Laman

Minggu, 31 Juli 2011

Melayu dan Batak Dalam Strategi Kolonial

--- In tanahkaro@yahoogroups.com, MU Ginting wrote:
>
> Waspada:
> Melayu dan Batak dalam strategi kolonial
> Dr.Perret dari Paris mencatat; orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua non Melayu dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar bahkan kanibal, diberi label Batak
> “Memang tidak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni, ”… dihapusnya jejak keraguan …” di hati nan lara. Ini adalah penggalan puisi penyair Sapto Joko Darmono. Dalam cacatan harian saya Kamis dibulan Juni 1993, di tengah hujan rintik itu, seorang kandidat Doktor dari Sarbon University Paris, Daniel Perret datang membincangkan penelitian desertasinya di ruang kantor saya.
> Karena perut telah keroncongan, kami keluar untuk makan siang dan meneruskan diskusi. Karena masalah pokok desertasinya sangat krusial dan sensitif mengenai Melayu dan Batak dalam strategi Kolonial Belanda, dia tampak ragu untuk meneruskan pembuktian hipotesa-hepotesa teoritis yang telah dibangunnya. Ternyata dua tahun kemudian keraguan itu telah sirna, dia berhasil mempertahankan desertasinya dengan gemilang.
> Daniel Perret datang kembali ke Unimed 6 Juli lalu, tidak hanya dengan menyandang gelar Doktor di bidang sejarah antropologi, tetapi membawa sebuah buku desertasi Doktornya yang telah diterbitkan Pustaka Kompas (KPG) dengan judul: Kolonialisme dan Etnisitas : Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku itulah yang kami bedah dalam Forum Pussis (Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial) Unimed, yang dipimpin Dr Phil. Ichwan Azhari
> Â
> Label Melayu dan Batak
> Melayu bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu, asal dia beragama Islam, beradat istiadat Melayu berbahasa Melayu dan mengaku Melayu. Label Melayu dan Batak menurut Dr.Perret muncul bersamaan pada abad 16. Label Batak ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua orang yang non Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan kanibal, diberi label Batak.
> Istilah Batak ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat sosial). Khusus mengenai istilah Batak, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah itu bukan berasal orang-orang Toba, Simalungun, Fak-Fak Bharat, Karo atau Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka.
> Daniel mencatat dari beberapa dokumen bahwa sebutan Batak tidak terdapat dalam sastra pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah Batak hanya sekali digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung Batak atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting (1930) tidak dijumpai kata-kata Batak. Selain itu BS. Simanjuntak mencacat bahwa kata-kata Batak tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja Batak.”
> Akan tetapi, kehidupan orang Melayu banyak tergantung pada orang-orang di kawasan dataran dan pegunungan itu, seperti tenaga pekerja untuk mengelola perkebunan, hasil hutan dan istri-istri. Karena label Batak dibawa dari luar, maka dia menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika seorang menganggap orang lain Batak, maka dia merasa lebih tinggi dari orang lain itu.
> Perobahan-perobahan sosial ekonomi yang kurang kondusif di Aceh pada permulaan abad XX, menyebabkan kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur mengembangkan ruang budi daya pertanian lada, kopi, gambir dan kapas kedaerah dataran tinggi/pegunungan, maka ruang antara Melayu dan Batak berobah menjadi produksi pertanian yang produktif. Kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam kelembagaan-kelembagaan ”Datuk Empat Suku.” Proses Melayunisasi dari kelembagaan ini sejalan dengan Islamisasi, sehingga ruang kehidupan orang-orang Batak (uncivilized/tidak berbudaya) menjadi semakin sempit. Akhirnya kelompok-kelompok baru (yang disebut Melayu Dusun) ini, menjadi otonom. Waktu pihak asing datang mereka telah dapat menjalin hubungan langsung tanpa meminta persetujuan Sultan-Sultan Melayu.
> Dalam kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang Batak. Mulai tahun 1888 kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan untuk menangani urusan Batak yaitu membela kepentingan orang Batak berhadapan dengan orang Melayu.
> Di samping itu, pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan Dataran sebagai ”ruang hukum” Batak, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah memancing konflik antara Melayu dan Batak seperti pecahnya perang Sunggal (1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangang timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat.
> Demikianlah pemerintah Belanda menggunakan label Batak untuk mempersatukan seluruh suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Pemerintah Belanda terus menerus memompakan label Batak dengan penguatan sosio-geografis tertentu, nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan kawasan Batak dengan Melayu menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam pengertian budaya (civilized and uncivilized). Tetapi dalam pengertian kelompok etnik Melayu versus Batak.
> Untuk mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat Batak (yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909).
> Sementara itu, dibagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang berseberangan dengan kelompok Batak di Utara. Sebagai migran di kota Medan, mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai Batak bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau disebut Batak karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi (civilized), jadi bukan melulu karena masalah geneologis.
> Desertasi Daniel Perret ini menyimpulkan bahwa baik istilah Batak maupun Melayu bukanlah label etnik, tetapi label budaya (civilized and uncivilized). Tetapi untuk kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan” orang-orang Simalungun, Karo, Fak-Fak Bharat dan Toba menerima Label Batak sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu). Bahkan menyediakan fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu sebagai orang Batak. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera) Kolonial Belanda. Kesimpulan ini disampaikan Daniel Perret dalam bedah buku itu, tanpa keraguan lagi. ( Prof Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog Unimed )
> --
> Â
> MU Ginting:
> Asal-usul istilah ”Batak”
> Hipotesis
> Th 1823 seorang Inggris bernama John Anderson datang ke pantai timur Sumatra dan dari catatan perjalanannya kemudian menulis sebuah buku berjudul: Mission to the east coast of Sumatra in 1823. Dalam bukunya disebutkan tentang kunjungannya ke The Batta Cannibal States. Istilah ”Batta” adalah dari kata ”Batak” dalam lidah seorang Inggris (John Anderson) ketika itu. Anderson tidak menciptakan istilah baru (Batta) tetapi dari istilah yang sudah ada (Batak) jauh sebelum Anderson tiba di pantai timur Sumatra. Batak adalah nama julukan dari penduduk pantai yang beragama islam terhadap penduduk pedalaman yang tidak berTuhan (Karo, Toba, Simalungun dan sebagian Pakpak), yang makan babi dan pasti jugalah secara diam-diam dianggap makan orang (kanibal). Dari situasi ini jugalah Anderson memastikan orang Batta ini kanibal, karena dalam bukunya tidak jelas kalau dia pernah melihat dengan mata kepala sendiri orang Batta itu makan orang.
> Penduduk pantai timur Sumatra umumnya beragama islam artinya mereka ber Tuhan (Allah), sedangkan penduduk pedalaman dianggap tidak beragama atau kafir tetapi diketahui bahwa mereka sudah punya kepercayaan atau ber Tuhan yang disebutkan Dibata (Karo, Pakpak), Debata (Toba dan Simalungun). Bahwa mereka ini ber-Dibata tidak diakui sebagai Tuhan oleh orang-orang islam, karena Dibata atau Debata bukan Tuhan. Dari kata Di-Bata atau De-Bata berubah jadi Batak, nama julukan atau ejekan yang lebih mantap. Dibata atau Debata (di Bali Dewata) berasal dari kata ’Devata’ dalam bahasa Sanskrit di India dan sudah ada sejak 1500 BC. Jadi keberadaan istilah Dibata atau Debata pastilah sudah ada jauh sebelum kedatangan islam atau orang Eropah ke Indonesia. Pertama dengan kedatangan dan pengaruh agama Hindu, dan kemudian dipertegas dengan kedatangan agama Buddha secara menyeluruh ke benua Asia.
> Di Pilipina (Palawan) ada juga suku bangsa yang dijuluki ’Batak’, dan grup ini juga mempunyai Tuhan yang disebutnya Diwata, pasti jugalah pengaruh Hindu atau Buddha dari kata Sanskrit Devata. Istilah ’Batak’ di Palawan berasal dari bahasa Cuyunon yang merupakan satu etnis elit di Palawan, jadi bukan bahasa orang Bataknya sendiri. Batak disini artinya orang pegunungan.
> Persamaan atau kesamaan diantara semua Batak ini ialah mereka sudah ber-Tuhan dengan nama Sanskrit, dpl ber-di-bata atau ber-de-bata, atau ber-di-wata. Orang-orang ini kemudian jadi orang Bata atau lebih tegas dengan nama Batak. Penguasa  kolonial kemudian memanipulasi istilah Batak sebagai penggrupan penduduk lokal untuk memecah belah. Sejajar dengan itu, orang-orang Inggris di Serawak menggolongkan penduduk pedalaman/pegunungan dengan istilah Dayak, membedakan dengan orang pesisir yang beragama islam.
> --
>
Mohon ijin copy paste untuk ditempatkan pada blog
http://rumahkaro.blogspot.com/

1 komentar:

LPK MAKANA mengatakan...

keren postingan nya , thanks info nya .