“ ... ini ilmu terahirku ilmu pamungkas Pukulan Tapak Tanpa Rasa. Kuberitahu, kalau aku kalah, aku akan berguru kepada kalian, tetapi kalau aku menang, kuperingatkan, kaliaan semua akan mati di tanganku. Saat ini juga!”
Daud Tony: DUNIA ROH, Betlehem, Jakarta 2002, p.23.
Iseng-iseng aku jalan kaki di Naripan
“Cari bacan untuk di kereta api” pikirku dalam hati. Memang besok pagi aku mau kembali ke
Sebelah kanan pintu keluar toko, masih dalam halaman toko mangkal penjual es buah. Kupesan satu mangkok. Bab satu langsung dibaca sambil menikmati es. Dikemukakan penulis, bahwa dia adalah cicit terpilih menjadi murid tunggal kakek nenek buyut pihak ibunya yang menguasai ilmu tingkat tinggi. Kakek buyut ilmu putih.Nenek buyut ilmu hitam. Tandingannya belum pernah ada di bumi persada tercinta ini. Tapi keok dengan ilmu mantera “Haleluya”
Paginya, begitu duduk di bangku Parhiyangan jurusan
Ayahku memang pernah cerita tentang Bulang, tapi bukan perihal tarung batin tersebut.
“Waktu itu, umur abangku empat tahunan” kata ayahku, memulai kisahnya.
“Ayah sendiri masih dalam kandungan nenekmu dan keluarga sedang menunggu kelahiran ayahmu ini” lanyut ayah.
“Tradisi dalam keluarga kita masa itu, bila sedang menunggu kelahiran bayi, maka orang tua mencari anak batu untuk pengulek yang bentuk dan besarnya seperti telor angsa. Bulangmu pun pergilah ke sungai, mencari anak batu pengulek. Di sungai, ia ketemu musuh bebuyutan yang tinggal sedesa dan punya ilmu hitam katagori tinggi. Musuhnya memanfaatkan setuasi keluarga yang sedang menunggu kelahiran dengan membuat masalah di sungai itu. Bulang menghindar karena sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Di halaman rumah sekembalinya dari sungai.
Kemudian Bulangmu membuka sarung yang tadinya terlilit di pinggangnya. Lepas lilitaan, kedua ujung sarung disatukan dan anak batu pengulek diletakkan di bagian dalam tengah kain sarung. Sarung kemudian di putar putar oleh bulangmu diatas kepalanya, sebagai alat pelontar anak batu pengulek. Anak batu lepas mengenai sasaran, si pelempar lembing tewas seketika. Ilmu kebal pelempar lembing tak berfungsi. Anak batu pengulek adalah pantangannya. Bulangmu pun berurusanlah dengan Polisi dan Bale Pengadilan Belanda. Ayahmu ini lahir dan dinamai “Bale” oleh Bulangmu.” Kenang ayahku atas Bulang dan tersenyum akan makna namanya yang diberikan Bulang kepadanya.
Pada kesempatan lain, seorang teman yang lebih tua beberapa tahun dari saya.
“Itulah sebabnya, kalian Pantekosta semua. Seperti keluaga kami” kata teman itu, kemudian dia meneruskan kenangannya atas kisah ayahnya menemui Bulang.
“Tadinya, ayahku menemui Bulangmu untuk meneruskan pelajaran ilmu hitam sebagai kelanjutan pelajaran sebelumnya. Namun pada pertemuan itu, Bulangmu berkata bahwa dia sudah pindah Guru alias masuk Pantekosta karena kalah tarung dengan Pendeta. Kalau Guru pindah Guru, akupun ikut pindah, ayahku merespon pertemuan mereka. Jadi, Pantekosta pulalah kami semua.” Kata temanku itu.
Bulang tidak pernah mengkisahkan ilmu hitamnya kepadaku. Padahal aku cucu pertamanya dan setiap libur sekolah , kutemui Bulang untuk bermanja. Aku manja di sisi Bulang walaupun aku sudah menjadi mahasiswa. Sekarang baru aku mengerti mengapa Bulang tidak pernah mengisahkan ilmu hitamnya. Aku mengerti dari buku ini, buku yang meneteskan air mataku.
Dunia kegelapan tidak punya apa-apa. Tidak dapat menyembuhkan penyakit, hanya dapat memindahkan pindahkan penyakit. Tidak dapat memberi berkat atau kekayaan, hanya dapat memindah pindahkan harta keturunannya. Kesehatan dan harta keturunannya sampai tujuh keturunan, disedot melalui bantuan orang yang punya ilmu dunia kegelapan alias perdukunan.
” Bulang mengerti perihal dunia kegelapan itu. Sehingga tidak dipesankan maupun dikisahkan kepadaku” pikirku dalam hati.
Kuusap kedua pipiku, setasion Jatinegara di depanku.
Jatinegara 02.2003.
Dame Munthe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar