Laman

Minggu, 27 Juli 2008

Membuat Cinta di Rumah Adat


MEMBUAT CINTA DI RUMAH ADAT



Kayu singian kerin alat kayak pentungan petugas keamanan. Kalau di sangkutkan di para-para langit-langit tungku rumah adat, maka kepala keluarga pada petak itu ditugasi menjadi penjaga rumah adat esok hari. Penjagaan dapat digantikan oleh anaknya yang sudah dewasa.. Kayu singian kerin, giliran jaga rumah adat.
Delapan petak atau delapan keluaga yang tinggal di rumah adat itu akan bergiliran jaga rumah adat sepanjang masa. Keluarga lainnya tentunya ke ladang, sawah atau ke hutan berburu mencari kayu bakar, cari rotan atau nira untuk dijadikan gula. Mencari kebutuhan hidup di alam terbuka di sekitar rumah adat, paling jauh sekitar empat km. Pergi pagi dan kembali menjelang sore.

Biasanya sudah mandi di tengah perjalanan pulang. Mungkin di pancuran, mungkin di tali air. Sang ibu, sesampai di rumah adat langsung menanak nasi dengan lauk seadanya, maka empat dapur itu akan mengepulkan asap dari kayu yang dibakar naik keatas menembus atap ijuk. Asap mengawetkan kayu dan ijuk. Asap menghangatkan ruang rumah adat yang besar itu.
Tiap dapur tungkunya lima batu, didirikan berbentuk segi tiga dan sudut ketiga yang berada di tengah akan digunakan oleh dua keluarga bersisian petak.

Kalau kaum bapak tidak langsung ke rumah adat sepulang dari ladang, mereka singgah di kedai kopi desa. Kedai kopi ini juga, baru saja buka, mengikuti rutinitas pulang dari ladang warga desa. Rutinitas untuk minum, baca koran dan canda kaum bapak. Memang Suku Karo tidak dibuatin kopi oleh istrinya. Dan besar kemungkinan tidak ada kopi atau gula di rumah.
Kalau muda mudinya, tak membersihkan diri pada perjalanan pulang dari ladang. Biasa, cari kesempatanlah. Mereka berkelompok menuju sungai, mandi berenang sambil curi pandang kelompok gadis yang berenang sebelah sana dan bercada ria selagi masih muda. Anak gadisnya habis mandi, cuci pakaian sepasang bekas dipakai sekalian mengambil air untuk kebutuhan dapur.

Memasak memang hampir serentak dilakukan, rutinitas keseharian yang membuat demikian. Tidak ada suara penggorengan yang mendesing karena sayur dioseng umpamanya. Minyak goreng masih langka di rumah adat. Sederhana saja, tanak nasi, buat sambal lalu direbus dengan ikan kecil ketemu di sawah tadi, maupun lele yang dapatnya dengan dudak model memancing dengan menancapkan pancing di tepian sungai, ditinggal dan beberapa jam kemudian diambil baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Kadang belut dibakar dan diasapkan di atas para-para tungku sebagai persedian lauk makan esok hari.

Kayu singian kerin tersangkut di para-para tungku petak Gindo tempati. Berarti dia tidak keladang besok .
Hatinya sebenarnya ingin keladang. Dia hanyut dalam kenangan indah penuh kemesraan di ladang . Waktu itu hujan rintik rintik di luar sapo tempat berteduh di ladang atap ilalang. Habis makan siang hujannya bukan mereda malah tambah deras. Istrinya menggoda.
Tidak seperti di rumah, istrinya lebih suka menghindar. Mereka hanyut mesra berdua tanpa hawatir menyentuh tikar pembatas.
Ingin juga hatinya, agar istrinya di rumah saja, ikut menjaga rumah adat, tapi saru itu tapi malu itu, katanya dalam hati sambil senyum. Jangankan tinggal berdua di rumah, jalan berduaan dan dekatan saja rada tidak elok di kampung itu. Biasanya istri jalan di depan, suaminya empat langkah di belakang mengikuti atau sebaliknya.

Di rumah memang istrinya lebih suka menghindar. Pasalnya dinding pemisah petak bersisian hanya tikar yang disangkutkan seperti menjemur tikar di atas bambu yang dipasang mendatar. Memang dua tikarnya, satu yang sini dan satu lagi tikar petak sana. Jadi lapis tikarnya bahkan menjadi empat, karena masing masing petak membuat bambu mendatar tempat sangkutan. Tapi kalau goyang tikarnya kan tak enak dipandang. Rumah adat memang sepi suara sepi gerak sepi rumpi, kecuali balita yang belum tidur, kadang mereka menangis.
Kalau sudah mendesak, ya dilakukan juga. Tentunya dengan gerak yang sangat super tenang, terbuai kehangatan sisa bara api tungku makan malam. Sepi, hangat dan cahaya remang sampai menjelang pagi. Dan kembali tungku menambah kehangatan karena para ibu menanak nasi buat sarapan dan untuk bekal makan siang di ladang.

Rumah adat tidak sembarang penghuni. Kedelapan pasangan suami istri merupakan kekerabatan adat. Kekerabatan yang sudah ditetapkan dengan norma adat. Apa yang pantas dilakukan dan apa yang tak pantas dilakukan antar kedelapan keluarga penghuni petak.
Ruang memang tidak lapang, rutinitas keseharian di dalam rumah adat cenderung dibuat sama. Sepi, saling menghormati. Sepi, tak pantas canda. Sepi cenderung sahdu, tak pantas ngerumpi. Kearifan dan tradisi penghuni. Jadi, kalau suami dan istri mau tengkar besar kemungkinan di lakukan di ladang, sebab saru di lakukan di rumah adat.

Kekerabatan dalam rumah adat merupakan kesatuan dalam bertidak keluar dari rumah adat yang mereka huni. Kesatuan ini, diterapkan juga dalam kehidupan warga desa untuk bertindak keluar dari desanya.

Besar kemungkinan kekerabatan rumah adat ini sangat mempengaruhi keutuhan perkawinan penghuni rumah adat. Kekerabatan rumah adat yang menjadi budaya kehidupan suku Karo di desanya, dan terbawa oleh warga yang pindah ke kota.
Keutuhan perkawinan itu tampak dari kecilnya perceraian yang terjadi, janda ditinggal mati suami, cenderung tidak menikah lagi kalau sudah punya anak. Duda yang ditinggal mati sang istri. Walau umurnya sudah 60 tahun, langsung ditanya sepulang penguburan istri tercinta. Ditanya tentang niat menikah lagi, mau yang muda belia atau mau yang sudah tua sebagai calonnya. Bahasa tanyanya sangat halus dan dilakukan dengan penuh hormat oleh rombongan atau kelompok kekerabatan yang disebut anakberu atau pihak yang mengambil wanita keluarga duda.

Kearifan tradisional atau kepandaian bersifat tradiasi, yaitu adat kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun temurun, dimulai leluhur suku Karo dari huniannya yang disebut rumah adat.
Kekerabatan leluhur itu, penting, identitas dan sudah teruji maknanya.




Jakarta 11 Pebruari 2008
Dame Munthe
HP 0817826026

Tidak ada komentar: