Laman

Minggu, 27 Juli 2008

Cinta di Ture Rumah Adat


CINTA DI TURE RUMAH ADAT



Libur sekolah memang menyenangkan, kali ini lebih menyenangkan lagi karena aku mau praktek bagaimana menikmati “Guro-guro aron perkolongkolong”di kampung. Semacam tari pergaulan muda mudi Suku Karo. Pesta ini suka dilakukan habis panen raya, atau ganti tahun atau libur panjang sekolah. Anak sekolah yang mondok di kota, pada pulang ke kampung. Jadi ramailah kampung dari biasanya.

Aku bukan anak mondok itu, karena ayah ibuku tinggal di kota. Tapi aku ikut pulang ke kampung. Kangen sama nenek. Pulang karena kangen, memang kulakukan setiap libur sekolah. Cuma kali ini rada lain, soalnya aku baru belajar memakai celana panjang pertamaku, bekas permak celana bekas orang dewasa. Kainnya memang bagus, wool warna crem. ABG, anak baru gede istilah masa kini.

Nenek yang kusapa Iting, tinggal di rumah adat yang dihuni delapan keluarga. Dia satu keluarga tanpa angota rumahtangga alias janda tinggal sendiri. Petak tempat tinggalnya , petak kedua sebelah kiri kalau masuk dari pintu hulu. Satu petak sekitar 3 m X 4 m. Disitu masak dan tidur. Antar petak digantungkan tikar diatas bambu sebagai dinding pemisah antar tempat tidur petak bersisian. Tungkunya menyatu untuk dua petak bersisian. Jadi ad a 4 tungku, dua sebelah kiri dan dua lagi sebelah kanan. Di tengahnya jalan lurus dari pintu hulu ke pintu hilir. Semua tungku saling kelihatan kalau serentak memasak.. Dan asap dapur bahan bakar kayu itu akan naik keatas memenuhi ruang langit langit yang sangat tinggi bila dibanding rumah masa kini, sekalian mengawetkan kayu dan atap ijuk rumah adat. Sekalian juga sebagai pemanas ruangan yang trerasa hangat sampai pagi karena masak malam ke delapan keluarga tersebut.

Rumah adat punya pintu hanya dua. Satu di hulu dan satu lagi di hilir. Kedua pintu itu punya ture atau kakilima. Ture terbuat dari bambu utuh sebesar paha orang dewasa, disusun mendatar jadi lantai simetris dengan pintu. Lurusan pintu, dibuat tangga menanjak tajam untuk naik ke ture setinggi orang dewasa pula. Luas ture sekitar 3 m X 4 m.
Tepian ture sebelah kiri dan kanan, sering dijadikan anak balita jadi tempat buang hajat. Biasanya pagi hari, mereka jongkok dengan hati hati karena ture tak punya dinding pembatas. Anak yang masih kecil biasanya ditemanai ibunya dengan memegang tangan sang anak. Atau sang anak duduk diantara kedua kaki ibunya yang duduk di lantai bambu dengan posisi huruf L., jadi kloset alami yang sangat menyenangkan sang anak Begitu hajatnya jatuh ke tanah, langsung bersih ulah babi yang berkeliaran di bawah yakni langsung memakannya.
Malamnya, tempat itu jadi ajang muda mudi untuk saling mengenal. Mereka duduk berdua duaan di tepian sisi ture. Masing masing menutupi tubuhnya dengan kain sarung menahan udara malam yang dingin. Kalau mereka lagi asik dan orang tua kebetulan mau masuk ke rumah adat. Maka orang tua itu pura pura batuk , sebagai kode mau masuk. Memang ture gelap, paling bulan kalau lagi tampak, belum ada listrik.
.
Kalau ke kampung, aku tak bisa tidur di petak tempat tinggal Iting. ABG malu tidur di rumah adat. ABG yang laki biasanya tidur di atas lumbung padi, bangunan sekitar rumah adat, ABG cewek menyatu tidur di tempat tinggal janda atau jabur bangunan serba guna. Anak laki habis makan malam biasanya langsung keluar dari rumah adat. Anak gadisnya habis makan malam biasanya beres beres dapur dan menunggu kunjungan kekasih.

Ada kode tersendiri hal kunjungan kekasih ini. Biasanya tempat duduk kekasih yang melayani makan keluarganya, posisinya duduk tetap dan dekat tungku. Ada celah antar papan lantai. Dari celah itu dibuat sodokan mesra dari lidi yang mengenai bogong kekasih. Biasanya waktu kunjungan pacar ini agak serentak untuk semua anak gadis yang ada di rumah adat itu. Bercengkramalah mereka di dua ture itu, ture hulu dan ture hilir. Kalau malam mulai larut, sang gadis ke rumah janda atau jambur untuk tidur, dan yang laki merebahkan diri di atas lumbung.

Sore hari, ABG pada ke sungai mau mandi. disengaja waktunya bersamaan. Anak gadisnya mau mandi dan sekalian mengambil air kebutuhan dapur dengan menjunjung kuran wadah air yang terbuat dari bambu sebesar paha orang dewasa. Biasanya dua ruas bambu yang pembatasnya dilobangi.
Ada tempat berenang di sungai yang permukaannya cukup luas, airnya tenang karena dibendung untuk keperluan pembagian tali air ke beberapa desa.. Anak gadisnya mengelompok berenang tanpa salin pakaian ditepi sebelah sana. Lakinya mengelompok pula sebelah sini dan berenang dengan celana dalamnya masing masing.
Mereka hanya saling curi pandang dan canda ria, kadang kadang saling memojokkan. Beberapa anak gadis yang memakai blus bahan teteron yakni kain yang berjaya waktu itu, kelihatan kulit tubuhnya yang kuning, apa lagi yang tidak pakai BH. Cantiklah anak desa itu.
Sekalian cuci pakain, begitulah. Anak gadis itu, dan pulangnya nanti pakai kain sarung saja yang dililitkan sebatas dada, inipun punya keindahan tersendiri pula.
Anak lakinya akan mengelompok mengiringi dari belakang. Jalan dari sungai ke desa menanjak agak tajam. Membentuk betis anak desa tampak berisi. Bahunya juga kelihatan padat karena tiap sore menjungjung kuran di kepala.

Suatu malam, kubawalah lidi penyodok mesra. Teman selumbung meberi pengarahan cara menggunakannya, dan menemani aku masuk ke kolong rumah adat. Dia hapal betul menentukan lokasi duduk sang gadis. Sodokan pun dilakukan.
Anak gadis ini pernah berpasangan tari denganku, sewaktu pesta guro guro aron beberapa malam yang lalu. Dan tadi sore, sepulang dari sungai telah kucandai, sekalian bilang mau berkunjung nanti malam. Dia senyum saja tanpa menoleh, menahan beban air dalam kuran junjungan. Tampak pipi kanannya merona merah muda.

Sewaktu menari dengan dia aku menggigil karena itulah tari pertamaku. Gigilan itu tampak pada bagian luar celana yang membalut paha, apa lagi sewaktu badan naik. Tariannya memang naik turun, irama lamban lagi, tak pelak makin jelas gigilannya tampak.
Sekarangpun aku menggigil, tapi bukan di paha. Bahu dan bibir mengigil, padahal sudah dibalut kain sarung seluruh tubuh, kecuali muka karena mau bicara dengan dia. Dinginnya malam tak biasa untukku. Kutinggalan ture menuju lumbung.

Di ture canda ria muda mudi mengelompok, mandi ke sungai juga mengelompok, saling kontrol dalam kelompok. Begitu pula pengawasan orang tua dan sistem kekerabatan di desa. Lokasi canda ria muda mudi memang selalu mengelompok termasuk guro guro aron perkolongkolong. Tidak seperti di kota, muda mudi suka berdua.



Jakarta 30 Januari 2008
Dame Munthe

Tidak ada komentar: