Laman

Jumat, 01 Agustus 2008

JALAN SENA MEDAN

JALAN SENA MEDAN



Dimana Jalan Sena? Tak terbayang aku kini. Soalnya, setengah abad aku tak kesana. Dulu, ada lapangan disitu. Dibuat panggung tidak permanen, untuk merayakan 17 Agustus. Model perayaan itu, “Guro Guro Aron Perkolongkolong” semacam pesta musik dan tari masyarakat Suku Karo. Selain merayakan 17 belasan, pesta ini sering diadakan untuk menyambut tahun baru, habis panen tahunan maupun temu kangen. Sekalian anjang perkenalan muda mudi sebab dihadiri oleh muda mudi sekitar atau antar desa.

Perkolongkolong, alias biduan sepasang, perawan dan jaka, yakni bintang utama pada acara perayaan itu. Biduan inilah yang bersenandung lagu format pantun kehidupan cinta muda mudi yang sangat dinikmati oleh muda mudi dan para ibu bapak. Bahkan nenek kakek juga.
Pasalnya, marga hadirin disebut oleh Biduan pada ujung lagunya. Kalau penyebutan marga pada senandung lagu sang Biduan mengena, akan diaplus oleh hadirin dengan teriak suara senang seperti berikut “uhhhhh, surak” secara serentak dan diteruskan tepuk irama serentak pula, kayak model tepuk pramuka.

Memang, kata ganti Suku Karo sangat banyak. Besar kemungkinan tidak dipunyai suku lain. Dan satunya kata ganti itu yang merupakan sapaan mesra, yaitu “Nande Nangin” kepada marga (baca beru] Peranginangin. “Nande Iting“ kepada Ginting. “Nande Biring’ kepada Sembiring. “Nande Karo” kepada Karo-Karo dan “Nande Tigan” kepada Tarigan.
Untuk lakinya, Kata “Nande” diganti dengan kata “Mama”. Kalau mereka disapa dengan panggilan mesra ini, biasanya apa yang diminta pasti dapat.

Diawali acara doa restu yang diaplikasikan dengan cara Biduan menari dan melantunkan syair pantun lagu, tentang syukur kepada Tuhan, permohonan dan doa agar kehidupan warga lebih baik di masa datang .
Biduan mendendang lagu seakan menurunkan berkat dari Tuhan kepada masing masing individu dengan menyebut kelima marga pada ujung syair lagu secara bergantian. Syair doa khusus kepada ibu-ibu tak ketinggalan di dendang lagukan oleh Biduan.
Hadirin yang menari di panggung, di dekati oleh Biduan dengan gerak tari lembut, sahdu dan dilakukan bergilir sementara Biduan yang satu terus berdendang.
Baik yang menari di panggung maupun hadirin yang duduk bersila atau muda mudi yang bercengkrama di lingkar luar, terbuai. Seperti bayi yang dininabobokkan ibu tercinta.

Berikutnya, biasanya dendang lagu kelompok marga tertentu, tamu desa tertentu. Muda mudi, Dengan prinsip semua hadirin kebagian menari ke panggung dan didendang lagukan oleh sang Biduan .
Disini, tarinya mulai lincah mennggoda. Aplusan mulai terdengar.

Aplusan paling riuh biasanya pada acara terakhir, yaitu “Biduan diadu.” Sang Jaka, melantunkan lagu dan syair rayuan gombalnya. Sang Perawan merespon dengan gerak tari dan mimik mukanya.
Setiap ujung syair lagu yang mengena, aplusan dan tepuk berirama begema menyemangati Biduan. Tepukan irama paling riuh biasanya dari kelompok ibu-ibu paruh baya. Ingat mudanya, kali.
Kakek nenek biasanya seyum senyum saja, tak kuat ikut beraplus. Tak kuat bertepuk pramuka lagi. Tapi setia menikmati, walau malam larut menjelang dini hari
Biduan saling berganti menari, saling berganti mengalunkan pantun lagu. Saling sindir , saling berkeliat semasih bisa, sampai tak dapat mengelak lagi. Alias kamus pantun sudah habis.

Malam itu, Biduan Jaka, di ujung lagunya selalu menyebutkan “… Nande Nangin” Dalam melantunkan syair lagu rayuan gombalnya. Sang Perawan, mengelak, berkeliat bahkan menyindir sayang di ujung syair lagu dengan menyebutkan “…Mama Iting”.
Rasanya, seakan aku di panggung. Soalnya margaku Ginting dan cinta moyetku Peranginangin. Keloplah.

Kalau kamus pantun sudah habis, biasanya satu jam lebih, Biduan Wanita akan mendendangkan lagu tanda suka kepada jejaka sebagai tanda “acara biduan diadu” telah usai.
Mereka pun berduet lagu penutup berpantunkan “Kalau kita sudah menari, menyanyi berdua. Jangan kita berpisah lagi”

Disanalah, di Jalan Sena, pertama kali aku terbuai senandung lagu sukuku. Titik awal aku mencintai budaya kehidupan adat Suku Karo. Identitas diri, memang perlu.


Jakarta 14 Januari 2008

Dame Munthe.

Tidak ada komentar: