Pawang Ternalem
Alkisah, kira kira sepuluh abad yang lalu, terlahirlah seorang
anak laki-laki dalam sebuah keluarga persis saat matahari berada diatas
ubun-ubun. Kalau menurut penanggalan hindu kuno, hari kelahiran anak
laki-laki ini adalah sehari setelah malam bulan purnama, yang disebut
Tula. Menurut kepercayaan, orang yang dilahirkan pada hari setelah bulan
purnama akan membawa kesialan ditengah-tengah keluarga. Karena dia
membawa aura raja yang sangat kuat dan dapat mencelakakan ayah ibunya.
Memang benarlah seperti ramalan itu, empat hari setelah kelahirannya,
ibundanya pun meninggal dunia. Tujuh hari setelah kelahirannya,
ayahandanya pun meninggal pula. Maka anak laki-laki inipun dipelihara
oleh kakek dan neneknya. Hari kematian ayahandanya bersamaan waktunya
dengan upacara mandi ke pancuran yang pertama bagi anak laki-laki ini
dan selanjutnya diberi nama.
Upacara ini disebut Pitu Layo,
alias tujuh hari pertama untuk menuju air. Oleh pamannya yakni suadara
laki-laki ibunya, anak laki-laki ini dinamai PAWANG TERNALEM.
Pengertiannya kira-kira, pawang yang dapat diandalkan. Pawang begitu
kental dalam kehidupan mereka, karena sebenarnya habitat kehidupan
mereka adalah disekitar belantara Bukit Barisan, yang sekarang dikenal
dengan nama Taman Nasional Gunung Leuser. Kampung yang mereka dirikan
merupakan tempat persinggahan Perlanja Mayang orang yang membawa pinang
dari dataran bagian hulu daerah aliran Sungai Wampu, yang sekarang
dikenal dengan Dataran Tinggi Karo, untuk dijual di bandar atau kota
kerajaan di dataran rendah dimana Sungai Wampu bermuara, yang disebut
dengan Kerajaan Haru. Sebaliknya mereka akan kembali ke gunung dengan
membawa (memikul) garam untuk diperjual belikan pula di Dataran Tinggi
Karo. Jarak lurus dari pusat kebudayaan di hulu dengan Kerajaan Haru
hanya sekitar lima puluh kilometer, namun karena jalan yang mereka
tempuh berliku-liku mengikuti punggung bukit dan lereng lembah ditengah
hutan rimba belantara, maka perjalanan itu kadang kadang ditempuh dalam
satu minggu. Maka kampung kelahiran Pawang Ternalem yang dikenal dengan
nama Pertumbuken Lau Simbelin, adalah jarak tempuh tiga hari baik dari
Haru, maupun dari Karo.
Tanpa ayah dan ibu, dan
karena diyakini membawa sial, Pawang tidak diurus oleh kakek dan
neneknya. Sekali waktu, seorang wanita dengan seorang anak laki-laki
yang seumur dengan Pawang datang ke kampungya, rupanya wanita itu adalah
kakak dari ibunda Pawang. Wanita itu meminta kepada kakek Pawang, agar
Pawang dapat dibawanya ke hilir (ngkahe) agar hidupnya dapat lebih
terurus. Tapi kakek Pawang tidak memberi izin, dengan alasan anak ini
membawa bencana kepada orang-orang yang ada didekatnya. Jadi jika dia
ikut dengan bibinya, dicemaskan akan mendatangkan malapetaka pula. Maka
Pawang tidak jadi dibawa bibinya ke hilir. Beban hidupnya semakin berat.
Kalau ada rombongan Perlanja Mayang yang singgah dikampunya, Pawang
selalu membantu mereka menjaga barang bawaan, menyediakan perapian dan
membantu mencari binatang buruan untuk bekal diperjalanan. Pawang pun
mendapat upah yang layak, dan juga mendapat kain tenun yang bagus.
Pawangpun tumbuh menjadi remaja yang berparas tampan dan gagah. Memang
sudah berkali-kali Pawang bermohon untuk disertakan memikul pinang ke
kota, tapi para pemikul menolak secara halus. Mereka bukan tidak senang
dibantu Pawang, namun cerita nasib si Pawang sebagai pembawa sial itulah
yang membuat bereka menolak.
Namun,
satu ketika, Pawang telah mengambil keputusan akan mengikuti rombongan
perlanja itu ke hilir. Dari jauh diikutinya jejak mereka. Rupanya
kelompok perlanja menyadari bahwa mereka sedang dikuntit dari belakang.
Mak ketika jumpa dengan jalur perjalanan gajah ditengah belantara, maka
jalur jalan setapak yang biasa mereka jalani ditutup dengan
ranting-ranting kering, sehingga terkesan jalan itu menyatu dengan jalur
pergerakan binatang rimba itu. Dan, ternyata Pawang terkecoh, dan dia
menelusuri jalur perjalanan gajah, semakin lama semakin masuk kedalam
rimba belantara. Setelah hari mulai gelap, Pawang mulai ragu, apakah
meneruskan atau kembali ke kampung. Jarak yang ditempuh sudah sehari
perjalanan. Entah bagaimana, tiba tiba dia melihat sinar cemerlang dari
hadapannya. Dia menyadari, ini adalah harimau. Harimau itu menggerutu,
kemudian menggaris tanah dua kali dengan kuklunya yang tajam. Kemudian
berjalan dengan gontai, dan menoleh kembali kearah Pawang. Bulan
bersinar disela-sela tajuk daun kayu rimba. Pawang memutuskan mengikuti
harimau itu. Inilah perjudian hidup, kalau dia memang moyangku aku akan
selamat, tapi jika tidak, biarlah hidup sampai disini, gumamnya dalam
hati. Sambil menggeram harimau itu berbelok kearah jalan setapak yang
lebih sempit, dan Pawang menyusul. Hampir subuh, mereka tiba di satu air
terjun, yang dikenal dengan nama Srenggani. Harimau melompat
menyebarangi jurang dan berlari kearah dataran sempid disisi air terjun.
Pawang tersadar, rupanya di air terjun itu sedanh duduk seorang laki
laki tua yang berambut panjang. Dia teringat dengan cerita para
perlanja, inilah datuk yang menguasai seluruh binatang liar dihutan
rimba ini. Maka diapun mendekat ke tepian sungai dan menyampaikan salam
hormat.
“Sentabi Datuk, aku Pawang Ternalem cucu dari Penghulu
Tanah Ketangkuhen.” Sambil menunduk-nundukkan kepalanya menekur ke
tanah.
”Oh ya aku tahu. Kakekmu sudah menghubungi aku, maka kusuruh
si Rimau menjemputmu.” kata kakek itu. Pawang menatap laki-laki tua itu
dalam-dalam. Di dunia ruimba, dia dikenal dengan nama Datuk Rubia
Gande.
“Dengan kedatanganmu, namaku menjadi bertambah. Sebab atas
permintaan kakekmu, dan tradisi kita, kaupun harus kuangkat menjadi
ajar-ajar (murid). Si Rimau memang sudah lama kujanjikan tentang
kedatanganmu, begitu juga bibimu si Beru Jerai Nguda. Mereka akan
menemanimu sampai waktunya kau meninggalkan gelanggang.” Ujar kakek tua
itu.
Pawang baru menyadari bahwa ceritra yang diperdengarkan
oleh Datuk di kampung memang nyata adanya. Bahwa nenek moyangnya dahulu
setelah melarikan diri dari Kerajaan Sriwijaya, merantau ke hulu
Batanghari, akhirnya tidak tahan mengembara di hutan berlayar sampai ke
Sungai Alas. Memperisteri seorang puteri Kejuruhan Batu Mbulan Negeri
Samudera Pasai, mendapatkan anak kembar tiga, yakni satu harimau, satu
umang (orang halus) dan satu lagi manusia biasa. Yang hidup sebagai
manusia biasa itulah yang menjadi asal muasal Merga Sembiring Kembaren.
Si Rimau berarti keturunan kembaran buyutnya itu, dan juga si Beru
Dayang Jerai Nguda, adalah mahluk halus itu. Untuk meyakini cerita itu,
dia bertanya kepada Datuk Rubia gande. “Jadi aku ini keturunan Simbiring
Kembaren Datuk ?” dan datuk pun mengangguk.
“Jangan kau sesali
nasib. Kematian ayah dan ibumu, serta keputusan kakekmu membuang engkau
kedalam rimba, adalah sesuai dengan perjanjian secara turun temurun.
Itu semua demi keselamatan orang banyak. Untuk itu kau harus di Uras dan
persilihi biar lepas semua kesialan dari kelahiranmu.” Kata kakek itu.
Pawang pun setuju.
Maka oleh datuk, digosoklah tubuh dan wajah
Pawang dengan getah-getah tanaman hutan sehingga bentuknya menjadi
sangat menakutkan. Disamping sebagai anti nyamuk, lintah dan pacat, juga
menghindari gigitan binatang berbisa seperti ular, lipan dan
kalajengking. Malai hari itu, Pawang sudah belajar menjadi pendekar dan
sekaligus calon Datuk yang akan mengendalikan pergaulan antar binatang
buas didalam rimba. Sesuai dengan namanya, Pawang Ternalem.
Setahun sudah, Pawang berguru kepada Datuk Rubia Gande di air terjun
Srenggani. Kini dia dilatih oleh Datuk untuk mengenali rimba dengan
segala penghuninya. Di rimba, banyak binatang yang menurut manusia tidak
baik didekati. Misalnya harimau, ular, buaya, dan binatang-binatang
lain yang kerap diandaikan mempunyai sifat yang membahayakan bagi
manusia. Tapi Pawang dalam perkembangan kedewasaannya, semakin akrab
dengan segala jenis binatang rimba. Dan pemahaman itu juga dikaitkan
dengan pengenalan akan tumbuhan liar di rimba. Contohnya, pohon
jelatang, ada juga yang mereka sebut pohon siterkem yang getahnya sangat
beracun dan dapat membuat tubuh kita hangus berborok. Lainnya misalnya
buah enau, bergetah sangat gatal. Dan kalau kita terkena getah buah
enau, obatnya adalah diusap pakai ijuk enau itu sendiri. Beribu-ribu
jenis tumbuhan yang merupakan racun sekali gus obat yang dipelajari oleh
Pawang, sehingga dia tidak pernah ragu sekalipun ular lidi yang sangat
berbisa itu menggigitnya. Tubuhnya juga sudah dikebalkan terhadap racun,
dengan meminum ramuan daun dan kulit kayu yang direbus dengan periuk
tanah. Pawang sudah menammatkan empat tingkatan yakni ilmu pencak silat,
ilmu berkomuninkasi dengan binatang rimba, ilmu pengenalan tanaman yang
bersifat racun dan obat serta ilmu filsafat atau adat istiadat hidup
bermasyarakat. Rimba belantara itu sudah menjadi rumah yang indah bagi
Pawang. Dan semua ilmu itu didapatkan karena persahabatannya yang sangat
baik dengan si Rimau, macan yang belangnya menyatu di pusar, yakni
Harimau Kembaran saudara kembar nenek moyangnya. Ilmu silatnya sudah
matang berkat ketekunannya berlatih dengan si Rimau, kadang-kadang dia
terluka oleh cakaran macan itu, tapi segera bisa disembuhkan karena
obatnya sungguh banyak di hutan.
Empat puluh purnama
sudah dijalani, tibalah saatnya berpisah dengan Datuk. Bagaimana dengan
si Rimau ? Kalau si Rimau dibawa ke kota, pastilah gempar. Orang-orang
akan ketakutan dengan kehadiran raja rimba itu. Maka keberangkatan
Pawang meninggalkan Srenggani, menuju desa Sapo Padang yakni perjumpaan
Lau Biang (Sungai Wampu) dengan Lau Simbelin. Disana ada dataran tempat
kakeknya bereta keluarga yang lain menanam kelapa, nipah, nangka dan
tanaman yang dibutuhkan sehari-hari. Disana juga ada pertapaan, tempat
kakek Pawang (Penghulu Tanah Ketangkuhen) menimba kesejatian hidup. Ada
juga Pancur Perpangiren, sebuah taman bunga-bungaan dan daun-daunan
dengan tiga buah pancuran yang berair sejuk, yang airnya kemudian
mengalir ke sungai. Daun-daunan itu disebut juga bulung-bulung
simalem-malem sedangkan bunga-bungaan itu disebut rudang-rudang simelias
gelar sebagai kelengkapan dalam upacara memberikan kehormatan kepada
nenek moyang yang telah mewariskan kehidupan.
Hampir setahun
lamanya di pertapaan itu, Pawang mendapat pendidikan lanjutan dan
pewarisan seluruh harta, ilmu, dan pengetahuan termasuk sejarah dan
pusaka Sembiring Kembaren dari Dusub Ketangkuhen yang masih tersisa. Ada
pusaka yang sangat dia dambakan yakni pusaka yang dibawa oleh ayah
Pangeran Kembar (yang kemudian menjadi Simbiring Kemaren) dari negeri
Sriwijaya, yakni Pisau Balabari dan Cap Sembilan (pisaunya berbilah dua
atau kembar dan cap sembilan berbentuk bintang dengan sembilan sudut
runcing). Pusaka itu konon dititipkan di Danau Toba, ketika mereka
berkunjung ke rumah Silalahi Raja di Silalahi dekat Paropo di tepian
Danau Toba sebagai tanda persaudaraan. (Kenyataannya, Sembiring Kembaren
sampai saat ini tetap diakui saudara oleh keturunan Silalahi Sabungan
atau bermarga Silalahi). Semua harta benda itu diterima Pawang Ternalem,
dan disimpan kembali di pertapaan. Setelah Pawang merasa cukup, maka
diapun berangkat menelusuri Lau Biang, menuju pusat kerajaan Haru.
Sampai di pusat kebudayaan itu, dia bertanya kepada pedagang garam
tentang keberadaan bibinya yang dulu pernah hendak menjemput dia dari
kampung pada masa kecil. Menurut pemberitahuan kakeknya, suami bibinya
itu adalah pedagang garam dan sirih pinang di kota Haru. Menurut
informasi dari para pedagang sirih pinang, suami bibinya itu telah
meninggal dunia. Bibinya bersama seorang anaknya bernama Ndaram pindah
ke Kerajaan kecil (kejurun) bernama Jenggi Kumawar ditepian Lau Bingei (
Sungai Bingei). Maka berangkatlah Pawang menuju Kejurun Jenggi Kumawar
menembus hutan antara au Biang dengan Lau Bingei. Begitu dia sampai di
desa itu, dia langsung menuju rumah Pengulu (raja). Ketika dia mau naik
ke beranda rumah itu, dan berhadapan dengan seorang gadis, yang sangat
cantik jelita. Begitu terpesonanya Pawang dengan kemolekan gadis itu,
sehingga ia sampai terbengong, dan lupa memberi salam. Gadis itupun
melihat Pawang terperangah, dan tiba-tiba lari tergopoh-gopoh melalui
tangga yang lain dan menjerit-jerit minta tolong.
“Toloooong, tolooooong ada hantuuuuuuuuu.” Katanya menjerit-jerit.
Mendengar jeritannya, maka keluarlah Pengulu Jenggi Kumawar, karena
ingin tahu apa sebabnya anak gadisnya menjerit-jerit. Dihadapannya
berdiri seorang laki-laki hitam rembutnya gimbal kulitnya berkerak
bersisik, memang mirip dengan hantu. Sambil meletakkan bungkusannya
Pawang memberi hormat. “Sentabi Raja, aku Pawang Ternalem, seorang
pengembara, minta ijin menumpang satu malam ini karena hendak mencari
sanak saudaraku di negeri tuan ini.” Ujarnya sambuil mengaturkan sembah
secara orang Melayu.
“Mari, silahkan naik kerumah.” Kata
Pengulu Jenggi Kumawar. Kemudian dipanggilnya su Bujang, pembantunya
untuk memanggilkan iasterinya dan anaknya. Rupanya isteri Pengulu ikut
keluar dari belakang mengejar Putri Beru Patimar, yang telah masuk ke
rumah tetangga. Tanpa kesulitan si Bujang sudah mengetahui kemana
kira-kira gadis itu pergi. Maka tak lama kemudian dia telah berhasil
membawa anak gadis bersama ibunya naik kerumah.
“Ini isteriku,
dan ini anakku namanya Putri Beru Patimar.” Ujar Pengulu memperkenalkan
anak dan istrinya. Pawang menghaturkan sembah, tapi putri Pengulu itu
tidak mau mendekat. Ditunjukkannya rasa tak senang menjurus jijik
melihat penampilan Pawang. Pada zaman itu, rumah Penghulu memang tempat
menumpang berteduh dan menginap bagi pengembara. Jadi wajar saja rumah
Pengulu didatangi tamu dari luar desa.
“Tolonglah kalian
masakkan makan malam kita. Biarlah si Bujang mengambilkan ikan di
kolam.” Kata pengulu. Maka berangkatlah si Bujang ke kolam. Rupanya
Pawang ingin tahu juga bagaimana cara si Bujang menangkap ikan, maka
merekapun berangkatlah berdua.
Sepulang dari kolam, dirumah
tinggal Putri Beru Patimar sendirian. Sedangkan Pengulu jenggi Kumawar
dengan isterinya berangkat ke desa sebelah mengadakan rembugan kenduri
besar ahir panen.
Begitu jijiknya Putri Beru patimar kepada Pawang,
sehingga dia menghidangkan makan untuk Pawang dengan Pelangkah Biang
(tempat makanan anjing peliharaan), dan malamnyapun disuruh tidur dengan
Apar-apar Lipo (tikar alas kandang ayam). Pawang menerima penghinaan
ini dengan ikhlas. Keesokan harinya, subuh-subuh dia telah ikut membantu
Bujang membelah kayu untuk kayu bakar. Kemudian, setelah diberi Putri
Beru patimar dia sarapan pagi dengan Pekangkah Biang itu, diapun
mengambil bungkusannya dan mohon pamit kepada Pengulu. Rencananya akan
pergi ke perladangan diseberang sungai, karena dia mendengar bahwa
bibinya dan saudara sepupunya itu tinggal disana. Maka berangkatlah dia,
dengan perasaan teraduk-aduk, antara kekagumannya atas kecantikan Putri
Beru Patimar, dan sakit hatinya diperlakukan seperti binatang.
Setengah hari perjalanan dari Jenggi Kumawar ke Desa Seberang Ulu,
Pawangpun sampai di rumah bibinya. Kematian pakcik yang menjadi sumber
kedukaan bibinya selama ini, tersentuh kembali dengan kedatangan Pawang.
Pawang dan Daram saudara sepupunya berusaha menghentikan tangis bibinya
yang semakin terlara-lara. “Kita harus kembali ke dunia nyata bi.
Kematian Pak Cik adalah sesuai dengan suratan tangannya. Aku dan Daram
masih bisa membantu bibi, menjaga bibi. Toh aku juga tidak mempunyai
siapa-siapa. Ayah dan ibuku bahkan tidak bisa kubayangkan bentuk
wajahnya.” Ujarnya. Si Bibi juga dapat memaklumi keadaan Pawang, dan dia
ingin Pawang dan Daram dapat menjadi saudara sejati dalam suka dan
duka, dalam untung dan malang.
Begitulah, selanjutnya Pawang
tinggal di desa itu. Orang-orang melihat Pawang sebagai orang yang buruk
rupa, tapi rajin dan baik hati. Beberapa kali Daram berkelahi dengan
pemuda kampung karena tak tahan dengan ejekan orang orang atas kejelekan
saudaranya. Tapi Pawang selalu mengingatkan bahwa kekerasan tidak akan
menyelesaikan masalah. Mendengar nasehat abangnya, Daram pun mengalah.
Tapi dia kadang-kadang tidak habis fikir, abangnya yang sakti itu kok
diam saja diolok-olok dan dipermalukan orang. Bahkan dia pernah
mempertanyakan masalah itu kepada pawang. Tetapi Pawang diam saja dan
menyimpannya didalam hati.
Sudah menjadi kebiasaan Pawang
mengambil madu dari hutan untuk dimakan dan dijual kepada pedagang yang
datang ke desanya. Semenjak kehadiran Pawang, keadaan ekonomi mereka
membaik, karena Pawang dapat memberikan penghasilan dengan mengambil
hasil hutan yang nampaknya ringan seperti madu, getah jelutung dan
kulit-kulit kayu yang dibutuhkan para pedagang.
Setahun keberadaan
Pawang di desa Seberang Hulu, tibalah musim panen. Musim panen bersamaan
dengan musim berbunga tanaman hutan, dan musim madu. Salah satu sarang
madu yang sangat terkenal adalah madu dari lebah yang bersarang pada
sebuah pohon ditepi kampung Jenggi Kumawar yang dikenal dengan nama
Pohon Tualang Simande Angin. Pohon Tualang ini memang sangat tinggi,
mencapai lima puluh depa orang dewasa. Maka setiap kali angin berhembus,
dia akan bergoyang, maka disebut Tualang Simande Angin.
Mundur
kisahnya tiga tahun kebelakang, tatkala Putri Beru Patimar berumur
tujuh belas tahun, oleh Raja Pengulu Jenggi Kumawar sudah diumumkan
bahwa siapa saja pemuda yang mampu menurunkan kepala madu Tualang
Simande Angin ke hadapan raja, maka dia berjodoh dengan Puteri Beru
Patimar. Dan musim panen yang keempatlah saat Pawang sudah tinggal
setahun di Desa Seberang Hulu. Maka diceritakannya lah niatnya hendak
menurunkan madu dari Tualang Simande Angin, sebagai modal untuk
menundukkan Beru Patimar. Mendengar kemauan kemanakannya, si bibi
sangatlah gundah hatinya. Karena mengambil madu dari Tualang Simande
Angin sama dengan menyerahkan nyawa. Sudah berpuluh puluh pemuda yang
terhempas jatuh dari pohon itu, membuang nyawa demi memperebutkan Putri
Beru Patimar yang cantik jelita itu. Lagi pula bibinya berfikir,
bagaimana mungkin kemanakannya yang jelek itu disandingkan dengan gadis
cantik puteri raja. Tapi tekad Pawang sudah bulat, dan pas ketika bulan
sudah besar, jalan desa terang benderang. Pawang mengajak Daram
berangkat menuju Tualang Simande Angin dengan membawa surdam.
“Bukannya kita bawa parang, abang malah membawa surdam?” tanya daram keheranan.
“Ayolah ikut saja, nanti disana semuanya akan menjadi mudah.” Bujuk Pawang.
Ketika sampai ketempat yang dituju, Daram merinding ketakutan, karena
begitu banyak tengkorak berserakan disekeliling pohon itu.
“Bang, kalau abang naik keatas, aku tidak berani disini sendirian.
Begini banyak tengkorak berserakan, pastilah arwahnya menjadi hantu
penasaran, bergentayangan.” Ujar Daram. Pawangpun memaklumi perasaan
saudaranya, maka diantarnyalah Daram kembali ke Kampung. Kemudian dia
kembali ke Tualang Simande Angin ditemani Si Rimau yang telah ikut
bersama Pawang saat terakhir Pawang mengambil madu di hutan. Lagipula,
sebenarnya kepulangannya kerumah karena ia lupa membawa benang arang.
Begitu Pawang sampai di pohon itu, bulan sudah naik cukup tinggi, maka
oleh Pawang dilemparkannya tulang benang arang itu keatas pohon, maka
tiada lama kemudian bibi si Beru Jerai Nguda sudah ada diatas pohon itu
sambil tertawa halus.
“Anakku, hari ini engkau memanggilku tanpa perjanjian. Ada apa yang engkau perlukan?” tanya bibi dari atas dahan Tualang.
“Bibi, aku hendak naik keatas pucuk Tualang Simande Angin ini, tolong
bibi tahan angin yang kencang ini supaya diam. Supaya aku dapat naik
dengan selamat.”
Demikianlah permohonan Pawang kepada bibinya.
Maka si beru Jerai Nguda meluncur ke pucuk pohon dan disapanyalah angin
sikaba-kaba agar berhenti sejenak. Melalui benang arang yang telah
ditarik sempai ke pucuk Tualang, Pawang memanjat dampai dahan terakhir,
mencari tempat duduk yang nyaman. Kemudian ditiupnya surdamnya dengan
penuh perasaan, terlebih-lebih teringatlah dia dengan nasibnya yang
sangat malang. Terdengarlah suara surdam itu ke seluruh penduduk Jenggi
Kumawar. Keluarlah para gadis-gadis dan ibu-ibu dari rumahnya, berjumpa
satu sama lain membicarakan kemerduan dan kesyahduan suara surdam itu.
Penuh rasa pilu dan menyayat hati.
“Siapakah gerangan yang
meniup surdam itu, terharu hatiku dibuatnya.” Kata seorang ibu kepada
yang lain. “Nampaknya dia mengalami hidup yang sangat menyedihkan.
Iramanya pun mendayu-dayu sangat menyayat hati.” Kata yang lain.
Sejenak Pawang berhenti meniup surdamnya, dipandanginya seluruh
hamparan kampunh dan sawah serta hutan dikejauhan. Ke arah Barat
terlihat awan putih dikaki langit ditimpa cahaya rempulan, terkenang
akan nasibnya ditinggalkan ayah dan ibu. Hidup terbuang, sampai di tanah
rantau Jenggi Kumawar, mendapat hinaan yang sangat menyakitkan. Tanpa
disadarinya menetes air matanya didalam keremangan sinar rembulan. Dan
bersenandunglah dia dengan penuh pilu.
“Oh ayah, ibu … yang tak
sempat kukenal, kurasakan hidupku ibarat i sebatang pohon pisang yang
hampir mengering ditengah ladang yang sudah ditinggalkan pemiliknya,
daunku compang camping diiris iris angin, pucuknya hangus dibakar
matahari, putiknya kuncup tak berisi, jantungnya mengecil menciut,
keberadaanku yang menyendiri menyesali nasib yang telah digoreskan sang
maha pencipta.”
Hampir semua ibu ibu yang turun ke beranda
rumah mengusap air mata, terharu dengan senandung yang sangat memilukan
itu. Lewat tengah malam, Pawang turun kembali, dan pulang ke rumah
bibinya. Dia tidak mengambil apa-apa dari pohon Tualang Simande Angin
itu.
Malam berikutnya, dia kembali memanjat pohon itu, dan para
gadis gadis dan ibu ibu yang mendengarkan suara surdam itu, seharian
membicarakannya, dan tentunya menunggu lagi malam berikutnya. Malam ini
Beru Patimar ikut keluar dari beranda rumahnya, ditemani beberapa gadis.
Dengan seksama mereka mendengarkan suara surdam itu, dan kembali ada
bilang-bilang yang semakin menyayat hati. Tak terasa airmata Beru
Patimar pun menggenang, mau diusap dia malu, tapi kalau dibiarkan
menetes juga nanti ketahuan. Maka dikucek-kuceknya matanya.
“Ih…nyamuk nakal, masak masuk ke mata.” Ujarnya. Tapi teman-temannya
tahu bahwa Beru Patimar juga terhanyut dengan buaian suara surdam itu.
“Bilang saja sedang terharu. Nggak usah malu.” Kata kawannya. Tapi dia
menyangkal, dan pura-pura tidak tertarik dengan suara surdam itu. Merasa
kalah dari teman-temannya maka diapun cemberut dan masuk kedalam rumah.
Tapi hatinya bertanya-tanya, siapa kira-kira yang sanggup menaiki
Tualang Simande Angin itu ? Apakah jodohku sudah dekat ? Begitulah
hatinya berkecamuk, dan malam itu dia tidak tertidur sampai subuh.
Sudah lima malam berturut-turut, Pawang meniup surdamnya diatas pohon
Tualang Simande Angin. Dan tentang kejadian itu sudah terdengar ke
seluruh pelosok kampung bahkan sampai ke kampung-kampung disekitar
Jenggi Kumawar. Semua orang membicarakan tentang janji Pengulu Jenggi
Kumawar. Siapa gerangan orang yang akan menurunkan madu lebah dari pohon
Tualang Simande Angin. Beru Patimar pun sudah mulai gelisah, ingin
mengetahui seperti apa sosok orang yang akan menjadi calon suaminya itu.
Maka ketika malam keenam tiba, dia bersama gadis-gadis lain dan
beberapa ibu, sambil bercanda di beranda rumah Pengulu, menanti suara
surdam yang sangat memilukan itu. Dan sebagaimana malam sebelumnya,
suara surdam itupun mulai terdengar. Namun suara surdam itu malam ini
berubah menjadi irama alunan perang. Rupanya Pawang sedang memerintahkan
beberapa ekor lebah mendatangi rumah Pengulu, dan lebah itu telah
terbang menuju beranda rumah Pengulu, serta merta menyengat bibir Putri
Beru Patimar bagian atas. Kontan Beru Patimar menjerit-jerit kesakitan,
dan merekapun kebingungan melihat jerit rintih Beru Patimar. Menjelang
tengah malam, suara surdam itupun berhenti. Pengulu dengan isterinya
sibuk mencari obat penawar bisa sengatan lebah Tualang Simande Angin.
Tatakala subuh tiba, rintihan Beru Patimar mulai melemah. Bibirnya
membengkak sampai ke kelopak matanya. Wajahnya begitu menyedihkan dan
menggelikan. Sungguh tidak ada terlihat bekas wajah yang cantik tapi
judes itu. Yang terlihat hanya wajah kesakitan dengan raut wajah
membulat seperti balon. Setiap kali teman-temannya yang datang menjenguk
tertawa geli melihat bentuk wajahnya, dia pun makin jengkel dan putus
asa. Beberapa tabib dan dukun telah diundang, tapi pengaruh racun sengat
lebah itu tidak bisa segera dihilangkan.
Maka malam ketujuh,
malam bulan purnama, tibalah saatnya Pawang menurunkan kepala madu lebah
Tualang Simande Angin. Dipancungnya sarang lebah itu sepertiga dari
bawah, yang konon berisi lebah berwarna putih susu. Kemudian besok pagi
disuruhnya si Daram megantarkan kepala madu itu berikut carangnya ke
rumah Pengulu Jenggi Kumawar. Semula Beru Patimar menyangka si Daramlah
yang menurunkan kepala madu itu. Tapi mendengar percakapan dengan ayah
dan ibunya, barulah dia tahu bahwa ada orang lain, yakni saudara sepupu
si Daram. Si Daram menjanjikan besok senja seluruh madu dari Tualang
akan diturunkan dan akan diantar ke rumah Pengulu sekali gus menunaikan
janji Pengulu tentang perjodohan anaknya Beru Patimar. Disamping itu, si
Daram juga menyampaikan pesan bahwa orang yang menurunkan madu ini akan
membawa obat atas penyakit Beru Patimar. Beru Patimar sendiri karena
malu, tidak mau menjumpai si Daram di beranda rumah.
Dia merasa
senang sekaligus kebingungan dengan keadaannya. Bagaimana dia besok
menjumpai sang teruna itu, dengan wajah bengkak dan bibir monyong
begitu.
Keesokan harinya, berangkatlah Daram dengan dua orang
pemuda desa Seberang Hulu, diiringi Pawang Ternalem, membawa madu
Tualang Simande Angin ke rumah Pengulu. Disana tua-tua adat telah
menunggu demikian juga penduduk sekitar rumah pengulu. Maka
diserahkanlah (enem tongkap tengguli lebah ras dua ndiru cambang
aringgenang) madu itu dalam enam bumbung bambu, serta cangkang madu dua
gugus, sebagai tanda pemenuhan persyaratan untuk melamar Putri Beru
Patimar. Maka tua-tua kampung itu bertanya : Ndigan reh sangkep
nggeluhndu, entahpe kin anakberundu guna ngarihken perjabundu ras Beru
Patimar (Kapan utusan keluargamu datang untuk membicarakan perihal
pelamaranmu terhadap Beru Patimar). Maka jawab Pawang, berhubung karena
dia anak yatim piatu, sementara kakeknya tinggal ditempat yang sangat
jauh, maka untuk urusan melamar akan dilakukannya sendiri, dan yang
mewakili orang tua adalah gurunya Datuk Rubia Gande. Kemudian dia minta
dapat bertemu dengan Beru Patimar untuk mengobati sakitnya. Pada awalnya
Beru Patimar sangat keberatan untuk keluar, tapi karena rasa ingin tahu
tentang siapa pemuda yang akan menyuntingnya itu, dia pun keluar.
Begitu dia melihat pemuda itu, diapun teringat dengan perjumpaannya
setahun sebelumnya. Maka diapun menolak mentah-mentah. Dia tidak mau
dipertunangkan dengan manusia yang tampangnya lebih buruk dari hantu.
Tapi janji raja harus ditepati, sebab kalau raja sudah tidak menepati
janjinya. Bagaimana dengan rakyat. Maka dengan berat hati, keluarlah
Beru Patimar dari kamar, menghadap laki-laki buruk rupa itu. Maka Pawang
pun mengusapkan telapaknya ke wajah gadis itu, menyerap racun lebah
yang telah menyengatnya, dan sesaat mulailah kempes, dan rasa nyeri yang
berdenyut berangsur hilang. Lepas magrib, Pawang minta pamit, dan
menjanjikan sebulan kedepan, dia akan haduir bersama gurunya untuk
menuntaskan rencana perkawinannya. Beru Patimar telah sembuh dari sakit
sengat lebah, dan mengenang jasa pemuda itu dalam menyembuhkan
penyakitnya, senang juga hatinya. Namun jika dia teringat dengan wajah
buruk pemuda itu, rasa kecewanyapun semakin membekas.
Sehari
setelah penyerahan madu itu, Pawang berpamitan kepada bibinya, untuk
segera menuju Srenggani, melaporkan rencana perkawinannya. Maka malam
itu juga dengan menunggangi si Rimau, dia segera sampai di pertapaan.
Dijelaskannya semua duduk perkara perjodohan itu, yang semula dilatar
belakangi penghinaan yang amat sangat. Tapi Datuk Rubia Gande tidak
menunjukkan rasa gembira. Wajahnya mendung dan sangat-sangat murung.
Melihat wajah gurunya begitu murung, Pawang menjadi tegang, dan cemas.
“Apa kiranya sebabnya Datuk merasa gundah. Apakah memang aku tidak
diijinkan mempersunting anak pengulu itu ?” tanyanya. “Bukan itu
masalahnya. Perhitungan hari kelahiranmu dengan gadis itu tidak serasi.
Halangannya besar. Besar sekali. Karena kalau dipaksakan perkawinan ini,
usianya tidak lama . Artinya salah satu diantara kamu akan mati.” Ujar
Datuk. “Apakah tidak ada jalan keluar Datuk ?” tanya Pawang cemas.
“Ada, kau harus diuras, pulahi kahul, persilihi. Untuk semua ini membutuhkan waktu satu musim.” Ujar Datuk.
“Biarlah Datuk. Saya bersedia melaksanakan itu semua.” Kata Pawang.
Maka esok harinya Pawang disuruh mengumpulkan bahan penyamak agar semua
getah-getahan dibadan dan rambutnya dilepaskan. Siang harinya Pawang
dibawa ke pancuran di tepi Srenggani, dan oleh Datuk dicucilah semua
samak biring yang melapisi kulit Pawang demikian juga dengan rambutnya,
sehingga rambutnya semula gimbal kini halus terurai dan kulitnya yang
semula hitam legam telah berubah menjadi sawo matang. Maka Pawang
Ternalem telah berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Sesuai perintah Datuk Rubia Gande, maka berangkatlah Pawang menuju rumah
kakek di kampung Pertumbuken Lau Mbelin untuk memohon doa restu dan
persiapan upacara sebagaimana diperisyaratkan menurut pembacaan kalender
( pengoge wari sitelupuh, paka sisepuludua). Pertemuan dengan kakek dan
nenek tentulah sangat mengharukan. Bahkan berita tentang turunnya madu
Tualang Simande Angin pun sudah sampai ke kampung dibawa oleh Perlanja
Sira. Maka berkumpullah Sangkep Nggeluh Pawang Ternalem, sesuai aturan
adat Merga Silima Tutur Si Waluh, Rakut si telu, Perkade-kaden
Sepulusada tambah sada). Dipersiapkanlah seserahan kepada keluarga
Pengulu Jenggi Kumawar dibawah pimpinan Pengulu Jandi Melasang. Inti
dari perutusan ini adalah membawa dua khabar penting yakni, pertama
bahwa Keluarga Pawang Ternalem secara resmi melamar Beru Patimar menjadi
calon isteri Pawang. Yang kedua, bahwa acara resmi perkawinan
dilaksanakan setelah satu musim kedepan, karena Pawang ernalem harus
mengikuti ritual-ritual demi kelanggengan perkawinannya kelak.
Kedatangan Pengulu Jandi Melasang, pada dasarnya sudah diterima oleh
kaum Kerajaan Jenggi Kumawar. Namun, untuk pengesahannya, Pawang harus
ikut mengabdi di Rumah Pengulu sampai hari pernikahan tiba, untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini disebut juga dengan
Ngian-ngiani (berjaga-jaga).
Untuk kegiatan Ngulak akan dilakukan
pada hitungan Paka Arimo (bulan Harimau ) warina Nggara Enggo Tula, yang
kira-kira masih ada empat bulan sejak pengantaran lamaran itu. Karena
itu, akhirnya Pawang mengalah dan berangkat kembali ke Jenggi Kumawar.
Ketika sampai di rumah Pengulu, semua gadis-gadis di mengintip dari
jendela rumah panggung masing-masing, dan desa pun menjadi gempar karena
Pawang Ternalem yang sebelumnya terlihat sangat buruk rupa, sekarang
telah datang kembali dengan penampilan yang begitu menawan. Beru Patimar
pun tidak mampu menahan gemuruh hatinya, dan ingin segera menjumpai
Pawang.
Ketika malam tiba, Pawang ditemani Daram saudaranya
berkunjung ke rumah Pengulu. Dan Pengulu mempersilahkan Pawang untuk
memberikan nasihat-nasihat dan saling berdialog (siajar-ajaren) satu
sama lain. Ini diperlukan agar keduanya kelak sudah memiliki saling
pengertian dan saling mengenal lebih dalam. Terlebih lebih kedatangan
lamaran Pawang tidak dari Ture (beranda/melalui proses pacaran) tapi
dari Rumah (melalui proses sejenis perjodohan ).
“Impal, aku
jelma so begu enggo reh.” (Gadis, aku manusia si mirip hantu sudah
datang), kata Pawang sambil duduk di tikar. Beru patimar bersimpuh
disudut lain. Mendengar suara Pawang yang bergetar, Daram diam-diam
surut turun dari beranda dan turun ke Jambur tempat anak muda kampung
berkumpul. Biar mereka punya privasi yang cukup pikir Daram.
“Ula bage nindu kaka. Aku pe erkadiola kal aku perbahan nggo sempat
selpat rananku la mehuli.” (Janganlah berkata begitu kakanda, karena
akupun sangat menyesali diri atas kelancanganku tempo hari). Kata Beru
Patimar menyesali tingkah lakunya setahun yang lalu. Maka Pawangpun
menceritakan riwayat hidupnya, didengarkan Beru Patimar dengan seksama.
Semakin larut malam merayap, semakin dalam rasa simatiknya terhadap
pemuda itu, yang hidup penuh derita, penuh perjuangan dan penuh
kesabaran. Dan satu hal yang paling disesalinya adalah sikapnya yang
begitu sombong (bhs karo : megombang), sampai mengatakan orang hina
seperti pawang tidak layak tidur di tikar, maka digantinya pakai tikar
alas kandang ayam. Kalau misalnya dia disuruh menetapkan apa hukuman
atas kesombongannya, dia sendiri merinding bulu romanya memikirkannya.
Tapi Tuhan maha kasih, Pawang adalah orang sabar dan lapang hati.
Pertemuan malam itu membuat tekadnya semakin kuat untuk mempertahankan
perjodohannya dengan Pawang.
Pawang dan Daram sekarang bekerja
membuka lahan baru atas ijin Pengulu. Setelah pondok kebun selesai
didirikan, dan tebasan pertama dan pembakaran telah selesai, Daram
berpamitan kepada Pawang karena dia juga harus membantu Ibunya di desa
Seberang Hulu. Tinggallah kin Pawang sendirian merambah belukar itu
untuk dijadikan perkebunan kelapa dan memelihara sebagian nipah baik
untuk atap rumah maupun untuk daun pembungkus tembakau. Semua ini
tentunya untuk masa depannya dengan Beru Patimar . Biasanya menjelang
tengah hari Bujang datang mengantar nasi dari rumah Pengulu Sedangkan
untuk sarapan pagi dan makan malam dibuat sendiri oleh Pawang dengan
perbekalan yang telah mereka persiapkan dengan Daram waktu awal merambah
hutan.
Pada satu hari, karena Bujang mendapat pekerjaan
mengawal Pengulu sesuai jabatannya sebagai Upas, maka oleh Istri
Pengulu, disuruh Beru Patimar mengantar nasi ke kebun. Pawang sudah
mengetahui hal itu dari Bujang sehari sebelumnya. Mengetahui akan
kedatangan Beru Patimar, maka timbullah niatnya untuk menggoda gadis
idamannya itu. Maka jalan menuju ponduknya ditebarnya dau-daun hutan
yang beracun dan gatal seperti daun jelatang, daun siterkem dan rengas.
Pawang menyadari kedatangan Beru Patimar, karena oborolan mereka
terdengar ditepian hutan. Memang betul, Beru Patimar ditemani oleh dua
orang bibinya (saudara perempuan Pengulu).
Ketika melihat
banyak sekali daun jelatang disepanjang pematang menuju pondok Pawang,
maka salah satu dari bibi itu berteriak memanggil Pawang.
“Pawang, kami sudah datang dengan Beru Patimar mengantar makan siangmu, jemputlah kami kesini.” Teriak bibi Beru Patimar.
“Masuk sajalah, makanannya letakkan di pondok.” Sahut Pawang.
“Tapi daun-daun ini sangat gatal Pawang. Kami takut kena getah dan miangnya.” Kata seorang bibi.
“Biar si Beru saja yang masuk. Kalau dia cinta, dia tidak akan terkena
penyakit gatal. Tapi kalau dia pura-pura cinta, pastillah badannya
gatal-gatal semua.” Kata pawang.
Maka kedua bibi itu menyuruh
Beru Patimar masuk. Beru Patimar ragu, melihat daun jelatang yang begitu
berbisa, dia ngeri. Belum menyentuh saja, kulitnya serasa sudah gatal
semua.
“Abang Pawang jemputlah aku, aku takut.” Ujarnya gemetar
mencari pijakan yang tidak terkena daun jelatang. Keringatnya menetes
disekujur tubuhnya.
Begitu dia sampai dipintu ponduk, dilihatnya
Pawang sedang membakar ubi. Pawang menggaitnya untuk masuk, tapi Beru
patimar tetap berdiri di pintu dengan bungkusannya.”Cepatlah, bibi
menunggu disana.” Ujarnya. Jantungnya bagai berpacu dengan suara
binatang hutan yang menjerit-jerit tengah hari. Tapi Pawang masih
tersenyum, dilepaskannya bulang-bulang (kain pengikat kepala), dan
dikibaskannya rambutnya jatuh dibahu.
“Kau tidak ingin tahu, sampai dimana bakal batas kebun kita?” tanya Pawang.
“Sekuat satu orang laki-laki bekerja. Karena aku tidak pandai
berkebun.” Ujar Beru Patimar. Hatinya berbunga-bunga mendengar
perencanaan kebun itu. Kebun kita berdua, begitulah berngiang-ngiang di
telinganya. “Antar aku keluar, aku takut daun gatal ini.” Ujar Beru
Patimar.
“Itulah, ujianmu tidak lulus. Mengapa kamu merisaukan daun
berserakan ini. Bukankah dengan seikat ranting semak kamu bisa
menyingkirkannya?” ucap Pawang. Lalu diambilnya dua batang perdu, diikat
jadi satu, dipotongnya ujungnya menjadi rata, kemudian disapukannya ke
jalan masuk pondok itu, sehingga semua daun telah tersingkir. Beru
Patimar merasa sangat tolol, ketika dilihatnya pemecahan masalah yang
dibuat Pawang sangat sederhana. Tapi dia hanya melengos, dan bergegas
menemui bibinya. Sebenarnya kedua bibinya itupun tahu hal tersebut. Tapi
sesuai pesan Pengulu, Beru Patimar harus didik lebih dewasa dan lebih
bertanggung jawab. Malam itu Beru Patimar bermimpi jumpa Pawang. Dalam
mimpinya, terhampar daun jelatang yang sangat luas, dan Pawang
menggendongnya menyeberangi daunan yang gatal itu. Beru Patimar
merangkul pemuda itu dengan mata terpejam. Ia tertidur sambil tersenyum.
Sudah empat bulan Pawang bekerja keras membuka hutan. Nampaknya lahan
yang akan dirancangnya sebagai kebun sudah cukup. Lima puluh rante
sebagai kebun kelapa, lima puluh rante kebun durian dicampur rambutan
dan duku, sepuluh rante untuk pertanian huma untuk ditanami padi,
ubi-ubian dan pisang. Lalu sebagian rawa kira-kira sepuluh rante untuk
bertanam nipah dan akan dibuatkan kolam ikan atau tambak. Masa
pembakaran masih ada dua bulan lagi, sehingga , Pawang Ternalem
berpamitan kepada Pengulu Jenggi Kumawar untuk pulang ke Srenggani.
Karena sesuai janjinya dengan Datuk Rubia Gande, dia akan menjalani
ritual Ngulak dan Upacara Ngombak. Karena bulan sudah naik sesuai
tanggal yang telah dijanjikan. Malam itu, Pawang juga berpamitan kepada
Putri Bru Patimar. Pawang meninggalkan bulang-bulang (ikat kepala)
sebagai tanda perikatannya, dan Bru Patimar juga menyerahkan selendang
sebagai tanda pengingat, selama masa perpisahan. Tidak banyak yang
dikatakan Pawang kecuali menjelaskan bahwa penundaan ini semata-mata
demi kebaikan masa depan mereka. Berat rasa hati Bru Patimar untuk
melepaskan sang kekasih, namun bibirnya serasa kelu, kecuali butir air
mata yang jatuh berderai dipipinya. Pawang menghilang ditengah
kegelapan, mata Bru Patimar menerawang langit penuh bintang. Bulan sabit
tipis sekali, terlihat mengintip diujung atap beranda. Ada genderang
yang bertalu-talu didalam dadanya, tapi juga ada jerit yang sangat dalam
dilembah hati seorang wanita yang tengah dilanda cinta.
Diambilnya pandan anyaman, lalu dia duduk diberanda sambil menganyam
tikar putih. Enam bulan terakhir ini dia sungguh sungguh telah berubah.
Dia belajar memasak, dia belajar bertenun, dan juga belajar menganyam
sumpit dan tikar. Dan yang mengubah segalanya adalah cinta. Jemarinya
yang lentik mulai mengait dan menepis pandan, sambil bersenandung.
Bagi si lit bagi si lahang
Sora erlebuh man bangku
Kepe warina langa terang
Sanga tertunduh kal aku
Ije minter medak mata ngku
Iluh pe mambur bas ayongku
Kupernehen ku kawes kemuhun
Ise pe la lit kuidah
Ije kuinget arih-arihta sindube pe lolo
Nambah nambahi ate megogo
nde uga denga kal kubahan bangku turang
Megati jumpa ningen lanai bo banci sayang kusayangi
Enda kuinget kal kam si tiap berngi jadi kal ateku
Nambah nambahi ate mesui
(Terjemahan bebas)
Antara ada dengan tiada
Sayup sayup suara yang memanggilku
Ternyata hari masih malam
Saat tertidur ragaku
Lalu ketika aku terjaga
Terasa air mata berlinang di pipiku
Kupalingkan wajah ke kiri dan kekanan
Tiada ada siapa pun jua
Menyentuh ingatanku tentang cinta kita yang terbengkalai
Menambah luka dalam hatiku
Duhai apa lagikah yang dapat kulakukan
Sebab untuk bersuapun semakin sulit
Walau ingatanku hanya dikau sepanjang malam
Membuat diriku semakin terluka
Malam semakin larut dan binatang-binatang malam dihutan semakin merdu
meneriakkan lagu-lagunya. Ngilu perasaan Bru Patimar mengenang kisah
kasihnya. Kekasih pujaan telah berangkat untuk meretas jalan pertemuan
sejati. Berapa lama lagikah dia harus menunggu Pawang pulang. Dan
jikalaulah perjuangan mengusir segala halangan itu tidak berhasil, ngeri
rasanya memikirkan hal-hal yang tidak menguntungkan itu.
“Ya
Tuhan, berikan perlindunganmu kepada Kakanda Pawang Ternalem, agar semua
rintangan itu dapat dia singkirkan, segeralah Dikau kembalikan dia
kepadaku” begitulah bisik Bru Patimar dalam doa tengah malamnya.
Digulungnya tikar yang telah separuh jadi, dia beranjak ke rumah untuk
meneruskan lamunanya bersama bantal di Pulau Kapuk.
Sementara
itu, perjalanan Pawang Ternalem menuju Srenggani sudah hampir sampai.
Suara kokok ayam hutan menandakan subuh hampir tiba. Langit di Timur
merah membara. Pawang dapat menatap Selat Malaka dari kejauhan. Laut itu
terasa teduh dan sangat luas. Seteduh dan seluas hati manusia yang
penuh keyakinan.
Srenggani masih seperti dulu. Dengusan air
terjun yang tidak menghiraukan perjalanan waktu. Ranting-ranting kering
berderak patah terbanting ke tanah. Daun-daun berguguran menumpuk lapis
demi lapis dipermukaan tanah, lembut terpijak kaki Pawang. Suara burung
Jungkararip diatas pohon yang tinggi, menyambut pagi hari ini. Hari-hari
penuh dengan tugas-tugas baru.
Maka berangkatlah Pawang
Ternalem dengan dua orang pengantar bersama beberapa orang anak beru ke
rumah Pengulu Jenggi Kumawar untuk menjemputnya. Peristiwa ini didalam
urut-urutan adat disebut baba nangkih. Maka dengan berpura-pura tidak
tahu Pengulu Jenggi Kumawar dengan istrinya pergi ke rumah saudaranya di
kempung seberang sungai, dan ditinggalkannya di rumah panggung saudara
perempuannya, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa Bru
Patimar bersama dengan Pawang Ternalem. Rombongan itu hanya sebelas
orang, dan subuh mereka berangkat dari Jenggi Kumawar, dan ketika
maghrib baru tiba di desa Lau Simbelin, kampung kakek Pawang. Disana
sudah menunggu sanak saudara Pawang Ternalem, termasuk ibunda si Ndaram
saudara ibunda Pawang Ternalem. Upacara penyambutan dilaksanakan secara
sederhana, yang diakhiri dengan makan malam, (tata upacara ini akan
dibuat posting tersendiri).
Pada saat makan malam ini, Pawang
dengan Bru Patimar di suruh duduk berdua didalam kamar, dan disuguhi
masakan ayam yang telah diolah sedemikian rupa, lengkap dengan nasinya,
dalam satu piring. Pertama, keduanya disuruh saling menyuap dengan
sejemput nasi, secara bersamaan. Kemudian diawasi oleh bibi Pawang,
mereka disuruh makan sekenyang-kenyangnya. Beberapa nasihat yang
diucapkan bibi itu antara lain, jangan gigit tulang ayamnya, jangan
makan sayapnya, supaya kamu jangan suka kluyuran, jangan makan cekernya,
supaya rejekimu jangan seperti rejeki ayam, mengais dulu baru makan.
Yang paling dianjurkan kepada Bru Patimar adalah makan telur rebusnya
yang memang diletakkan ditengah-tengah maskan itu. Supaya menjadi ibu
yang baik, seperti induk seekor ayam, biar anaknya berbulu putih,
berbulu hitam, lurik lurik atau bintik bintik, semua dinaunginya dibawah
sayapnya. Pawang disuruh makan paha ayam, biar kuat bekerja, kuat
menopang harga diri dan martabat keluarga. Kalau hatinya, juga jangan,
supaya tidak perate-ate (manja dan mau menang sendiri), tapi hati
ayamnya berikan saja kepada bibik-bibik itu. Mereka senang karena daging
hati ayam lunak, dan memang itu yang enak bagi orang yang sudah ompong
he..he..he..
Selesai makan, mereka disuruh istirahat didalam
kamar, dan bibi-bibi itu bergegas mengeluarkan piring, mangkok tempat
cuci piring dan gelas minuman. Tapi kemudian disorongkan kedalam minuman
berupa tuak dalam bumbung bambu. Trus kamar itu dikunci dari luar.
Mereka berdua berpandang-pandangan. Ada celah dinding papan itu untuk
mengintip, dan nampak keluarga Pawang Ternalem sedang bercakap-cakap
kesana kemari tidak tentu topik. Adang-kadang saling berdebat, bercanda
ejek mengejek, dan tertawa bersama-sama. Pawang masih mengenang pesan
gurunya, jangan terlalu hanyut dengan perasaan. Kamu harus mampu menahan
diri. Sementara saudara sepupunya, sehari sebelum mereka berangkat ke
Jenggi Kumawar, ketika mandi di pancuran mengatakn, begitu sampai nanti
di rumah, kamu harus mengambil kegadisannya, supaya tidak ada lagi
ikat-ikat bathin dengan laki-laki manapun, entah itu yang mencintai
apalagi yang dicintai Bru Patimar selain kamu. Diliriknya Bru Patimar
yang sedang bersujud dihadapannya, merenung manatap jalinan tikar
pandan. Lalu diangkatnya wajahnya menatap Pawang dan tersenyum.
“Nggak diminum air niranya bang?” tanya Bru Patimar.
“Sebentar lagi, perutku masih kenyang.” Jawab Pawang sambil tersenyum.
Ditopangkannya tangannya ke dagu, dan ditatapnya mata Bru Patimar
dalam-dalam. Pawang masih tersenyum, dan diusapnya keringat di dahi
pengantinnya.
Gadis itu tertunduk, kemudian menatap Pawang
lagi. Kemudian dia mengangguk. Nampaknya anggukan itu tidak untuk Pawang
Ternalem tapi untuk dirinya sendiri. Dia percaya, bahwa kembang yang
selama ini dijaganya dengan sebaik-baik kemampuannya, yang sudah dalam
dua tahun ini diyakininya untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Pawang
Ternalem. Ya, memang sekaranglah waktunya.
Maka ditengah senda gurau
sanak keluarga diluar, mereka memadukan kemurnian jiwa, bagai lagu
seruling yang mengalun lembut dari lembah. Pawang menapak dari kaki
bukit, mendaki lereng sampai kelembah yang lembab dan berembun, dan
dalam pendakian yang samakin menguras tenaganya langkah-demi langkah
terayun sambil merayap di sela bukit kemuning yang berubah rona merah
memayang dengan geraian rambut diubun-ubun berayun ayun bagai selendang
berkibar disaput fajar. Rona pelangi memancar dari bola matanya, beralun
tarian naga bersahut-sahutan bagai alu bertalu-talu menumbuk lesung,
dan pias-pias padi terpancar dari bibir lesung tersentuh. Riak-riak yang
semula memercik riang, berubah jadi ombak mengelombang timpa menimpa
dalam badai yang semakin dahsyat. Jiwa mereka luluh lebur jadi satu
dalam keheningan dan kesenyapan.
“Engkau belum membayar utang
adat kepada ayah bundaku dan sanak kadang orang beradat, ingat itu dan
serahkan bukti persembahanku itu kepada keluargamu, supaya tahulah
mereka melunaskan hutangnya.” Kata Bru Patimar kepada Pawang. Pawang
mengangguk dan mencium kening istrinya. Lalu diketuknya pintu kamar yang
terkunci dari luar itu, sedikit terbuka, disorongkannya genggaman kain
tenun putih itu, disambut sang bibi dari luar, dan pintu kamar terkunci
kembali. Besok pagi kain itu dengan uang emas atau perak akan diantar ke
rumah Pengulu Jenggi Kumawar, bahwa pernikahan telah dilaksanakan
dengan selamat, dan utang adat akan dibayar setelah selesai musim panen.
Istrinya menatap wajah yang terpejam itu. Dalam hati dia berkata,
apapun kelak yang terjadi, aku akan mengikutimu, kemanapun, dalam
keadaan apapun, sampai maut memisahkan kita. Sementara Pawang berbisik
dalam hatinya, Bunda, aku sama sekali tidak mengenal engkau, karena
pertemuan kita hanya selama empat hari, maka kini aku telah menemukan
gantimu, restuilah kami dari tempat peristirahatanmu, biarlah keluarga
kami kelak menjadi keluarga sebagaimana pernah ada dalam cita-citamu.
Dan ketika dia membuka matanya, dilihatnya wajah Bru Patimar bersinar
bagai rembulan.
Keesokan harinya, ketika cahaya matahari
menembus lubang dancelah dinding kamar, Pawang Ternalem terjaga dan
terbangun. Tapi Bru Patimar sudah tidak ada disisinya. Dan ketika dia
keluar dari kamar, dilihatnya istrinya sudah pulang dari pancuran, dan
tengah menyisir rambutnya yang panjang. Pawang tersenyum dan bergumam
dalam hati, dia telah ada disebelah diriku. Lalu diapun bergegas ke
pancuran mandi dan mengikrarkan janji hati, untuk berjuang bagi sebuah
keluarga bahagia.
Kamus:
Surdam : sejenis seruling terbuat dari bambu
Bilang-bilang: nyanyian yang isinya mengenai derita hidup / semacam pengaduan nasib malang kepada Tuhan.
Tongkap : Bumbung bambu biasa untuk menampung air nira.
Ndiru : Alat penampi, Niru, Tampah (terbuat dari anyaman bambu).
Sangkep nggeluh : Unsur-unsur dalam adat, keluarga.
Anak beru : Bagian pesuruh secara adat.
Diuras : Diupah-upah, mandi pembuang sial.
Pulahi Kahul : Buang nazar, berupa pelepasan hewan di tempat
tertentu/keramat sebagai pembayar roh yang hidup. Biasanya yang dilepas
adalah ayam jantan putih atau kambing putih.
Persilihi : Upacara melepaskan semua penghambat keberuntungan, buang sial..... Sibar em bas aq nari,- "bujur"