Laman

Tampilkan postingan dengan label haleluya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label haleluya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Agustus 2009

PERTARUNGAN KAKEK

“ ... ini ilmu terahirku ilmu pamungkas Pukulan Tapak Tanpa Rasa. Kuberitahu, kalau aku kalah, aku akan berguru kepada kalian, tetapi kalau aku menang, kuperingatkan, kaliaan semua akan mati di tanganku. Saat ini juga!”

Daud Tony: DUNIA ROH, Betlehem, Jakarta 2002, p.23.

Iseng-iseng aku jalan kaki di Naripan Bandung. Barat ke arah timur. Walau tengah hari, terasa sejuk. Karena kiri kanan jalan, pohonnya rindang. Jalan kaki di trotoar memang kurang nyaman. Sering terhalang tenda warung kaki lima. Sebelah kiri mendekati lampu merah. Ada toko buku Kalam Hidup.

“Cari bacan untuk di kereta api” pikirku dalam hati. Memang besok pagi aku mau kembali ke Jakarta. Kubeli satu buku. Judul Dunia Roh.

Sebelah kanan pintu keluar toko, masih dalam halaman toko mangkal penjual es buah. Kupesan satu mangkok. Bab satu langsung dibaca sambil menikmati es. Dikemukakan penulis, bahwa dia adalah cicit terpilih menjadi murid tunggal kakek nenek buyut pihak ibunya yang menguasai ilmu tingkat tinggi. Kakek buyut ilmu putih.Nenek buyut ilmu hitam. Tandingannya belum pernah ada di bumi persada tercinta ini. Tapi keok dengan ilmu mantera “Haleluya”

Paginya, begitu duduk di bangku Parhiyangan jurusan Bandung ke Jakarta, langsung kulalap bab lainnya. Tak terasa air mataku menetes dari bab ke bab. Terbayang aku akan pertarungan kakekku yang kusapa Bulang. Bulang tarung batin dengan pendeta dari Pantekosta.Bulang mengaku kalah, sebab terasa olehnya bahwa badannya akan pecah bila tidak mengku kalah. Begitulah cerita yang kudapat dari seorang sahabat ayahku.

Ayahku memang pernah cerita tentang Bulang, tapi bukan perihal tarung batin tersebut.

“Waktu itu, umur abangku empat tahunan” kata ayahku, memulai kisahnya.

“Ayah sendiri masih dalam kandungan nenekmu dan keluarga sedang menunggu kelahiran ayahmu ini” lanyut ayah.

“Tradisi dalam keluarga kita masa itu, bila sedang menunggu kelahiran bayi, maka orang tua mencari anak batu untuk pengulek yang bentuk dan besarnya seperti telor angsa. Bulangmu pun pergilah ke sungai, mencari anak batu pengulek. Di sungai, ia ketemu musuh bebuyutan yang tinggal sedesa dan punya ilmu hitam katagori tinggi. Musuhnya memanfaatkan setuasi keluarga yang sedang menunggu kelahiran dengan membuat masalah di sungai itu. Bulang menghindar karena sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Di halaman rumah sekembalinya dari sungai. Tampa disangka sebuah lembing menancap di sisi kanan Bulangmu. Untung sigap Bulangmu menarik tangan kiri abangku seperempat putaran kearah belakangnya, sebelum lembing menancap di tanah.

Kemudian Bulangmu membuka sarung yang tadinya terlilit di pinggangnya. Lepas lilitaan, kedua ujung sarung disatukan dan anak batu pengulek diletakkan di bagian dalam tengah kain sarung. Sarung kemudian di putar putar oleh bulangmu diatas kepalanya, sebagai alat pelontar anak batu pengulek. Anak batu lepas mengenai sasaran, si pelempar lembing tewas seketika. Ilmu kebal pelempar lembing tak berfungsi. Anak batu pengulek adalah pantangannya. Bulangmu pun berurusanlah dengan Polisi dan Bale Pengadilan Belanda. Ayahmu ini lahir dan dinamai “Bale” oleh Bulangmu.” Kenang ayahku atas Bulang dan tersenyum akan makna namanya yang diberikan Bulang kepadanya.

Pada kesempatan lain, seorang teman yang lebih tua beberapa tahun dari saya.

“Itulah sebabnya, kalian Pantekosta semua. Seperti keluaga kami” kata teman itu, kemudian dia meneruskan kenangannya atas kisah ayahnya menemui Bulang.

“Tadinya, ayahku menemui Bulangmu untuk meneruskan pelajaran ilmu hitam sebagai kelanjutan pelajaran sebelumnya. Namun pada pertemuan itu, Bulangmu berkata bahwa dia sudah pindah Guru alias masuk Pantekosta karena kalah tarung dengan Pendeta. Kalau Guru pindah Guru, akupun ikut pindah, ayahku merespon pertemuan mereka. Jadi, Pantekosta pulalah kami semua.” Kata temanku itu.

Bulang tidak pernah mengkisahkan ilmu hitamnya kepadaku. Padahal aku cucu pertamanya dan setiap libur sekolah , kutemui Bulang untuk bermanja. Aku manja di sisi Bulang walaupun aku sudah menjadi mahasiswa. Sekarang baru aku mengerti mengapa Bulang tidak pernah mengisahkan ilmu hitamnya. Aku mengerti dari buku ini, buku yang meneteskan air mataku.

Dunia kegelapan tidak punya apa-apa. Tidak dapat menyembuhkan penyakit, hanya dapat memindahkan pindahkan penyakit. Tidak dapat memberi berkat atau kekayaan, hanya dapat memindah pindahkan harta keturunannya. Kesehatan dan harta keturunannya sampai tujuh keturunan, disedot melalui bantuan orang yang punya ilmu dunia kegelapan alias perdukunan.

” Bulang mengerti perihal dunia kegelapan itu. Sehingga tidak dipesankan maupun dikisahkan kepadaku” pikirku dalam hati.

Kuusap kedua pipiku, setasion Jatinegara di depanku.


Jatinegara 02.2003.

Dame Munthe

Jumat, 31 Juli 2009

Iman Kristiani dan Adat Suku Karo

Iman Kristiani dan Budaya Suku Karo

Leluhur

Leluhur Suku Karo mempraktekkan budaya kehidupan bersama dalam hunian rumah adat Karo, Di dalam rumah adat Karo biasanya dihuni oleh delapan rumahtanggga dan umumnya kegiatan seluruh penghuni cenderung seragam rutin dan menyatu dengan alam. Seperti kapan memasak, kapan pula ke ladang dan kapan pula menumbuk padi ke lesung desa.

Mereka berbudaya dulu dan turun temurunnya kemudian mengenal agama. Di antaranya ada yang memeluk agama Kristen. Timbullah benturan, bagaimana iman kristiani menyikapi budaya leluhur dalam masa kini.

Kepercayaan

Memang budaya itu, merupakan terpadunya kepercayaan-kepercayaan seperti: bahwa sungai ada penunggunya, bahwa pohon besar ada yang menjaga, bahwa gunung ada penunggu.

Sungai dapat memberi air untuk kehausan, untuk mengairi sawah, untuk membersihkan diri. Dan kalau banjir besar terjadi banyak manusia bisa mati. Leluhur pun berprilaku. Tidak boleh buang hajat di sungai, anak-anak dilarang mandi di sungai tengah hari dan sebagainya.

Lalu, leluhur memohon kepada penguasa sungai, supaya sungai tidak banjir lagi.

Budaya

Cikal bakal adat pun terjadi di sana. Membuat leluhur harus bagaimana berprilaku, berhubungan dan menyembah.

Mengikat masyarakat leluhur untuk hidup bersama dan ada rasa memiliki jati diri, martabat, keamanan dan kesinambungan.

Inti jati diri Suku Karo adalah sangkep ngeluh alias pedoman masyarakat suku Karo untuk menentukan hubungan adat antar orang lazim disebut bertutur merupakan sistem hubungan kekerabatan pada masyarakat suku Karo.

Jati diri

Ada tiga jati diri Suku Karo. Dan setiap orang pada gilirannya akan mengemban salah satu jati diri untuk acara adat tertentu. Dan dimungkinkan pula pada oleh adat pada acara yang sama orang tersebut mengemban jati diri lain.

Jati diri itu:

  1. Senina
  2. Kalimbubu
  3. Anakberu

Perkawinan
Perkawinan adat Suku Karo didifinisikan, "... tidak saja mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.
"...termasuk arwah-arwah leluhur mereka." hal inilah yang menjadi benturan ditijau dari Injili .


Imanku
Air gelas mineral kalau dimantera, maka ada berhala di air mineral itu. Iman Kristiani yang kumiliki melarang aku untu meminumnya. Tapi air gelas mineral yang lain tetap aku minum.


Minggu lalu aku melakukan kegiatan adat. Memasang hiasan kepala semacam topi pada orang tua penganten untuk upacara pernikahan adat perkawinan anaknya.


Makna adat leluhur dalam kegiatan itu mungkin sebagai berikut: (aku juga belum mendalami)
Aku adalah kalimbubu alias pemberi dara dalam keluarga orang tua penganten, dimaknakan sebagai pemberi berkat, rejeki, diistilahkan sebagai tuhan yang kelihatan di bumi.

Saat memasang topi itu aku berseru

"Haleluya,Tuhan memberkati"lalu kupasangkan.


Jakarta 29 Juli 2009