SEPATU WARNA BIRU
Sekitar tahun enampuluhan makmur daerah desa sekitar. Waktu itu ekspor sayur dan buah buahan ke negara tetangga Singapura sangat ramai. Berapa saja dikirim jeruk pernantin istilah nama buah di pasar lokal, habis ditelan warga Singapura. Manisnya memang bukan main, Besar buahnya bisa sebesar tinju orang dewasa. Kulitnya tebal ranumnya menggoda. Bahkan kulitnya, kalau dikeringkan dan dimakan terasa manis manis asam, biasa diolah demikian rupa oleh etnis Tionghoa kala itu jadi manisan.
Pohonya besar tinggi dan carangnya banyak, tak bermusim alias berbuah terus. Tak kenal pupuk kimia. Pupuk kotoran babi maupun sapi cukup tersedia di desa. Seakan berkat khusus dari Pencipta kepada warga desa,
Sumber penghasil dari alam bagi keluarga yang sangat menggairahkan. Dan sangat menggoda pemuda masa akilbalik alias ABG anak baru gede masa kini, untuk memanjat memetik dan mendapat imbalan upah yang besar. Cukup menyenangkan dan berlebihan untuk digunakan berpoya poya di masa ABG .
Gindo, yang libur mengunjungi nenek Itingnya. Dibawa bertandang oleh kawanan selumbung yang ditumpanginya ke desa yang ditumbuhi jeruk pernantin. Tersipu kagum Gindo meliwati pohon jeruk menguning hampir menutupi semua daunnya takkala memasuki perladangan desa Pernantin. Kekaguman Gindo menjadi jadi lagi takkala mulai memasuki jalan utama desa. Kedai kopi banyak di kiri kanan dan ada kedai nasi beberapa.
Soal kedai kopi, memang setiap desa ada. Paling dua atau tiga saja jumlahnya. Tapi soal kedai nasi, sampai masa kini pun tidak lajim dimiliki desa. Rupanya ABG desa Pernatin kala itu lebih suka makan di kedai nasi dari pada di rumah. Besar kemungkinan, para ibu juga lupa memasak karena rendang
Kekaguman Gindo belum tuntas. Ketika rombongannya memasuki salah satu kedai kopi untuk melepas lelah perjalanan kaki hampir 10 km untuk sampai di desa.
Ramai pengunjung kedai, ada yang tua dan ABG laki tak kalah banyaknya. Dandanan ABG itu umumnya sepatu biru. Sepatu buatan Jepang. Sepatu top kalangan atas ABG Medan. Gindo tak pernah memakainya walaupun dia tinggal di
Berkat alam yang sangat memanjakan, kadang tak tepat disyukuri manusia. Puluhan tahun dan mungkin ratusan tahun takkala rumah adat di desa itu mula di bangun, pohon jeruk tumbuh kokoh, hijaunya sama dengan gunung di sebelahnya. Gunung yang setiap senja menyanyikan irama riuh suara orang hutan yang bersahut sahutan. Keseimbangan alam terjaga.
Seperti masa kini, banjir badang berita sehari hari. Di pulau sini dan pulau
Kalau pada jamannya jeruk pernantin itu, ada juga isilah sungai Deli yang membelah
Tiba tiba dalam masa berkat yang melimpah, alam berubah. Pohon jeruk yang tumbuh kokoh subur laksana kokoknya gunung di sebelah, mulai meringis tampak lelah sekali untuk tumbuh. Tidak saja di desa Pernantin, tapi menyeluruh di seluruh desa kabupaten Karo yang punya pohon jeruk. Tak ada obat tanaman yang dapat meringankan kemauan tumbuh. Akhirnya mati.
Ahli tanaman PBB turun tangan dan menyebutkan virus sumatera penyebab kematian. Virus yang tidak dikenal sebelumnya. Kini, jeruk pernantin tinggal kenangan. Rasa dan ranumnya belum tertandingi sampai kini.
Alam dapat berubah karena ulah manusia, dapat juga berubah kerna alami dan kehendak Pencipta. Perlu disyukuri dengan tepat berkat yang melimpah. Perlu pula dicermati laknat yang mungkin datang. Alam perlu dibuat jadi sahabat . Masa ABG jangan lupa menekuni sekolah.
Dame Munthe
0817826026.
dame@data-e.com