurun) bernama Jenggi Kumawar ditepian Lau Bingei ( Sungai Bingei). Maka berangkatlah Pawang menuju Kejurun Jenggi Kumawar menembus hutan antara au Biang dengan Lau Bingei. Begitu dia sampai di desa itu, dia langsung menuju rumah Pengulu (raja). Ketika dia mau naik ke beranda rumah itu, dan berhadapan dengan seorang gadis, yang sangat cantik jelita. Begitu terpesonanya Pawang dengan kemolekan gadis itu, sehingga ia sampai terbengong, dan lupa memberi salam. Gadis itupun melihat Pawang terperangah, dan tiba-tiba lari tergopoh-gopoh melalui tangga yang lain dan menjerit-jerit minta tolong.

“Toloooong, tolooooong ada hantuuuuuuuuu.” Katanya menjerit-jerit.

Mendengar jeritannya, maka keluarlah Pengulu Jenggi Kumawar, karena ingin tahu apa sebabnya anak gadisnya menjerit-jerit. Dihadapannya berdiri seorang laki-laki hitam rembutnya gimbal kulitnya berkerak bersisik, memang mirip dengan hantu. Sambil meletakkan bungkusannya Pawang memberi hormat. “Sentabi Raja, aku Pawang Ternalem, seorang pengembara, minta ijin menumpang satu malam ini karena hendak mencari sanak saudaraku di negeri tuan ini.” Ujarnya sambuil mengaturkan sembah secara orang Melayu.

“Mari, silahkan naik kerumah.” Kata Pengulu Jenggi Kumawar. Kemudian dipanggilnya su Bujang, pembantunya untuk memanggilkan iasterinya dan anaknya. Rupanya isteri Pengulu ikut keluar dari belakang mengejar Putri Beru Patimar, yang telah masuk ke rumah tetangga. Tanpa kesulitan si Bujang sudah mengetahui kemana kira-kira gadis itu pergi. Maka tak lama kemudian dia telah berhasil membawa anak gadis bersama ibunya naik kerumah.

“Ini isteriku, dan ini anakku namanya Putri Beru Patimar.” Ujar Pengulu memperkenalkan anak dan istrinya. Pawang menghaturkan sembah, tapi putri Pengulu itu tidak mau mendekat. Ditunjukkannya rasa tak senang menjurus jijik melihat penampilan Pawang. Pada zaman itu, rumah Penghulu memang tempat menumpang berteduh dan menginap bagi pengembara. Jadi wajar saja rumah Pengulu didatangi tamu dari luar desa.

“Tolonglah kalian masakkan makan malam kita. Biarlah si Bujang mengambilkan ikan di kolam.” Kata pengulu. Maka berangkatlah si Bujang ke kolam. Rupanya Pawang ingin tahu juga bagaimana cara si Bujang menangkap ikan, maka merekapun berangkatlah berdua.

Sepulang dari kolam, dirumah tinggal Putri Beru Patimar sendirian. Sedangkan Pengulu jenggi Kumawar dengan isterinya berangkat ke desa sebelah mengadakan rembugan kenduri besar ahir panen.
Begitu jijiknya Putri Beru patimar kepada Pawang, sehingga dia menghidangkan makan untuk Pawang dengan Pelangkah Biang (tempat makanan anjing peliharaan), dan malamnyapun disuruh tidur dengan Apar-apar Lipo (tikar alas kandang ayam). Pawang menerima penghinaan ini dengan ikhlas. Keesokan harinya, subuh-subuh dia telah ikut membantu Bujang membelah kayu untuk kayu bakar. Kemudian, setelah diberi Putri Beru patimar dia sarapan pagi dengan Pekangkah Biang itu, diapun mengambil bungkusannya dan mohon pamit kepada Pengulu. Rencananya akan pergi ke perladangan diseberang sungai, karena dia mendengar bahwa bibinya dan saudara sepupunya itu tinggal disana. Maka berangkatlah dia, dengan perasaan teraduk-aduk, antara kekagumannya atas kecantikan Putri Beru Patimar, dan sakit hatinya diperlakukan seperti binatang.

Setengah hari perjalanan dari Jenggi Kumawar ke Desa Seberang Ulu, Pawangpun sampai di rumah bibinya. Kematian pakcik yang menjadi sumber kedukaan bibinya selama ini, tersentuh kembali dengan kedatangan Pawang. Pawang dan Daram saudara sepupunya berusaha menghentikan tangis bibinya yang semakin terlara-lara. “Kita harus kembali ke dunia nyata bi. Kematian Pak Cik adalah sesuai dengan suratan tangannya. Aku dan Daram masih bisa membantu bibi, menjaga bibi. Toh aku juga tidak mempunyai siapa-siapa. Ayah dan ibuku bahkan tidak bisa kubayangkan bentuk wajahnya.” Ujarnya. Si Bibi juga dapat memaklumi keadaan Pawang, dan dia ingin Pawang dan Daram dapat menjadi saudara sejati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.

Begitulah, selanjutnya Pawang tinggal di desa itu. Orang-orang melihat Pawang sebagai orang yang buruk rupa, tapi rajin dan baik hati. Beberapa kali Daram berkelahi dengan pemuda kampung karena tak tahan dengan ejekan orang orang atas kejelekan saudaranya. Tapi Pawang selalu mengingatkan bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Mendengar nasehat abangnya, Daram pun mengalah. Tapi dia kadang-kadang tidak habis fikir, abangnya yang sakti itu kok diam saja diolok-olok dan dipermalukan orang. Bahkan dia pernah mempertanyakan masalah itu kepada pawang. Tetapi Pawang diam saja dan menyimpannya didalam hati.

Sudah menjadi kebiasaan Pawang mengambil madu dari hutan untuk dimakan dan dijual kepada pedagang yang datang ke desanya. Semenjak kehadiran Pawang, keadaan ekonomi mereka membaik, karena Pawang dapat memberikan penghasilan dengan mengambil hasil hutan yang nampaknya ringan seperti madu, getah jelutung dan kulit-kulit kayu yang dibutuhkan para pedagang.
Setahun keberadaan Pawang di desa Seberang Hulu, tibalah musim panen. Musim panen bersamaan dengan musim berbunga tanaman hutan, dan musim madu. Salah satu sarang madu yang sangat terkenal adalah madu dari lebah yang bersarang pada sebuah pohon ditepi kampung Jenggi Kumawar yang dikenal dengan nama Pohon Tualang Simande Angin. Pohon Tualang ini memang sangat tinggi, mencapai lima puluh depa orang dewasa. Maka setiap kali angin berhembus, dia akan bergoyang, maka disebut Tualang Simande Angin.

Mundur kisahnya tiga tahun kebelakang, tatkala Putri Beru Patimar berumur tujuh belas tahun, oleh Raja Pengulu Jenggi Kumawar sudah diumumkan bahwa siapa saja pemuda yang mampu menurunkan kepala madu Tualang Simande Angin ke hadapan raja, maka dia berjodoh dengan Puteri Beru Patimar. Dan musim panen yang keempatlah saat Pawang sudah tinggal setahun di Desa Seberang Hulu. Maka diceritakannya lah niatnya hendak menurunkan madu dari Tualang Simande Angin, sebagai modal untuk menundukkan Beru Patimar. Mendengar kemauan kemanakannya, si bibi sangatlah gundah hatinya. Karena mengambil madu dari Tualang Simande Angin sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah berpuluh puluh pemuda yang terhempas jatuh dari pohon itu, membuang nyawa demi memperebutkan Putri Beru Patimar yang cantik jelita itu. Lagi pula bibinya berfikir, bagaimana mungkin kemanakannya yang jelek itu disandingkan dengan gadis cantik puteri raja. Tapi tekad Pawang sudah bulat, dan pas ketika bulan sudah besar, jalan desa terang benderang. Pawang mengajak Daram berangkat menuju Tualang Simande Angin dengan membawa surdam.

“Bukannya kita bawa parang, abang malah membawa surdam?” tanya daram keheranan.

“Ayolah ikut saja, nanti disana semuanya akan menjadi mudah.” Bujuk Pawang.
Ketika sampai ketempat yang dituju, Daram merinding ketakutan, karena begitu banyak tengkorak berserakan disekeliling pohon itu.

“Bang, kalau abang naik keatas, aku tidak berani disini sendirian. Begini banyak tengkorak berserakan, pastilah arwahnya menjadi hantu penasaran, bergentayangan.” Ujar Daram. Pawangpun memaklumi perasaan saudaranya, maka diantarnyalah Daram kembali ke Kampung. Kemudian dia kembali ke Tualang Simande Angin ditemani Si Rimau yang telah ikut bersama Pawang saat terakhir Pawang mengambil madu di hutan. Lagipula, sebenarnya kepulangannya kerumah karena ia lupa membawa benang arang.

Begitu Pawang sampai di pohon itu, bulan sudah naik cukup tinggi, maka oleh Pawang dilemparkannya tulang benang arang itu keatas pohon, maka tiada lama kemudian bibi si Beru Jerai Nguda sudah ada diatas pohon itu sambil tertawa halus.

“Anakku, hari ini engkau memanggilku tanpa perjanjian. Ada apa yang engkau perlukan?” tanya bibi dari atas dahan Tualang.

“Bibi, aku hendak naik keatas pucuk Tualang Simande Angin ini, tolong bibi tahan angin yang kencang ini supaya diam. Supaya aku dapat naik dengan selamat.”

Demikianlah permohonan Pawang kepada bibinya. Maka si beru Jerai Nguda meluncur ke pucuk pohon dan disapanyalah angin sikaba-kaba agar berhenti sejenak. Melalui benang arang yang telah ditarik sempai ke pucuk Tualang, Pawang memanjat dampai dahan terakhir, mencari tempat duduk yang nyaman. Kemudian ditiupnya surdamnya dengan penuh perasaan, terlebih-lebih teringatlah dia dengan nasibnya yang sangat malang. Terdengarlah suara surdam itu ke seluruh penduduk Jenggi Kumawar. Keluarlah para gadis-gadis dan ibu-ibu dari rumahnya, berjumpa satu sama lain membicarakan kemerduan dan kesyahduan suara surdam itu. Penuh rasa pilu dan menyayat hati.

“Siapakah gerangan yang meniup surdam itu, terharu hatiku dibuatnya.” Kata seorang ibu kepada yang lain. “Nampaknya dia mengalami hidup yang sangat menyedihkan. Iramanya pun mendayu-dayu sangat menyayat hati.” Kata yang lain.

Sejenak Pawang berhenti meniup surdamnya, dipandanginya seluruh hamparan kampunh dan sawah serta hutan dikejauhan. Ke arah Barat terlihat awan putih dikaki langit ditimpa cahaya rempulan, terkenang akan nasibnya ditinggalkan ayah dan ibu. Hidup terbuang, sampai di tanah rantau Jenggi Kumawar, mendapat hinaan yang sangat menyakitkan. Tanpa disadarinya menetes air matanya didalam keremangan sinar rembulan. Dan bersenandunglah dia dengan penuh pilu.

“Oh ayah, ibu … yang tak sempat kukenal, kurasakan hidupku ibarat i sebatang pohon pisang yang hampir mengering ditengah ladang yang sudah ditinggalkan pemiliknya, daunku compang camping diiris iris angin, pucuknya hangus dibakar matahari, putiknya kuncup tak berisi, jantungnya mengecil menciut, keberadaanku yang menyendiri menyesali nasib yang telah digoreskan sang maha pencipta.”

Hampir semua ibu ibu yang turun ke beranda rumah mengusap air mata, terharu dengan senandung yang sangat memilukan itu. Lewat tengah malam, Pawang turun kembali, dan pulang ke rumah bibinya. Dia tidak mengambil apa-apa dari pohon Tualang Simande Angin itu.

Malam berikutnya, dia kembali memanjat pohon itu, dan para gadis gadis dan ibu ibu yang mendengarkan suara surdam itu, seharian membicarakannya, dan tentunya menunggu lagi malam berikutnya. Malam ini Beru Patimar ikut keluar dari beranda rumahnya, ditemani beberapa gadis. Dengan seksama mereka mendengarkan suara surdam itu, dan kembali ada bilang-bilang yang semakin menyayat hati. Tak terasa airmata Beru Patimar pun menggenang, mau diusap dia malu, tapi kalau dibiarkan menetes juga nanti ketahuan. Maka dikucek-kuceknya matanya.

“Ih…nyamuk nakal, masak masuk ke mata.” Ujarnya. Tapi teman-temannya tahu bahwa Beru Patimar juga terhanyut dengan buaian suara surdam itu.

“Bilang saja sedang terharu. Nggak usah malu.” Kata kawannya. Tapi dia menyangkal, dan pura-pura tidak tertarik dengan suara surdam itu. Merasa kalah dari teman-temannya maka diapun cemberut dan masuk kedalam rumah. Tapi hatinya bertanya-tanya, siapa kira-kira yang sanggup menaiki Tualang Simande Angin itu ? Apakah jodohku sudah dekat ? Begitulah hatinya berkecamuk, dan malam itu dia tidak tertidur sampai subuh.

Sudah lima malam berturut-turut, Pawang meniup surdamnya diatas pohon Tualang Simande Angin. Dan tentang kejadian itu sudah terdengar ke seluruh pelosok kampung bahkan sampai ke kampung-kampung disekitar Jenggi Kumawar. Semua orang membicarakan tentang janji Pengulu Jenggi Kumawar. Siapa gerangan orang yang akan menurunkan madu lebah dari pohon Tualang Simande Angin. Beru Patimar pun sudah mulai gelisah, ingin mengetahui seperti apa sosok orang yang akan menjadi calon suaminya itu.

Maka ketika malam keenam tiba, dia bersama gadis-gadis lain dan beberapa ibu, sambil bercanda di beranda rumah Pengulu, menanti suara surdam yang sangat memilukan itu. Dan sebagaimana malam sebelumnya, suara surdam itupun mulai terdengar. Namun suara surdam itu malam ini berubah menjadi irama alunan perang. Rupanya Pawang sedang memerintahkan beberapa ekor lebah mendatangi rumah Pengulu, dan lebah itu telah terbang menuju beranda rumah Pengulu, serta merta menyengat bibir Putri Beru Patimar bagian atas. Kontan Beru Patimar menjerit-jerit kesakitan, dan merekapun kebingungan melihat jerit rintih Beru Patimar. Menjelang tengah malam, suara surdam itupun berhenti. Pengulu dengan isterinya sibuk mencari obat penawar bisa sengatan lebah Tualang Simande Angin. Tatakala subuh tiba, rintihan Beru Patimar mulai melemah. Bibirnya membengkak sampai ke kelopak matanya. Wajahnya begitu menyedihkan dan menggelikan. Sungguh tidak ada terlihat bekas wajah yang cantik tapi judes itu. Yang terlihat hanya wajah kesakitan dengan raut wajah membulat seperti balon. Setiap kali teman-temannya yang datang menjenguk tertawa geli melihat bentuk wajahnya, dia pun makin jengkel dan putus asa. Beberapa tabib dan dukun telah diundang, tapi pengaruh racun sengat lebah itu tidak bisa segera dihilangkan.

Maka malam ketujuh, malam bulan purnama, tibalah saatnya Pawang menurunkan kepala madu lebah Tualang Simande Angin. Dipancungnya sarang lebah itu sepertiga dari bawah, yang konon berisi lebah berwarna putih susu. Kemudian besok pagi disuruhnya si Daram megantarkan kepala madu itu berikut carangnya ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar. Semula Beru Patimar menyangka si Daramlah yang menurunkan kepala madu itu. Tapi mendengar percakapan dengan ayah dan ibunya, barulah dia tahu bahwa ada orang lain, yakni saudara sepupu si Daram. Si Daram menjanjikan besok senja seluruh madu dari Tualang akan diturunkan dan akan diantar ke rumah Pengulu sekali gus menunaikan janji Pengulu tentang perjodohan anaknya Beru Patimar. Disamping itu, si Daram juga menyampaikan pesan bahwa orang yang menurunkan madu ini akan membawa obat atas penyakit Beru Patimar. Beru Patimar sendiri karena malu, tidak mau menjumpai si Daram di beranda rumah.

Dia merasa senang sekaligus kebingungan dengan keadaannya. Bagaimana dia besok menjumpai sang teruna itu, dengan wajah bengkak dan bibir monyong begitu.

Keesokan harinya, berangkatlah Daram dengan dua orang pemuda desa Seberang Hulu, diiringi Pawang Ternalem, membawa madu Tualang Simande Angin ke rumah Pengulu. Disana tua-tua adat telah menunggu demikian juga penduduk sekitar rumah pengulu. Maka diserahkanlah (enem tongkap tengguli lebah ras dua ndiru cambang aringgenang) madu itu dalam enam bumbung bambu, serta cangkang madu dua gugus, sebagai tanda pemenuhan persyaratan untuk melamar Putri Beru Patimar. Maka tua-tua kampung itu bertanya : Ndigan reh sangkep nggeluhndu, entahpe kin anakberundu guna ngarihken perjabundu ras Beru Patimar (Kapan utusan keluargamu datang untuk membicarakan perihal pelamaranmu terhadap Beru Patimar). Maka jawab Pawang, berhubung karena dia anak yatim piatu, sementara kakeknya tinggal ditempat yang sangat jauh, maka untuk urusan melamar akan dilakukannya sendiri, dan yang mewakili orang tua adalah gurunya Datuk Rubia Gande. Kemudian dia minta dapat bertemu dengan Beru Patimar untuk mengobati sakitnya. Pada awalnya Beru Patimar sangat keberatan untuk keluar, tapi karena rasa ingin tahu tentang siapa pemuda yang akan menyuntingnya itu, dia pun keluar. Begitu dia melihat pemuda itu, diapun teringat dengan perjumpaannya setahun sebelumnya. Maka diapun menolak mentah-mentah. Dia tidak mau dipertunangkan dengan manusia yang tampangnya lebih buruk dari hantu. Tapi janji raja harus ditepati, sebab kalau raja sudah tidak menepati janjinya. Bagaimana dengan rakyat. Maka dengan berat hati, keluarlah Beru Patimar dari kamar, menghadap laki-laki buruk rupa itu. Maka Pawang pun mengusapkan telapaknya ke wajah gadis itu, menyerap racun lebah yang telah menyengatnya, dan sesaat mulailah kempes, dan rasa nyeri yang berdenyut berangsur hilang. Lepas magrib, Pawang minta pamit, dan menjanjikan sebulan kedepan, dia akan haduir bersama gurunya untuk menuntaskan rencana perkawinannya. Beru Patimar telah sembuh dari sakit sengat lebah, dan mengenang jasa pemuda itu dalam menyembuhkan penyakitnya, senang juga hatinya. Namun jika dia teringat dengan wajah buruk pemuda itu, rasa kecewanyapun semakin membekas.

Sehari setelah penyerahan madu itu, Pawang berpamitan kepada bibinya, untuk segera menuju Srenggani, melaporkan rencana perkawinannya. Maka malam itu juga dengan menunggangi si Rimau, dia segera sampai di pertapaan. Dijelaskannya semua duduk perkara perjodohan itu, yang semula dilatar belakangi penghinaan yang amat sangat. Tapi Datuk Rubia Gande tidak menunjukkan rasa gembira. Wajahnya mendung dan sangat-sangat murung. Melihat wajah gurunya begitu murung, Pawang menjadi tegang, dan cemas.

“Apa kiranya sebabnya Datuk merasa gundah. Apakah memang aku tidak diijinkan mempersunting anak pengulu itu ?” tanyanya. “Bukan itu masalahnya. Perhitungan hari kelahiranmu dengan gadis itu tidak serasi. Halangannya besar. Besar sekali. Karena kalau dipaksakan perkawinan ini, usianya tidak lama . Artinya salah satu diantara kamu akan mati.” Ujar Datuk. “Apakah tidak ada jalan keluar Datuk ?” tanya Pawang cemas.

“Ada, kau harus diuras, pulahi kahul, persilihi. Untuk semua ini membutuhkan waktu satu musim.” Ujar Datuk.

“Biarlah Datuk. Saya bersedia melaksanakan itu semua.” Kata Pawang.

Maka esok harinya Pawang disuruh mengumpulkan bahan penyamak agar semua getah-getahan dibadan dan rambutnya dilepaskan. Siang harinya Pawang dibawa ke pancuran di tepi Srenggani, dan oleh Datuk dicucilah semua samak biring yang melapisi kulit Pawang demikian juga dengan rambutnya, sehingga rambutnya semula gimbal kini halus terurai dan kulitnya yang semula hitam legam telah berubah menjadi sawo matang. Maka Pawang Ternalem telah berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.

Sesuai perintah Datuk Rubia Gande, maka berangkatlah Pawang menuju rumah kakek di kampung Pertumbuken Lau Mbelin untuk memohon doa restu dan persiapan upacara sebagaimana diperisyaratkan menurut pembacaan kalender ( pengoge wari sitelupuh, paka sisepuludua). Pertemuan dengan kakek dan nenek tentulah sangat mengharukan. Bahkan berita tentang turunnya madu Tualang Simande Angin pun sudah sampai ke kampung dibawa oleh Perlanja Sira. Maka berkumpullah Sangkep Nggeluh Pawang Ternalem, sesuai aturan adat Merga Silima Tutur Si Waluh, Rakut si telu, Perkade-kaden Sepulusada tambah sada). Dipersiapkanlah seserahan kepada keluarga Pengulu Jenggi Kumawar dibawah pimpinan Pengulu Jandi Melasang. Inti dari perutusan ini adalah membawa dua khabar penting yakni, pertama bahwa Keluarga Pawang Ternalem secara resmi melamar Beru Patimar menjadi calon isteri Pawang. Yang kedua, bahwa acara resmi perkawinan dilaksanakan setelah satu musim kedepan, karena Pawang ernalem harus mengikuti ritual-ritual demi kelanggengan perkawinannya kelak.

Kedatangan Pengulu Jandi Melasang, pada dasarnya sudah diterima oleh kaum Kerajaan Jenggi Kumawar. Namun, untuk pengesahannya, Pawang harus ikut mengabdi di Rumah Pengulu sampai hari pernikahan tiba, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga dengan Ngian-ngiani (berjaga-jaga).
Untuk kegiatan Ngulak akan dilakukan pada hitungan Paka Arimo (bulan Harimau ) warina Nggara Enggo Tula, yang kira-kira masih ada empat bulan sejak pengantaran lamaran itu. Karena itu, akhirnya Pawang mengalah dan berangkat kembali ke Jenggi Kumawar.

Ketika sampai di rumah Pengulu, semua gadis-gadis di mengintip dari jendela rumah panggung masing-masing, dan desa pun menjadi gempar karena Pawang Ternalem yang sebelumnya terlihat sangat buruk rupa, sekarang telah datang kembali dengan penampilan yang begitu menawan. Beru Patimar pun tidak mampu menahan gemuruh hatinya, dan ingin segera menjumpai Pawang.

Ketika malam tiba, Pawang ditemani Daram saudaranya berkunjung ke rumah Pengulu. Dan Pengulu mempersilahkan Pawang untuk memberikan nasihat-nasihat dan saling berdialog (siajar-ajaren) satu sama lain. Ini diperlukan agar keduanya kelak sudah memiliki saling pengertian dan saling mengenal lebih dalam. Terlebih lebih kedatangan lamaran Pawang tidak dari Ture (beranda/melalui proses pacaran) tapi dari Rumah (melalui proses sejenis perjodohan ).

“Impal, aku jelma so begu enggo reh.” (Gadis, aku manusia si mirip hantu sudah datang), kata Pawang sambil duduk di tikar. Beru patimar bersimpuh disudut lain. Mendengar suara Pawang yang bergetar, Daram diam-diam surut turun dari beranda dan turun ke Jambur tempat anak muda kampung berkumpul. Biar mereka punya privasi yang cukup pikir Daram.

“Ula bage nindu kaka. Aku pe erkadiola kal aku perbahan nggo sempat selpat rananku la mehuli.” (Janganlah berkata begitu kakanda, karena akupun sangat menyesali diri atas kelancanganku tempo hari). Kata Beru Patimar menyesali tingkah lakunya setahun yang lalu. Maka Pawangpun menceritakan riwayat hidupnya, didengarkan Beru Patimar dengan seksama. Semakin larut malam merayap, semakin dalam rasa simatiknya terhadap pemuda itu, yang hidup penuh derita, penuh perjuangan dan penuh kesabaran. Dan satu hal yang paling disesalinya adalah sikapnya yang begitu sombong (bhs karo : megombang), sampai mengatakan orang hina seperti pawang tidak layak tidur di tikar, maka digantinya pakai tikar alas kandang ayam. Kalau misalnya dia disuruh menetapkan apa hukuman atas kesombongannya, dia sendiri merinding bulu romanya memikirkannya. Tapi Tuhan maha kasih, Pawang adalah orang sabar dan lapang hati. Pertemuan malam itu membuat tekadnya semakin kuat untuk mempertahankan perjodohannya dengan Pawang.

Pawang dan Daram sekarang bekerja membuka lahan baru atas ijin Pengulu. Setelah pondok kebun selesai didirikan, dan tebasan pertama dan pembakaran telah selesai, Daram berpamitan kepada Pawang karena dia juga harus membantu Ibunya di desa Seberang Hulu. Tinggallah kin Pawang sendirian merambah belukar itu untuk dijadikan perkebunan kelapa dan memelihara sebagian nipah baik untuk atap rumah maupun untuk daun pembungkus tembakau. Semua ini tentunya untuk masa depannya dengan Beru Patimar . Biasanya menjelang tengah hari Bujang datang mengantar nasi dari rumah Pengulu Sedangkan untuk sarapan pagi dan makan malam dibuat sendiri oleh Pawang dengan perbekalan yang telah mereka persiapkan dengan Daram waktu awal merambah hutan.

Pada satu hari, karena Bujang mendapat pekerjaan mengawal Pengulu sesuai jabatannya sebagai Upas, maka oleh Istri Pengulu, disuruh Beru Patimar mengantar nasi ke kebun. Pawang sudah mengetahui hal itu dari Bujang sehari sebelumnya. Mengetahui akan kedatangan Beru Patimar, maka timbullah niatnya untuk menggoda gadis idamannya itu. Maka jalan menuju ponduknya ditebarnya dau-daun hutan yang beracun dan gatal seperti daun jelatang, daun siterkem dan rengas. Pawang menyadari kedatangan Beru Patimar, karena oborolan mereka terdengar ditepian hutan. Memang betul, Beru Patimar ditemani oleh dua orang bibinya (saudara perempuan Pengulu).

Ketika melihat banyak sekali daun jelatang disepanjang pematang menuju pondok Pawang, maka salah satu dari bibi itu berteriak memanggil Pawang.
“Pawang, kami sudah datang dengan Beru Patimar mengantar makan siangmu, jemputlah kami kesini.” Teriak bibi Beru Patimar.
“Masuk sajalah, makanannya letakkan di pondok.” Sahut Pawang.
“Tapi daun-daun ini sangat gatal Pawang. Kami takut kena getah dan miangnya.” Kata seorang bibi.
“Biar si Beru saja yang masuk. Kalau dia cinta, dia tidak akan terkena penyakit gatal. Tapi kalau dia pura-pura cinta, pastillah badannya gatal-gatal semua.” Kata pawang.

Maka kedua bibi itu menyuruh Beru Patimar masuk. Beru Patimar ragu, melihat daun jelatang yang begitu berbisa, dia ngeri. Belum menyentuh saja, kulitnya serasa sudah gatal semua.

“Abang Pawang jemputlah aku, aku takut.” Ujarnya gemetar mencari pijakan yang tidak terkena daun jelatang. Keringatnya menetes disekujur tubuhnya.
Begitu dia sampai dipintu ponduk, dilihatnya Pawang sedang membakar ubi. Pawang menggaitnya untuk masuk, tapi Beru patimar tetap berdiri di pintu dengan bungkusannya.”Cepatlah, bibi menunggu disana.” Ujarnya. Jantungnya bagai berpacu dengan suara binatang hutan yang menjerit-jerit tengah hari. Tapi Pawang masih tersenyum, dilepaskannya bulang-bulang (kain pengikat kepala), dan dikibaskannya rambutnya jatuh dibahu.

“Kau tidak ingin tahu, sampai dimana bakal batas kebun kita?” tanya Pawang.
“Sekuat satu orang laki-laki bekerja. Karena aku tidak pandai berkebun.” Ujar Beru Patimar. Hatinya berbunga-bunga mendengar perencanaan kebun itu. Kebun kita berdua, begitulah berngiang-ngiang di telinganya. “Antar aku keluar, aku takut daun gatal ini.” Ujar Beru Patimar.
“Itulah, ujianmu tidak lulus. Mengapa kamu merisaukan daun berserakan ini. Bukankah dengan seikat ranting semak kamu bisa menyingkirkannya?” ucap Pawang. Lalu diambilnya dua batang perdu, diikat jadi satu, dipotongnya ujungnya menjadi rata, kemudian disapukannya ke jalan masuk pondok itu, sehingga semua daun telah tersingkir. Beru Patimar merasa sangat tolol, ketika dilihatnya pemecahan masalah yang dibuat Pawang sangat sederhana. Tapi dia hanya melengos, dan bergegas menemui bibinya. Sebenarnya kedua bibinya itupun tahu hal tersebut. Tapi sesuai pesan Pengulu, Beru Patimar harus didik lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab. Malam itu Beru Patimar bermimpi jumpa Pawang. Dalam mimpinya, terhampar daun jelatang yang sangat luas, dan Pawang menggendongnya menyeberangi daunan yang gatal itu. Beru Patimar merangkul pemuda itu dengan mata terpejam. Ia tertidur sambil tersenyum.

Sudah empat bulan Pawang bekerja keras membuka hutan. Nampaknya lahan yang akan dirancangnya sebagai kebun sudah cukup. Lima puluh rante sebagai kebun kelapa, lima puluh rante kebun durian dicampur rambutan dan duku, sepuluh rante untuk pertanian huma untuk ditanami padi, ubi-ubian dan pisang. Lalu sebagian rawa kira-kira sepuluh rante untuk bertanam nipah dan akan dibuatkan kolam ikan atau tambak. Masa pembakaran masih ada dua bulan lagi, sehingga , Pawang Ternalem berpamitan kepada Pengulu Jenggi Kumawar untuk pulang ke Srenggani. Karena sesuai janjinya dengan Datuk Rubia Gande, dia akan menjalani ritual Ngulak dan Upacara Ngombak. Karena bulan sudah naik sesuai tanggal yang telah dijanjikan. Malam itu, Pawang juga berpamitan kepada Putri Bru Patimar. Pawang meninggalkan bulang-bulang (ikat kepala) sebagai tanda perikatannya, dan Bru Patimar juga menyerahkan selendang sebagai tanda pengingat, selama masa perpisahan. Tidak banyak yang dikatakan Pawang kecuali menjelaskan bahwa penundaan ini semata-mata demi kebaikan masa depan mereka. Berat rasa hati Bru Patimar untuk melepaskan sang kekasih, namun bibirnya serasa kelu, kecuali butir air mata yang jatuh berderai dipipinya. Pawang menghilang ditengah kegelapan, mata Bru Patimar menerawang langit penuh bintang. Bulan sabit tipis sekali, terlihat mengintip diujung atap beranda. Ada genderang yang bertalu-talu didalam dadanya, tapi juga ada jerit yang sangat dalam dilembah hati seorang wanita yang tengah dilanda cinta.

Diambilnya pandan anyaman, lalu dia duduk diberanda sambil menganyam tikar putih. Enam bulan terakhir ini dia sungguh sungguh telah berubah. Dia belajar memasak, dia belajar bertenun, dan juga belajar menganyam sumpit dan tikar. Dan yang mengubah segalanya adalah cinta. Jemarinya yang lentik mulai mengait dan menepis pandan, sambil bersenandung.

Bagi si lit bagi si lahang
Sora erlebuh man bangku
Kepe warina langa terang
Sanga tertunduh kal aku
Ije minter medak mata ngku
Iluh pe mambur bas ayongku
Kupernehen ku kawes kemuhun
Ise pe la lit kuidah
Ije kuinget arih-arihta sindube pe lolo
Nambah nambahi ate megogo
nde uga denga kal kubahan bangku turang
Megati jumpa ningen lanai bo banci sayang kusayangi
Enda kuinget kal kam si tiap berngi jadi kal ateku
Nambah nambahi ate mesui

(Terjemahan bebas)

Antara ada dengan tiada
Sayup sayup suara yang memanggilku
Ternyata hari masih malam
Saat tertidur ragaku
Lalu ketika aku terjaga
Terasa air mata berlinang di pipiku

Kupalingkan wajah ke kiri dan kekanan
Tiada ada siapa pun jua
Menyentuh ingatanku tentang cinta kita yang terbengkalai
Menambah luka dalam hatiku

Duhai apa lagikah yang dapat kulakukan
Sebab untuk bersuapun semakin sulit
Walau ingatanku hanya dikau sepanjang malam
Membuat diriku semakin terluka

Malam semakin larut dan binatang-binatang malam dihutan semakin merdu meneriakkan lagu-lagunya. Ngilu perasaan Bru Patimar mengenang kisah kasihnya. Kekasih pujaan telah berangkat untuk meretas jalan pertemuan sejati. Berapa lama lagikah dia harus menunggu Pawang pulang. Dan jikalaulah perjuangan mengusir segala halangan itu tidak berhasil, ngeri rasanya memikirkan hal-hal yang tidak menguntungkan itu.

“Ya Tuhan, berikan perlindunganmu kepada Kakanda Pawang Ternalem, agar semua rintangan itu dapat dia singkirkan, segeralah Dikau kembalikan dia kepadaku” begitulah bisik Bru Patimar dalam doa tengah malamnya. Digulungnya tikar yang telah separuh jadi, dia beranjak ke rumah untuk meneruskan lamunanya bersama bantal di Pulau Kapuk.

Sementara itu, perjalanan Pawang Ternalem menuju Srenggani sudah hampir sampai. Suara kokok ayam hutan menandakan subuh hampir tiba. Langit di Timur merah membara. Pawang dapat menatap Selat Malaka dari kejauhan. Laut itu terasa teduh dan sangat luas. Seteduh dan seluas hati manusia yang penuh keyakinan.

Srenggani masih seperti dulu. Dengusan air terjun yang tidak menghiraukan perjalanan waktu. Ranting-ranting kering berderak patah terbanting ke tanah. Daun-daun berguguran menumpuk lapis demi lapis dipermukaan tanah, lembut terpijak kaki Pawang. Suara burung Jungkararip diatas pohon yang tinggi, menyambut pagi hari ini. Hari-hari penuh dengan tugas-tugas baru.

Maka berangkatlah Pawang Ternalem dengan dua orang pengantar bersama beberapa orang anak beru ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar untuk menjemputnya. Peristiwa ini didalam urut-urutan adat disebut baba nangkih. Maka dengan berpura-pura tidak tahu Pengulu Jenggi Kumawar dengan istrinya pergi ke rumah saudaranya di kempung seberang sungai, dan ditinggalkannya di rumah panggung saudara perempuannya, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa Bru Patimar bersama dengan Pawang Ternalem. Rombongan itu hanya sebelas orang, dan subuh mereka berangkat dari Jenggi Kumawar, dan ketika maghrib baru tiba di desa Lau Simbelin, kampung kakek Pawang. Disana sudah menunggu sanak saudara Pawang Ternalem, termasuk ibunda si Ndaram saudara ibunda Pawang Ternalem. Upacara penyambutan dilaksanakan secara sederhana, yang diakhiri dengan makan malam, (tata upacara ini akan dibuat posting tersendiri).

Pada saat makan malam ini, Pawang dengan Bru Patimar di suruh duduk berdua didalam kamar, dan disuguhi masakan ayam yang telah diolah sedemikian rupa, lengkap dengan nasinya, dalam satu piring. Pertama, keduanya disuruh saling menyuap dengan sejemput nasi, secara bersamaan. Kemudian diawasi oleh bibi Pawang, mereka disuruh makan sekenyang-kenyangnya. Beberapa nasihat yang diucapkan bibi itu antara lain, jangan gigit tulang ayamnya, jangan makan sayapnya, supaya kamu jangan suka kluyuran, jangan makan cekernya, supaya rejekimu jangan seperti rejeki ayam, mengais dulu baru makan. Yang paling dianjurkan kepada Bru Patimar adalah makan telur rebusnya yang memang diletakkan ditengah-tengah maskan itu. Supaya menjadi ibu yang baik, seperti induk seekor ayam, biar anaknya berbulu putih, berbulu hitam, lurik lurik atau bintik bintik, semua dinaunginya dibawah sayapnya. Pawang disuruh makan paha ayam, biar kuat bekerja, kuat menopang harga diri dan martabat keluarga. Kalau hatinya, juga jangan, supaya tidak perate-ate (manja dan mau menang sendiri), tapi hati ayamnya berikan saja kepada bibik-bibik itu. Mereka senang karena daging hati ayam lunak, dan memang itu yang enak bagi orang yang sudah ompong he..he..he..

Selesai makan, mereka disuruh istirahat didalam kamar, dan bibi-bibi itu bergegas mengeluarkan piring, mangkok tempat cuci piring dan gelas minuman. Tapi kemudian disorongkan kedalam minuman berupa tuak dalam bumbung bambu. Trus kamar itu dikunci dari luar. Mereka berdua berpandang-pandangan. Ada celah dinding papan itu untuk mengintip, dan nampak keluarga Pawang Ternalem sedang bercakap-cakap kesana kemari tidak tentu topik. Adang-kadang saling berdebat, bercanda ejek mengejek, dan tertawa bersama-sama. Pawang masih mengenang pesan gurunya, jangan terlalu hanyut dengan perasaan. Kamu harus mampu menahan diri. Sementara saudara sepupunya, sehari sebelum mereka berangkat ke Jenggi Kumawar, ketika mandi di pancuran mengatakn, begitu sampai nanti di rumah, kamu harus mengambil kegadisannya, supaya tidak ada lagi ikat-ikat bathin dengan laki-laki manapun, entah itu yang mencintai apalagi yang dicintai Bru Patimar selain kamu. Diliriknya Bru Patimar yang sedang bersujud dihadapannya, merenung manatap jalinan tikar pandan. Lalu diangkatnya wajahnya menatap Pawang dan tersenyum.

“Nggak diminum air niranya bang?” tanya Bru Patimar.
“Sebentar lagi, perutku masih kenyang.” Jawab Pawang sambil tersenyum. Ditopangkannya tangannya ke dagu, dan ditatapnya mata Bru Patimar dalam-dalam. Pawang masih tersenyum, dan diusapnya keringat di dahi pengantinnya.

Gadis itu tertunduk, kemudian menatap Pawang lagi. Kemudian dia mengangguk. Nampaknya anggukan itu tidak untuk Pawang Ternalem tapi untuk dirinya sendiri. Dia percaya, bahwa kembang yang selama ini dijaganya dengan sebaik-baik kemampuannya, yang sudah dalam dua tahun ini diyakininya untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Pawang Ternalem. Ya, memang sekaranglah waktunya.
Maka ditengah senda gurau sanak keluarga diluar, mereka memadukan kemurnian jiwa, bagai lagu seruling yang mengalun lembut dari lembah. Pawang menapak dari kaki bukit, mendaki lereng sampai kelembah yang lembab dan berembun, dan dalam pendakian yang samakin menguras tenaganya langkah-demi langkah terayun sambil merayap di sela bukit kemuning yang berubah rona merah memayang dengan geraian rambut diubun-ubun berayun ayun bagai selendang berkibar disaput fajar. Rona pelangi memancar dari bola matanya, beralun tarian naga bersahut-sahutan bagai alu bertalu-talu menumbuk lesung, dan pias-pias padi terpancar dari bibir lesung tersentuh. Riak-riak yang semula memercik riang, berubah jadi ombak mengelombang timpa menimpa dalam badai yang semakin dahsyat. Jiwa mereka luluh lebur jadi satu dalam keheningan dan kesenyapan.

“Engkau belum membayar utang adat kepada ayah bundaku dan sanak kadang orang beradat, ingat itu dan serahkan bukti persembahanku itu kepada keluargamu, supaya tahulah mereka melunaskan hutangnya.” Kata Bru Patimar kepada Pawang. Pawang mengangguk dan mencium kening istrinya. Lalu diketuknya pintu kamar yang terkunci dari luar itu, sedikit terbuka, disorongkannya genggaman kain tenun putih itu, disambut sang bibi dari luar, dan pintu kamar terkunci kembali. Besok pagi kain itu dengan uang emas atau perak akan diantar ke rumah Pengulu Jenggi Kumawar, bahwa pernikahan telah dilaksanakan dengan selamat, dan utang adat akan dibayar setelah selesai musim panen.

Istrinya menatap wajah yang terpejam itu. Dalam hati dia berkata, apapun kelak yang terjadi, aku akan mengikutimu, kemanapun, dalam keadaan apapun, sampai maut memisahkan kita. Sementara Pawang berbisik dalam hatinya, Bunda, aku sama sekali tidak mengenal engkau, karena pertemuan kita hanya selama empat hari, maka kini aku telah menemukan gantimu, restuilah kami dari tempat peristirahatanmu, biarlah keluarga kami kelak menjadi keluarga sebagaimana pernah ada dalam cita-citamu. Dan ketika dia membuka matanya, dilihatnya wajah Bru Patimar bersinar bagai rembulan.

Keesokan harinya, ketika cahaya matahari menembus lubang dancelah dinding kamar, Pawang Ternalem terjaga dan terbangun. Tapi Bru Patimar sudah tidak ada disisinya. Dan ketika dia keluar dari kamar, dilihatnya istrinya sudah pulang dari pancuran, dan tengah menyisir rambutnya yang panjang. Pawang tersenyum dan bergumam dalam hati, dia telah ada disebelah diriku. Lalu diapun bergegas ke pancuran mandi dan mengikrarkan janji hati, untuk berjuang bagi sebuah keluarga bahagia.

Kamus:
Surdam : sejenis seruling terbuat dari bambu
Bilang-bilang: nyanyian yang isinya mengenai derita hidup / semacam pengaduan nasib malang kepada Tuhan.
Tongkap : Bumbung bambu biasa untuk menampung air nira.
Ndiru : Alat penampi, Niru, Tampah (terbuat dari anyaman bambu).
Sangkep nggeluh : Unsur-unsur dalam adat, keluarga.
Anak beru : Bagian pesuruh secara adat.
Diuras : Diupah-upah, mandi pembuang sial.
Pulahi Kahul : Buang nazar, berupa pelepasan hewan di tempat tertentu/keramat sebagai pembayar roh yang hidup. Biasanya yang dilepas adalah ayam jantan putih atau kambing putih.
Persilihi : Upacara melepaskan semua penghambat keberuntungan, buang sial..... Sibar em bas aq nari,- "bujur"