Laman

Minggu, 27 Juli 2008

ABG Dirumah Adat


REMAJA TANGGUNG RUMAH ADAT



Sudah dua tahun Murakta menekuni sekolah di kota kabupaten, hampir tiap bulan dia pulang untuk mengambil beras dan uang lauk pauk serta keperluan lainnya untuk digunakan di kota bulan berikutnya. Biasanya Murakta masih tidur di rumah. Namun pulang kampung Murakta kali ini lain. Habis makan malam dengan ayah ibu serta dua adiknya, dia pamit mau tidur di lumbung. Ayah dan ibunya senyum megerti dua adiknya rada bingung.
“Besok pagi, abang kesini habis makan pagi. Kita sama sama ke ladang” katanya kepada kedua adiknya.

Lumbung padi ada beberapa dibangun sekitar rumah adat. Bentuknya bundar dindingnya terbuat dari anyaman kulit bambu. Bagian atasnya kayak loteng biasanya tempat tidur remaja maupun pemuda dewasa. Biasanya penghuni tetap kelompok kecil ini sebaya, kayak kehadiran Mburak malam ini sebagai tamu di lumbung itu. Penghuni tetapnya, beberapa remaja yang lebih tua dan sahabatnya sebaya yang tidak sekolah ke kota.
Anak yang sudah akilbalik memang saru, tabu tidur di rumah adat. Anak lakinya ke lumbung dan ceweknya ke jambur rumah ruang pertemuan, atau kerumah bibi yang sudah menjanda.
Karena sahabat sebaya, banyaklah cerita, Mumpung penghuni lainnya belum datang. Mungkin minum di kedai kopi atau sedang canda ria dengan gadis pujaan di jambur.
“Aku sudah milasi” kata sahabatnya bangga setelah cerita sana sini.
“Milasi sinuan dilaki” maksudnya, istilah halus untuk sunat yang dilakukan leluhur suku Karo.

Dia ingat cerita temannya Soleh yang datang dari Medan beberapa bulan yang lalu. Kala itu Soleh bercerita, empat tahun yang lalu dia disunat dengan acara meriah. Mulai dari alas kaki sampai peci, disandang barang yang serba baru. Tempat duduknya dihias tak ubahnya seperti raja muda sedang manggung. Handai tolan dan para tetangga diundang semua. Paman dan bibi pada datang dan ngasi uang banyak.

“Siapa yang ngajarin” tanya Murakta penuh minat.
“Abang Mangin yang tidur sebelah pinggir sana” sahut sahabat.
“Bisa ngajarin aku” pinta Murakta.
Penghuni lumbung mulai berdatangan. Sahabat tidur bersisian, memang hampir tengah malam.

Sengaja dua sahabat itu lebih cepat sampai di pemandian sore hari itu. Dan bebaslah mereka berbicara.
Diambilnya sobekan daun pisang. Digulung selingkaran buah pisang.
“Ini bagian ujung ‘burung’ “ kata sahabat. Maksudnya bagian kulupnya laki-laki yang dipegangnya dengan ibu jari dan telujuk tangan kiri.
Kemudian tangan kanannya membentuk ‘gunting’ jari telujuk di atas dan jari tengah di bawah. Formasi gunting membelah lingkaran daun pisang bagian atas.
“’Gunting” dibuat dari lidi daun enau. Lidinya dibersihkan, diserut dengan pisau dan kemudian dipotong kurang lebih 5 cm”.

Diambilnya ranting sebagai alat peraga dan lanjutnya.
“Lidi ini dibelah sepanjang 3 cm” Kukunya bergerak dari ujung yang satu menuju bagian tengah ranting..
“Bagian lidi yang terbelah diserut lagi hingga berbentuk lancip/tajam kayak segi tiga memanjang, belahan yang tajam saling bertemu baik belahan yang satu maupun belahan yang kedua”. Murakta dengan seksama memperhatikan, dan lanjut sahabat..
“Dibagian tengah lidi, atau ½ cm dari lidi yang tidak terbelah dipasang benang pengikat. Tapi jangan diikat mati. Supaya nantinya setiap pagi ikatannya bisa dikencangkan”
“Tidak sakit”
“Ah … lebih sakit digigit semut merah” Jawab sahabat dengan senyum.
“Ada darahnya, enggak”
‘Enggak ada, kayak pohon dililit kawat, mana ada getahnya”.

Ingat Murakta akan cerita Soleh. Darah berlepotan, kulupnya dibuang.

“Jadi enggak dipotong, ya ”
“Tidak” sahut sahabat
“Hanya dibelah” kembali diperagakan bundaran daun pisang yang dibelah bagian atasnya.
“Seandainya bagian yang terbelah ini, dijahit, ya kembali seperti bentuk semula” tegas sahabat.
“Pagi dan sore sehabis mandi diolesi air kunyit sekitar kulup yang dicepit maupun lidinya”.
“Berapa dalam dicepit, Bang?”.
“11/2 cm juga cukup, tergantung lah” jawab sahabat, langsung terjun ke sungai, diikuti Murakta..

Murakta kembali ke kota kabupaten, langsung praktek.
Lidi enau penjepit disiapkan dan direndam dalam air kunyit, lalu dipasang sesuai petunjuk sahabat. Seluruh permukaan kulup diolesi air kunyit.

Esoknya di pagi hari. Sehabis mandi, ikatan dikencangkan dan diolesi air kunyit kemudian pergi ke sekolah tanpa memakai celana dalam.
Pagi hari kedua, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari ketiga, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari keempat, dikencangkan, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pagi hari kelima, lidi penjepit melekat hanya pada satu sisi, diolesi dan pergi ke sekolah.
Pulang dari sekolah lidi penjepit sudah tidak ada, Murakta bingung, tak tahu jatuh di mana.
Murakta ingat sahabat. Murakta ingat Soleh. Murakta ketawa sendiri.

“Milasi” ini dilakukan leluhur suku Karo tanpa ada berita, orang tua kandung pun tidak tahu. “Milasi” masa kini, tentu lebih baik dilakukan oleh Dokter Spesialis Bedah. Aman dan sehat.


Jakarta 13-02-2008
Dame Munthe

Tidak ada komentar: