Laman

Tampilkan postingan dengan label suami istri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label suami istri. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Agustus 2009

PERTENGKARAN SUAMI ISTRI

Delapan rumahtangga tinggal dalam satu bangunan dan tiap rumahtangga mengemban satu fungsi adat. Besar kemungkin, hanya ada dalam budaya Suku Karo. Sehingga rumah hunian bersama itu disebut rumah adat alias hunian sekaligus sebagai tempat diaplikasikannya adat dan tradisi kehidupan Suku Karo.

Petak hunian tiap rumahtangga, paling 3m X 4m luasnya. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalig. Anak yang sudah akilbalig, tidur di lumbung padi buat anak laki-laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.

Aktivitas keluarga lainnya juga dilakukan disitu. Menerima tamu keluarga keperluan penting misalnya. Atau kunjungan semacam menyambut tahun baru yang disebut kerjatahun. Dan disitu juga, menganyam tikar kalau kaum ibu belum mengantuk sehabis makan malam. Seandainya punya kasur busa untuk tempat berbaring pun tidak pratis, karena harus digulung habis pakai. Menyita tempat. Memang di tahun 60 an kasur atau tilam belum merupakan prabot rumahtangga yang umum dalam rumah adat.

Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku yang disebut para-para.

Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Jadi capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk. Periuk tanah dan peralatan dapur termasuk capah piring makan ditempatkan di para-para tungku masak keluarga. Belut atau ikan lele sering juga disangkutkan di para-para untuk diasap menjadi awet sebagai persediaan lauk. Tidak ada lemari dapur. Jangankan lemari dapur, lemari pakaian pun tidak ada di sana.

Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.

Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.

Kemabali ke salah satu tatanan kehidupan di dalam rumah adat, ada tradisi tertentu bahwa suami istri tidak boleh bertengkar di dalam riumah adat. Boleh bertengkar tapi tanpa suara.

Memang rumah adat sepi suara tiada ngerupi dengan tawa terbaha-bahak di sana. Habis makan malam dan biasanya agak serentak waktunya. Pembicaraan anggota keluarga seperlunya saja. Kemudian kepala keluarga alias suami pergi minum ke kedai kopi. Di kedai sang ayah bisa canda, bahkan menganalisa kecenderungan politik segala.

Namanya suami istri, mestinya pernah bertengkar. Kalau pakai suara teriak segala tentunya terjadi ketika mereka di ladang berdua. Tak ada yang mendengar. Sebab jarak antar ladang umumnya jauh.

Bagaimana kalau tengkar pakai teriak segala dalam rumah adat. Tradisinnya, Tujuh keluarga lainnya di beri wewenang menghancurkan harta benda suami istri yang bertengkar. Sasaran empuknya adalah kudin taneh dan peralatan dapur yang tersangkut di para-para.

Takkan pernah ada keluaga yang melerai. Bertindak langsung, hancurkan harta benda yang ada.

Kehidupan leluhur Suku Karo di dalam hunian rumah adat sepi suara, cenderung sahdu dan anggun dalam kebersamaan penuh pesona. Kekerabatan adat dan tradisi memagari, hangat seperti kehangatan ruangan yang besar akibat api dan asap memasak hidangan malam bersumber dari ke empat tungku.

Walau petak hunian per rumah tangga sangat sempit namun hati kekeluargaan sangat lapang antar keluarga penghuni rumah adat. Hanya tawa ceria balita yang terdengar tentunya tangisnya juga kadang kala.

Jakarta, 16 Juli 2008

Dame Munthe.

Minggu, 27 Juli 2008

Suami Istri di Rumah Adat


CAPAH DAN KUDIN TANEH


Delapan rumahtangga tinggal dalam satu bangunan dan tiap rumahtangga mengemban satu fungsi adat yang unik. Besar kemungkin, hanya ada dalam budaya Suku Karo. Sehingga rumah hunian bersama itu disebut rumah adat alias hunian tempat diaplikasikannya adat dan tradisi kehidupan Suku Karo
Petak hunian tiap rumahtangga, paling 3m X 4m luasnya. Disitu memasak, makan sekeluarga termasuk cuci piring. Begitu pula tidur sekeluarga, ibu ayah dan anak yang belum akilbalik. Anak yang sudah akil balik, tidur di lumbung padi buat anak laki-laki dan anak perempuanya tidur di jambur semacam ruang pertemuan warga desa.

Aktivitas keluarga lainnya juga dilakukan disitu. Menerima tamu keluarga keperluan penting misalnya. Atau kunjungan semacam menyambut tahun baru yang disebut kerjatahun. Dan disitu juga, menganyam tikar kalau kaum ibu belum mengantuk sehabis makan malam. Seandainya punya kasur busa untuk tempat berbaring pun tidak pratis, karena harus digulung habis pakai. Menyita tempat. Memang di tahun 60 an kasur atau tilam belum merupakan prabot rumahtangga yang umum dalam rumah adat.

Sederhana saja harta benda keluarga di hunian. Peralatan masak memasak yang disusun atau disangkutkan di atas langit langit tungku. Ada empat tungku masak. Satu tungku digunakan dua keluarga besisian. Jadi capah tempat makan terbuat dari kayu bentuk bundar luas permukaan hampir dua kali piring makan kini. Begitu pula kudin taneh alias periuk tanah yang biasa digunakan untuk merebus sayur dan lauk, ditempatkan di para tungku masak keluarga.
Pakaian yang tidak digunakan dimasukkan ke koper kaleng dan ditaruh rapat ke dinding dekat kepala kalau lagi berbaring.

Tampaknya konsep harta keluarga pun jadi sederhana pula. Lumbung padi. Lumbung padi penuh tak habis dipakai oleh keluaga dalam setahun merupakan dasar kebahagian rumahtangga dalam mengarungi kehidupan.
Memang ada tanaman keras di ladang, ada juga hewan di pelihara seperti babi lepas di bawah rumah adat. Termasuk lembu kerbau yang setiap pagi dituntun ke ladang. Kandang hewan itu, juga dibangun sekitar rumah adat. Hewan ini akan dijual untuk keperluan mendadak keluarga. Kotorn hewan dikumpulkan untuk jadi pupuk tananman di ladang.

Swasembana pangan dan swasembana pupuk. Mengemban fungsi adat dalam rumah adat maupun kekerabatan adat dalam satu desa. Menyatu dengan alam karena alam memberi kehidupan dan menyembah Penguasa alam yang diaplikasikan melalui kegiatan penyembahan yang diatur juga oleh adat.

Kehangatan kekerabatan antar keluarga dalam rumah adat berjalan baik alias setiap keluarga dapat mengemban tugas dan tangungjawab adat di dalam rumah adat yang menjadi fungsinya. Dan kekerabatan ini menjadi dasar budaya adat Suku Karo alias mengaplikasikan fungsi adat dalam tatanan kehidupan antar keluarga Suku Karo di luar rumah adat.

Kemabali ke salah satu tatanan kehidupan di dalam rumah adat, ada tradisi tertentu bahwa suami istri tidak boleh bertengkar di dalam riumah adat. Boleh bertengkar tapi tanpa suara.
Memang rumah adat sepi suara tiada ngerupi terbaha bahak di sana. Habis makan malam dan biasanya agak serentak waktunya. Pembicaraan anggota keluarga seperlunya saja. Kemudian kepala keluarga alias suami pergi minum ke kedai kopi. Di kedai sang ayah bisa canda, bahkan menganalisa kecenderungan politik segala.

Namanya suami istri, mestinya pernah bertengkar. Kalau pakai suara teriak segala tentunya terjadi ketika mereka di ladang berdua. Tak ada yang mendengar. Sebab antar ladang dulu itu jauh.

Bagaimana kalau tengkar pakai teriak segala dalam rumah adat. Tradisinnya, Tujuh keluarga lainnya di beri wewenang menghancurkan harta benda suami istri yang bertengkar. Sasaran empuknya adalah kudin taneh.
Takkan pernah ada keluaga yang melerai. Bertindak langsung, hancurkan harta benda yang ada.

Kehidupan leluhur Suku Karo di dalam hunian rumah adat sepi suara, sahdu dan anggun dalam kebersamaan penuh pesona. Kekerabatan adat dan tradisi memagari, hangat seperti kehangatan ruangan yang besar akibat api dan asap memasak hidangan malam pada ke empat tungku.
Walau petak hunian per rumah tangga sangat sempit namun hati kekeluargaan sangat lapang antar keluarga penghuni rumah adat. Hanya tawa ceria balita yang terdengar tentunya tangisnya juga kadang kala.



Jakarta, 16 Juli 2008


Dame Munthe. 0817826026. dame@data-e.com

Membuat Cinta di Rumah Adat


MEMBUAT CINTA DI RUMAH ADAT



Kayu singian kerin alat kayak pentungan petugas keamanan. Kalau di sangkutkan di para-para langit-langit tungku rumah adat, maka kepala keluarga pada petak itu ditugasi menjadi penjaga rumah adat esok hari. Penjagaan dapat digantikan oleh anaknya yang sudah dewasa.. Kayu singian kerin, giliran jaga rumah adat.
Delapan petak atau delapan keluaga yang tinggal di rumah adat itu akan bergiliran jaga rumah adat sepanjang masa. Keluarga lainnya tentunya ke ladang, sawah atau ke hutan berburu mencari kayu bakar, cari rotan atau nira untuk dijadikan gula. Mencari kebutuhan hidup di alam terbuka di sekitar rumah adat, paling jauh sekitar empat km. Pergi pagi dan kembali menjelang sore.

Biasanya sudah mandi di tengah perjalanan pulang. Mungkin di pancuran, mungkin di tali air. Sang ibu, sesampai di rumah adat langsung menanak nasi dengan lauk seadanya, maka empat dapur itu akan mengepulkan asap dari kayu yang dibakar naik keatas menembus atap ijuk. Asap mengawetkan kayu dan ijuk. Asap menghangatkan ruang rumah adat yang besar itu.
Tiap dapur tungkunya lima batu, didirikan berbentuk segi tiga dan sudut ketiga yang berada di tengah akan digunakan oleh dua keluarga bersisian petak.

Kalau kaum bapak tidak langsung ke rumah adat sepulang dari ladang, mereka singgah di kedai kopi desa. Kedai kopi ini juga, baru saja buka, mengikuti rutinitas pulang dari ladang warga desa. Rutinitas untuk minum, baca koran dan canda kaum bapak. Memang Suku Karo tidak dibuatin kopi oleh istrinya. Dan besar kemungkinan tidak ada kopi atau gula di rumah.
Kalau muda mudinya, tak membersihkan diri pada perjalanan pulang dari ladang. Biasa, cari kesempatanlah. Mereka berkelompok menuju sungai, mandi berenang sambil curi pandang kelompok gadis yang berenang sebelah sana dan bercada ria selagi masih muda. Anak gadisnya habis mandi, cuci pakaian sepasang bekas dipakai sekalian mengambil air untuk kebutuhan dapur.

Memasak memang hampir serentak dilakukan, rutinitas keseharian yang membuat demikian. Tidak ada suara penggorengan yang mendesing karena sayur dioseng umpamanya. Minyak goreng masih langka di rumah adat. Sederhana saja, tanak nasi, buat sambal lalu direbus dengan ikan kecil ketemu di sawah tadi, maupun lele yang dapatnya dengan dudak model memancing dengan menancapkan pancing di tepian sungai, ditinggal dan beberapa jam kemudian diambil baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Kadang belut dibakar dan diasapkan di atas para-para tungku sebagai persedian lauk makan esok hari.

Kayu singian kerin tersangkut di para-para tungku petak Gindo tempati. Berarti dia tidak keladang besok .
Hatinya sebenarnya ingin keladang. Dia hanyut dalam kenangan indah penuh kemesraan di ladang . Waktu itu hujan rintik rintik di luar sapo tempat berteduh di ladang atap ilalang. Habis makan siang hujannya bukan mereda malah tambah deras. Istrinya menggoda.
Tidak seperti di rumah, istrinya lebih suka menghindar. Mereka hanyut mesra berdua tanpa hawatir menyentuh tikar pembatas.
Ingin juga hatinya, agar istrinya di rumah saja, ikut menjaga rumah adat, tapi saru itu tapi malu itu, katanya dalam hati sambil senyum. Jangankan tinggal berdua di rumah, jalan berduaan dan dekatan saja rada tidak elok di kampung itu. Biasanya istri jalan di depan, suaminya empat langkah di belakang mengikuti atau sebaliknya.

Di rumah memang istrinya lebih suka menghindar. Pasalnya dinding pemisah petak bersisian hanya tikar yang disangkutkan seperti menjemur tikar di atas bambu yang dipasang mendatar. Memang dua tikarnya, satu yang sini dan satu lagi tikar petak sana. Jadi lapis tikarnya bahkan menjadi empat, karena masing masing petak membuat bambu mendatar tempat sangkutan. Tapi kalau goyang tikarnya kan tak enak dipandang. Rumah adat memang sepi suara sepi gerak sepi rumpi, kecuali balita yang belum tidur, kadang mereka menangis.
Kalau sudah mendesak, ya dilakukan juga. Tentunya dengan gerak yang sangat super tenang, terbuai kehangatan sisa bara api tungku makan malam. Sepi, hangat dan cahaya remang sampai menjelang pagi. Dan kembali tungku menambah kehangatan karena para ibu menanak nasi buat sarapan dan untuk bekal makan siang di ladang.

Rumah adat tidak sembarang penghuni. Kedelapan pasangan suami istri merupakan kekerabatan adat. Kekerabatan yang sudah ditetapkan dengan norma adat. Apa yang pantas dilakukan dan apa yang tak pantas dilakukan antar kedelapan keluarga penghuni petak.
Ruang memang tidak lapang, rutinitas keseharian di dalam rumah adat cenderung dibuat sama. Sepi, saling menghormati. Sepi, tak pantas canda. Sepi cenderung sahdu, tak pantas ngerumpi. Kearifan dan tradisi penghuni. Jadi, kalau suami dan istri mau tengkar besar kemungkinan di lakukan di ladang, sebab saru di lakukan di rumah adat.

Kekerabatan dalam rumah adat merupakan kesatuan dalam bertidak keluar dari rumah adat yang mereka huni. Kesatuan ini, diterapkan juga dalam kehidupan warga desa untuk bertindak keluar dari desanya.

Besar kemungkinan kekerabatan rumah adat ini sangat mempengaruhi keutuhan perkawinan penghuni rumah adat. Kekerabatan rumah adat yang menjadi budaya kehidupan suku Karo di desanya, dan terbawa oleh warga yang pindah ke kota.
Keutuhan perkawinan itu tampak dari kecilnya perceraian yang terjadi, janda ditinggal mati suami, cenderung tidak menikah lagi kalau sudah punya anak. Duda yang ditinggal mati sang istri. Walau umurnya sudah 60 tahun, langsung ditanya sepulang penguburan istri tercinta. Ditanya tentang niat menikah lagi, mau yang muda belia atau mau yang sudah tua sebagai calonnya. Bahasa tanyanya sangat halus dan dilakukan dengan penuh hormat oleh rombongan atau kelompok kekerabatan yang disebut anakberu atau pihak yang mengambil wanita keluarga duda.

Kearifan tradisional atau kepandaian bersifat tradiasi, yaitu adat kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun, dimulai leluhur suku Karo dari huniannya yang disebut rumah adat.
Kekerabatan leluhur itu, penting, identitas dan sudah teruji maknanya.




Jakarta 11 Pebruari 2008
Dame Munthe
HP 0817826026