| ||||||||
Sebuah laporan yang ditulis di masa kolonial mengatakan, pandai
emas dari Karo merupakan pandai emas terbaik di Nusantara. Dia
menambahkan, penggalian emas telah lama dilakukan oleh orang-orang Karo
sendiri. Salah satu bekasnya adalah Deleng Pengkuruken di perbatasan
Kabupaten Karo dengan Kabupaten Langkat.
Saya
tertarik pada laporan itu. Apalagi saya pernah mendapat sebuah proyek
memimpin penelitian tentang berbagai perhiasan yang terbuat dari logam
di semua suku di Sumatera Utara. Bekas-bekas kehebatan Karo dalam
pertukangan emas ini masih terlhat sampai sekarang. Kayaknya tidak ada
toko/ tukang emas di Kabupaten Karo yang diusahai orang lain selain oleh
orang-orang Karo sendiri. Di Medan, selain orang-orang Tionghoa,
sepertinya hanya orang-orang Karo yang memiliki toko emas. Di Binjai dan
Siantar banyak orang Karo yang berusaha toko emas.
Dua
tahun lalu, saya melihat baliho raksasa di beberapa tempat di Medan
yang mengiklankan sebuah toko emas Karo. Pemilihan Gubsu dan Presiden RI
saja tak pernah memasang baliho sebesar itu.
Sewaktu menelusuri sejarah emas di Karo, saya mendapat informasi dari beberapa guru (dukun Karo) bahwa di Gunung X terkandung emas yang lumayan banyak. Lalu, saya tanyakan kepada mama yang sekarang Kepala Pusat Sumber Daya
Geologi
itu (Calvin Karo-karo Gurusinga) apakah memang benar ada kandungan emas
di Gunung X itu. Dia agak tersontak mendengarnya (Saat itu mama ini
baru saja menyelesaikan master dari Inggris dan dia mengunjungi impalna,
ayah saya, ke rumah di Medan).
"Ja nari tehndu?" katanya membalas. Aku katakan, informasi dari beberapa guru.
"Benar, tapi masih terlalu muda untuk ditambang," katanya.
Yang menarik bagi saya bukan emasnya. Hehehehe ...... Kok guru-guru Karo bisa tau ada kandungan emas?
Masih
berdasarkan feeling (belum didasarkan pada perhitungan ilmiah sama
sekali), tapi bukan pula asal feeling (karena berdasarkan banyak
pengamatan langsung), saya menduga pembuatan gua-gua umang ada kaitannya dengan pencarian emas di masa pre kolonial.
Perlu kita perhitungkan, dalam banyak mitos Karo, dikatakan bahwa orang-orang Karo mempelajari beberapa "tradisi modern" dari umang. Menurut mitos Raja Bekelewet, umanglah
yang mengajari orang Karo beralih dari pertanian menanam secara setek
ke pembudidayaan biji (seperti halnya menanam padi). Dalam kepercayaan
orang-orang lama yang sering saya dengar di masa kanak-kanak, orang yang
bertemu umang (babaken umang) biasanya diberi oleh-oleh emas ketika dilepas pulang.
Saya agak berbeda posisi dengan Kaka M.U. Ginting dan impal Kikin Tarigan dalam membuat hipotesis mengenai umang. Seperti halnya beberapa peneliti di masa kolonial (contohnya J.H. Neumann), M.U. Ginting dan Kikin menduga umang sebagai sisa-sisa manusia purba yang terdesak oleh kedatangan manusia-manusia modern seperti kita.
Boleh jadi mereka benar, tapi yang menjadi ganjalan bagi saya, mengapa orang-orang Karo dan mitos-mitosnya menganggap umang
sebagai sumber peradaban modern? Jangan lupa asal usul rumah adat Karo
yang katanya adalah Rumah Si Pitu Ruang. Menurut mitosnya, Rumah Si Pitu
Ruang dibangun oleh para umang sebagai emas kawin ketika Raja Umang
mengawini putri Sibayak Ajinembah bernama Beru Buaten (yang menjadi asal
usul nama Deleng Sibuaten). Sebelum ada Rumah Si Pitu Ruang,
orang-orang Karo konon tinggal di barung-barung ('farm houses').
Benar atau tidak, menurut kepercayaan lama Karo, umang
memiliki pengetahuan, teknologi dan peradaban lebih tinggi dari
orang-orang Karo. Dari sisi itu, saya menjadi tertarik pada konsep
sastra klasik tentang Noble Savage (silahkan lihat Wikipedia tentang Noble Savage).
Satu hal lagi yang istimewa, saya menemukan gua-gua umang
hanya di wilayah tradisional Karo (Langkat, Deliserdang, Kabupaten
Karo, Kabupaten Simalungun dan kemungkinan besar di Taneh Pinem
Kabupaten Dairi). Saya sudah pernah cari ke Aceh Tenggara, Tapanuli,
Nias dan Sumatra Barat dengan menanyai orang-orang desa. Konsep homang memang ada di Simalungun, Toba dan Mandailing, tapi gua umang
yang jelas-jelas buatan tangan manusia (dipahat dan berukir) itu hanya
ditemukan di wilayah tradisional Karo. Setelah memeriksa literatur,
rasanya tidak terlalu takabur mengatakan, hanya di Karo, tak ada di
tempat lain di dunia ini gua umang.
Hal
seperti itu sudah sering saya ceritakan kepada banyak orang Karo dan
pernah saya tulis satu halaman dengan foto besar sekali di cover
belakang Tabloid SORA SIRULO, tapi kok sepertinya tak ada orang Karo
tertarik. Serasa kandas dan dada sesak. Sama halnya dengan seruan-seruan
kami tentang Benteng Putri Hijau.
Kacar-kacar kucur-kucur, manjar-anjar usur-usur, arih. :D
Juara R. Ginting
|
Kamis, 20 Desember 2012
Umang Suka Memberi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Izin share Kila ya....
Posting Komentar